Mongabay.co.id

Pemerintah Susun Aturan Nilai Ekonomi Karbon, Berikut Masukan Mereka

Hutan adat masyarakat Dayak Iban seluas 9.480 hektar di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kini diakui negara. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

 

Pemerintah lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sedang menyusun Peraturan Presiden soal Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Harapannya, aturan ini jadi payung hukum dalam upaya mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca 29% pada 2030, sekaligus mendukung pembangunan rendah karbon.

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, Indonesia memiliki potensi karbon yang bermanfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dia bilang, Indonesia penting punya aturan pemerintah yang soal NEK.

Regulasi ini, katanya, akan mengatur mekanisme perdagangan karbon (cap and trade dan carbon offset), pembayaran berdasarkan capaian atau hasil (result based payment, maupun upaya pencapaian target nationally determined contributions (NDCs). Juga, pembentukan instrumen pengendalian dan pengawasan (MRV, SRN, sertifikasi).

Sementara, pajak atas karbon, katanya, masih belum masuk dalam perpres karena harus berdasarkan pada Undang-undang. “Tadi Pak Menko (Airlangga Hartanto) mengatakan sangat mungkin dengan cukai. Jadi, nanti tinggal lihat, saya akan pelajari. Akan bahas,” kata Siti Nurbaya, Juli lalu.

Saat ini, luas tutupan hutan Indonesia mencapai 94,1 juta hektar, dengan dominasi di Sumatera (13,5 juta), Kalimantan (26,7 juta), dan Papua 34 juta hektar.

Kawasan hidrologis gambut Indonesia pun, katanya, sangat luas. Di Sumatera 9,60 juta hektar, dominan di Riau 5,36 juta hektar. Kemudian, Kalimantan 8,40 juta hektar dan Kalteng saja 4,68 juta hektar.

Untuk mangrove, Indonesia pun punya potensi sangat besar. Di Sumatera luas mangrove 666.400 hektar, Kalimantan 735.800 hektar dan Jawa 35.900 hektar. Lalu, Sulawesi 118.800 hektar, Maluku 221.500 hektar, Papua 1,49 juta hektar dan Bali Nusa Tenggara 34.700 hektar.

Perhitungan rata-rata kandungan karbon dari hutan 200 ton C hperkehtar, dari mangrove (termasuk soil karbon) 1.082,6 ton C perhektar. Kemudian, rata-rata karbon gambut 460 ton C perhektar, hutan gambut primer 1385,2 ton C perhektar.

Hutan di Indonesia, kata Siti, punya mendapat nilai ekonomi sangat besar kalau terjaga dari kerusakan.

 

Kebakaran hutan dan lahan gambut di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. Kebakaran lahan gambut ini melepas emisi besar.  © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

 

Libatkan masyarakat dan perempuan adat

Devi  Anggraini, Ketua Umum Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, selama kepastian tenurial tak terpenuhi, NEK bisa menyingkirkan masyarakat adat termasuk perempuan adat. Kalau melihat di lapangan, hutan-hutan yang masih terjaga itu banyak berada di wilayah adat.

“Pengakuan masyarakat adat dan perempuan adat sebagai kelompok rentan itu sebenarnya dalam pembicaraan ekonomi karbon tidak pernah dibicarakan dan dikonsultasikan, bahkan tidak ada diinformasikan saja tidak,” katanya dalam diskusi Mongabay dan Journalist Learning Forum, Oktober lalu.

Hingga kini, tidak ada perlindungan atas hak kolektif perempuan adat, ataupun pengaturan sektoral mengenai masyarakat adat di tingkat nasional. Selama ini, katanya, mereka sebatas obyek.

“Masyarakat adat perlu ada pengakuan wilayah atau hutan adat,” katanya.

Masyarakat adat berpotensi besar berkontribusi menekan emisi. Hutan-hutan di wilayah adat, merupakan ‘bank’ penyimpan karbon. Bagi masyarakat adat, terutama perempuan adat, keberlanjutan hutan sangat krusial karena relasi mereka erat dalam kehidupan sehari-hari.

