Mongabay.co.id

Ketika Aturan Datang Abai Warga, Kakek 75 Tahun di Soppeng Terjerat Hukum Perusak Hutan

La natu, 75 tahun, yang terjerat hukum perusak hutan saat tebang pohon di kebun yang dia tanam sendiri. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kebun ini ditumbuhi jati merah dengan sela pohon ada tanaman pangi—biasa sebagai bumbu masakan. Ada juga bambu. Inilah kebun La Natu, warga Watansoppeng, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Kebun kakek 75 tahun ini secara status negara berada dalam kawasan hutan lindung di bawah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wallanae.

Kebun ini, berada tepat di pinggir jalan utama kampung, sekitar 300 meter dari rumahnya. Luas sekitar 30 are, warisan dari mendiang ayahnya.

Di kebun ini tampak bekas tebangan pohon tersebar. Diameter sekitar 50 cm. Pohon jati yang seharusnya membuat Ario Permadi, anaknya tersenyum bahagia malah berimbas sebaliknya ketika polisi mendapatkan laporan, mengenai penebangan dalam hutan lindung.

Baca juga: Tebang Pohon di Kebun Sendiri, Tiga Petani di Soppeng Kembali Terjerat UU P3H

Natu bersama anaknya Ario Permadi dan iparnya Sabang, digelandang ke kantor polisi. Mereka diperiksa, menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP). Mereka terjerat hukum perusakan hutan.

 

La Natu, di rumah penanggilan ayah ibunya. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

***

Natu, dengan Bahasa indonesia masih terbata-bata, sehari-hari pakai bahasa Bugis. Dia lahir di Kampung Ale Sewo dan besar di tempat itu. Dia tak sekalipun meninggalkan kampung untuk merantau seperti sebayanya yang lain masa itu. “Bagaimana mau pergi, takut juga. Tidak ada bahasa,” katanya.

Natu, mengelola lahan bersama ayahnya bernama La Takka. Ketika Natu menikah, sekitar 1980-an, lalu membangun rumah yang sekarang dia tempati. Kayu-kayu dia ambil dari kebun mereka di sekitar rumah – kini kebun itu ditanami kakao. Waktu itu, tak ada petugas kehutanan yang melarang menebang pohon.

Baca juga : Akhirnya Tiga Petani Soppeng Divonis Bebas. Bagaimana Ceritanya?

Di Kampung Ale Sewo, La Takka dikenal sebagai pekerja keras. Dia menanam banyak pohon di lahan-lahan kosong. Dia juga tak segan menanam kelapa meskipun di kebun orang lain. Kalau sesesorang bertanya padanya, Takka selalu menjawab, untuk kebutuhan anak cucu mereka. Sekarang, kelapa-kelapa itu telah tumbuh tinggi.

Orang-orang di Ale Sewo dengan fasih menjelaskan hasil tanam Takka. Menjulang tinggi dan membuat kampung menjadi rindang.

Selanjutnya, Arida, anak perempuan Natu, menikah dan berencana memiliki rumah sendiri. Dia pilih lahan keluarga lain yang jarak sekitar 50 meter dari rumah Natu. Bergotong royong, penduduk kampung ikut terlibat. Rumah dibangun pada 2002 itu, juga pakai kayu dari kebun Natu. Orang-orang kampung menggergaji dengan rapi dan memerlukan sekitar sebulan.

Rumah Arida, kini berdiri dengan kokoh. Ketika Ario Permadi menikah dan sudah memiliki anak – saat ini masih tinggal bersama Natu – menginginkan rumah sendiri, semua penduduk kampung ikut mendukung. Kesepakatan mulai, lahan rumah tepat di samping rumah Arida. Keperluan kayu rumah mulai dibicarakan, dari mulai tiang, hingga balok penyangga atap.

Natu pun merelakan pohon jati dalam kebunnya. Satu mesin senso dia operasikan. Mereka menebang pohon dalam beberapa hari. Ada 55 pohon. Batang jadi balok. Bersama Sabang, mereka saling membantu. “Dia keluarga saya. Tidak dipanggil pun saya pasti bantu,” katanya.

“Waktu tebang kayu, itu memang niat bapakku (Takka). Dipake untuk anak cucu,” kata Natu.