Perempuan adat, kata Devi, aktor kunci. Merekalah yang masih mempraktikkan pengembangan pengetahuan masyarakat adat dalam mengelola hutan dengan cara rendah emisi. Tata ruang pun diatur norma atau hukum di wilayah adat.

Satu bukti terlihat kala pandemi corona ini, kata Devi, di sebagian besar wilayah adat dengan hutan terjaga, mereka bisa berdaulat pangan. “Ini menunjukkan, bahwa, kehidupan yang menggunakan teknologi sederhana dan tidak ekstraktif menjamin keberlanjutan.”

Masyarakat adat, katanya, juga bisa berkontribusi dalam proses negosiasi di kancah internasional. Sayangnya, selama ini masyarakat adat hanya dilihat sebelah mata. Pengakuan dan perlindungan wilayah mereka pun minim.

Kalau tak ada pengakuan kepada masyarakat adat, kata Devi, bagaimana mereka bisa terlibat dari NEK ini.

 

Pembukaan lahan untuk kebun sawit yang berkonflik dengan Komunitas Adat Laman Kinipan di Lamandau. Kinipan, perlu pengakuan dan perlindungan wilayah adat. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Strategi kendalikan emisi

Sementara Moekti H. Soejachmoen, Asisten Utusan Khusus Presiden Pengendalian Perubahan Iklim 2010-2019 menilai, NEK ini jadi strategi berbasis pasar dalam mengendalikan emisi.

Adapun pemberian harga, katanya, ditentukan dari dampak iklim yang timbul dan peluang opsi rendah karbon, atau dalam ekonomi disebut internalisasi biaya eksternal.

Ada beberapa prinsip digunakan, pertama, polluter pays principle yakni, bagi mereka yang mengakibatkan polusi atau mengemisi gas rumah kaca, maka harus bayar. “Ini penting karena mengarah pada tujuan dari kerangka kerja penurunan emisi dan Persetujuan Paris, agar kenaikan temperatur tidak membahayakan kehidupan,” katanya.

Makin banyak emisi yang ditimbulkan, pembayaran juga makin banyak. Pada akhirnya, ada pertimbangan ekonomi, pembangunan memilih rendah karbon guna meminimalkan biaya eksternalitas.

“Jika, carbon pricing diterapkan dengan baik dan benar, akan memberikan manfaat untuk melindungi lingkungan, membawa investasi dengan teknologi bersih, bisa jadi source of income,” katanya.

Kuki, panggilan akrabnya, mengatakan, beberapa pilihan instrumen dalam pembiayaan karbon ini, antara lain, pajak karbon. Ia merupakan harga tertentu dari potensi emisi gas rumah kaca (GRK), atau kandungan karbon yang timbul.

Meski dia menyadari tak mudah mengimplementasikan pajak karbon karena peraturan perundang-undangan di Indonesia tak mengenal karbon sebagai obyek pajak.

“Kalau melakukan pajak karbon atau apapun itu namanya, penting earn marking, uang yang masuk dari pajak karbon ini untuk mendukung aksi iklim.” Dia sebutkan, antara lain memberikan akses pendanaan terhadap aksi- komunitas atau masyarakat.

Kedua, instrumen emission trading system (ETS) atau cap-and trade system yakni, menetapkan batasan (cap) emisi GRK yang dapat diemisikan (emission permit atau allowance). Kalau melebihi batasan, maka perusahaan harus memenuhi dengan beli izin emisi lain atau offset (carbon offset).

Ketiga, ada instrumen crediting mechanism (kegiatan verifikasi lalu dikeluarkan kredit dan bisa diperjual-belikan), result based climate finance (pembayaran setelah reduksi), internal carbon pricing (penentuan harga/nilai karbon secara internal terutama dalam merencanakan investasi).

“Pasar karbon domestik ini perlu dan penting untuk pencapaian NDC,” kata Kuki.

Adapun persyaratan harus dipenuhi, katanya, antara lain, penentuan batasan emisi GRK nasional, penetapan sektor dan emisi yang diatur, alokasi izin emisi, dan fleksibilitas dalam pemenuhan. Juga, kelembagaan dan pelaku, pemanfaatan penerimaan pemerintah dari pasar karbon domestik dan penyediaan insentif bagi pelaku pasar sukarela yang akan jadi pemasok offset.

 

Penambangan batubara di Blok B milik PT Minemex. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Belum ada payung hukum

Namun, katanya, untuk pasar karbon domestik, Indonesia masih belum punya payung hukum. Dalam Undang-undang Nomor 16/2016 tentang Pengesahan Perjanjian Paris, tak mencantumkan soal itu.

“UU ratifikasi itu lebih pada pengikatan keluar, itu tidak bisa serta merta jadi basis nasional.”

Kuki menyebutkan, pasar karbon internasional dapat membantu pendanaan aksi iklim untuk mencapai target NDC.

Adapun hal yang penting untuk disiapkan, kata Kuki, kelembagaan kuat dan memahami aturn main, mekanisme dan prosedur terkait MRV– mekanisme untuk pelaporan mulai dari membuat, menyusun, mengumpulkan data dan mengolah menjadi informasi–., aturan dan kejelasan mengenai hak atas karbon hingga transaksi berkekuatan hukum.

“Juga, mekanisme dan aturan main terkait revenue (pendapatan) dari pasar internasional, termasuk untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pelaku di lapangan.”

Senada Kuki, Andri Akbar Marthen, co-founder Indonesia Research Institute for Decarbonization mengatakan, secara hukum nasional belum memiliki basis hukum dalam implementasi NDC.

Kondisi ini, katanya, karena UU No.16/2016 hanya menegaskan komitmen Indonesia terhadap kesepakatan Internasional. “Ketika ingin mentransfer norma-norma hukum dalam Paris Agreement dalam hukum nasional perlu ada transformasi tersendiri, baik UU, peraturan pemerintah atau peraturan presiden.”

Lewat Perpres NEK ini, katanya, bisa jadi pintu masuk. Andri menekankan, soal perlu pembentukan instrumen berbasis pasar sebagai alternatif pendukung command and control approach (pendekatan yang mengedepankan lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang punya kewenangan atas satu mekanisme dalam negara).

Tujuannya, memastikan pelibatan masyarakat dan pelaku usaha dalam pendanaan maupun aktivitas upaya penurunan emisi GRK.

“Perlu ada kewajiban bagi pelaku usaha yang menghasilkan emisi GRK dalam kegiatan produksi, dan insentif bagi lapisan masyarakat yang menurunkan emisi GRK secara sukarela.”

Selain itu, pengaturan NEK juga perlu dalam menjamin kepastian hukum, berkeadilan dan memiliki manfaat yang signifikan dalam penurunan emisi GRK.

Nadia Hadad, Direktur Program Yayasan Madani mengatakan, NDC perlu landasan hukum kuat dari pusat hingga daerah.

Berdasarkan data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Kebutuhan pendanaan NDC dari 2018-2030 sekitar US$19 miliar per tahun atau US$247 miliar. Sedangkan, daya dukung dari APBN hanya US$5,8 miliar per tahun dan dukungan pendanaan internasional US$0,9 miliar per tahun.

Dengan begitu, perlu melibatkan aktor di luar negara, terutama pelaku usaha dalam penurunan emisi dan memiliki kewajiban menurunkan emisi.

Berdasarkan rancangan perpres NEK versi terakhir, kata Nadia, setengah bagian berbicara soal implementasi NDC. Ada juga penekanan hak masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dari dampak perubahan iklim. Juga, katanya, penyebutan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai kewajiban pemerintah, dan penekanan manfaat nilai ekonomi karbon untuk masyarakat. Juga, penekanan kalau NEK tak boleh mengurangi capaian target NDC Indonesia dan penyebutan target tertinggi 1,5 derajat Celcius. Selain itu, katanya, ada

yang perlu dipastikan dalam konteks integritas sosial dan lingkungan hidup. Antara lain, kata Nadia, soal transisi cepat ke ekonomi rendah karbon, pengurangan emisi secara aktual, hutan alam dan keragaman terlindungi dan masyarakat jadi subyek.

 

 

Keterangan foto utama:  Hutan adat masyarakat Dayak Iban seluas 9.480 hektar di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, kini diakui negara. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Exit mobile version