Ketika balok-balok itu mulai diangkut ke lokasi, polisi menemukan dan jadikan sebagai bukti lapangan. Balok kayu itu diangkut ke kantor kepolisian, sekarang dalam sitaan Kejaksaan Negeri Watansoppeng.

Natu, Ario Pemadi, dan Sabang, terjerat UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Niat awal para pembuat aturan ini konon untuk memberantas kejahatan hutan terorganisir oleh korporasi. Fakta lapangan, getol menjerat masyarakat adat,/lokal atau para petani. Ada pengecualian dalam pasal UU ini untuk petani atau peladang yang sudah lama hidup di wilayah itu, tetapi pasal pengecualian ini seakan tak pernah ada.

Baca juga: MK Putuskan Masyarakat Hidup di Kawasan Hutan, Tak Bisa Dipidana, Akankah Efektif?

Dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang 2016-2020, tak kurang dari 50 petani yang dikriminalisasi menggunakan UU ini.

 

Suasana persidangan La Natu, anak dan iparnya. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Fakta-fakta persidangan

Natu cs menjalani persidangan. Pada 27 Oktober lalu di persidangan, Natu cs duduk termenung dan sesekali mencondongkan badan kalau ingin mendengar jelas perkataan para saksi.

Mereka tak mengerti pembahasan mengenai aturan yang kadang kala diperdebatkan. Inilah yang kemudian membuat kuasa hukum dari LBH Makassar, mengulang lagi di rumah Natu ketika sidang berakhir.

Hari itu, di kursi belakang, saat mobil melaju pelan meninggalkan gedung persidangan menuju rumah, Natu menghela napas. Ini sidang kelima yang dia lalui dengan agenda mendengar kesaksian ahli dari Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan. Selanjutnya, paling kurang ada enam sidang berikutnya dalam setiap pekan akan dia hadapi.

“Bukan kebun saya yang masuk kawasan hutan lindung, tapi itu kawasan yang masuk kebunku,” katanya.

Wajah Natu dingin hampir tanpa ekspresi. Empat orang dalam kendaraan itu, terdiam sesaat. Ridwan yang mengemudikan mobil dan Muhammad Said yang duduk di kursi depan sekaligus sebagai kuasa hukum menghela napas. “Betul itu,” kata Said, memecah keheningan.

“Saya heran, sekarang saja polisi tangkap. Orang buka kebun di kawasan tidak apa-apa. Dibiarkan,” kata Natu.

“Coba lihat, yang di sana itu, yang ada pohon pinus, itu di kebun semua. Tapi tidak apa-apa.”

“Sekarang jati di tanam bapak dan nenekku, saya tebang dimasalahkan. Dibilang salah.”

Di Kampung Ale Sewo, orang-orang mengenang dan kembali pada 1982. Ketika beberapa orang datang bercerita dan meminta warga membantu memasang patok. Alasan orang-orang itu, untuk mengetahui jalur hutan agar kelak kalau ada kebakaran, petugas pemadam terbantu.

Patok-patok itu akhirnya dikenal dengan istilah patok ronda. Patok itulah yang mengukuhkan kawasan hutan di Soppeng. Kemudian lanjut dengan SK 434/Menhut-II/2009 tertanggal 23 Juli 2016, tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan Sulawesi Selatan seluas 2.725.796 hektar. Keluar lagi SK 362/Menlhk/Setjen PLA.0/05/2019 untuk penunjukan dan penetapan kawasan hutan.

Sayangnya, aturan ini tak mengeluarkan hak kelola masyarakat yang sejak awal menggarap lahan dalam kawasan hutan.

“Penunjukan 1980-an itulah yang kami pedomani. Sampai SK 362 tahun 2019 ini,” kata Junan dalam keterangan di persidangan.

Muhammad Junan. Kepala KPH Wallanae, perpanjangan tangan Dinas Kehutanan Sulsel sebagai lembaga tapak untuk menjaga kawasan hutan di dua kabupaten–Soppeng dan Wajo.

Luas kawasan hutan di dua lokasi ini mencapai 64.543,45 hektar. Rinciannya, hutan lindung seluas 39.355, 99 hektar. Hutan produksi terbatas 11.068,60 hektar, dan hutan produksi 14.118,86 hektar. Bentangan hutan itu sebagian besar besar berada di Soppeng, sekitar 45.908,20 hektar, sisanya 18.635,25 hektar di Wajo.

 

Natu, bersama anaknya menjelaskan bagaimana aturan kehutanan memasuki kebunnya. Nampak patok merah untuk program reboisasi KPH Wallanae bersama PT Vale – perusahaan pertambangan Nikel di Luwu Timur. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Di Soppeng, areal hutan lindung 34.301 hektar. Luasan inilah yang bersisihan dengan pemukiman warga di beberapa desa, termasuk Kampung Natu di Ale Sewo, Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata.

Junan menjelaskan, bagaimana aturan dalam hutan lindung sangat keras dan tak boleh ada pelanggaran. Izin yang keluar pun hanya pada hasil hutan bukan kayu, seperti pengelolaan madu dan rotan, atau getah. “Jadi, saya mau menjelaskan maka ada PS (perhutanan sosial) akan itu diatur untuk meningkatkan pendapatan. Itu penghargaan yang luar biasa dari pemerintah,” katanya.

“Bagaimana dengan masyarakat yang sudah mengelola secara turun temurun?,” kata Ridwan, kuasa hukum petani dari LBH Makassar.

“Kalau kami ikut perundang-undangan yang ada. Kami taat itu,” kata Junan.

“Setelah terbit SK 362 tahun 2019 itu, apakah sudah pernah dilakukan sosialisasi?”

“Saya kira untuk saat ini belum ada dan memang tidak banyak yang berubah.”

“Kalau menebang bukan untuk komersil, adakah mekanisme lain selain menghukum petani?”

“Saya hanya berpikir kalau itu adalah pelanggaran hukum.”

Junan kemudian membenarkan masker. Dia menarik dari kiri untuk sedikit memberi ruang bernapas. Sepekan sebelumnya, masker itu juga dia gunakan di Kantor KPH.

Sebuah masker yang di sisi kiri terdapat logo PT Vale, perusahaan penambang nikel di Luwu Timur. Saya mengomentari maskernya, yang dia pelorotkan ke dagu saat itu. “Ini hadiah. Karena perusahaan bersama KPH akan kerjasama untuk reboisasi,” katanya.

“Rencananya akan ada 450 hektar. Program bisa berjalan setahun atau lebih.”

“Jadi patok-patok merah di lapangan itulah areal untuk reboisasi.”

 

Unjuk rasa petani pada 20 Oktober 2020, untuk mendukung La Natu dkk, di Watansoppeng meminta kepolisian menghentikan kriminalisasi petani. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

***

Matahari belum muncul ketika kegiatan di dapur sudah ramai. Ada asap kayu bakar membumbung. Aroma kopi, dan canda tawa. Itu mulai sekitar pukul 04.30 dini hari. Menjelang pukul 08.00, beberapa orang mulai berdatangan. Saling menyapa dan memberi semangat. Setelah itu, sarapan bersama.

Jelang pukul 10.00 puluhan orang itu berdoa. Rombongan berjalan beriringan menggunakan sepeda motor menuju kantor Pengadilan Negeri Watansoppeng, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Kegiatan itu dilakukan setiap Selasa. Setiap pekan dan telah berlangsung selama sebulan lebih.

Orang-orang itu datang mengantar Natu, Ario Permadi dan Sabang. Mereka bilang, sudah seharusnya sesama “orang kecil” harus saling membantu. Ketika sidang berjalan hingga tengah hari, mereka membuka bekal yang penganan pengganjal perut yang telah dibuat dari rumah.

Ketika sidang usai, orang-orang itu kembali ke rumah masing-masing, setelah mereka saling berpamitan. Kali ini Natu dan keluarga yang terjerat. Pada 2017, tiga petani lain juga kena jerat, lalu dinyatakan bebas. Entah esok lusa mungkin ‘giliran’ mereka.

“Ini ‘arisan’ pak Natu,” kata beberapa penduduk itu.

 

 

Keterangan foto utama: La natu, 75 tahun, yang terjerat hukum perusak hutan saat tebang pohon di kebun yang dia tanam sendiri. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version