Mongabay.co.id

Kemenangan Biden-Harris, Merajut Kembali Komitmen Iklim yang Terputus

Joe Biden dan Kamala Harris, calon presiden dan wakil presiden Amerika Serikat yang menang pemilihan pekan lalu. Foto: akun Facebook resmi Kamala Harris

 

 

 

 

Joseph Robinette Biden Jr. (Joe Biden)-Kamala Harris belum resmi menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat ke-46 setelah menang dalam pemilihan pekan lalu. Meskipun begitu, reaksi positif bermunculan atas keunggulan Biden-Harris menghadapi petahana Donald Trump, antara lain bisa lebih menguatkan komitmen dan aksi  global dalam menekan krisis iklim.

“Terus terang saya sangat bergembira, Biden yang terpilih, karena yang memutus rantai perjuangan dari UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) itu adalah Trump,” kata Rachmat Witoelar, mantan Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim saat dihubungi Mongabay, Senin (9/11/20).

Dia menyebut, kalau penarikan diri Amerika Serikat dari Persetujuan Paris yang dilakukan Trump berdampak pada perjuangan dunia dalam melawan perubahan iklim terganggu.

Persetujuan Paris dan semangat melawan perubahan iklim, katanya, harus bersama-sama oleh seluruh negara.

Kala duduk sebagai presiden menggantikan Barack Obama,  Trump memutuskan mundur dari Persetujuan Paris. Saat itu,  reaksi negatif dan kecaman timbul di seluruh dunia. “Saya juga pada waktu itu protes, tapi mau bagaimana lagi, itu sudah keputusan mereka,” katanya.

Pada di hari pertama menjabat, langkah awal akan diambil Biden dan Haris adalah menyurati PBB untuk memberitahukan, mereka akan kembali dalam aksi bersama penanggulangan perubahan iklim bersama dengan 174 negara lain.

Biden dalam dokumen climate plan memang menaruh perhatian khusus terhadap isu perubahan iklim. Dia berencana membuat Amerika Serikat berkomitmen ulang dan masuk kembali dalam Persetujuan Paris. Bahkan, Biden akan mendorong target domestik di Amerika Serikat lebih ambisius.

Salah satunya, lewat rencana zero emission pada 2050 yang diproyeksikan Biden.

 

Energi terbarukan dari turbin angin yang dibangun Tri Mumpuni di Pulau Sumba. Foto: dokumen Tri Mumpuni/ Mongabay Indonesia

 

“Kalau Amerika Serikat lakukan itu, akan makin cepat sebenarnya capaian dekarbonisasi, beberapa negara seperti Uni Eropa sudah ada target, Jepang dan Korea pun demikian. Tiongkok juga sudah ada, walaupun mereka 2060,” kata Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) dihubungi terpisah.

Jadi, katanya, langkah yang dilakukan Amerika Serikat dan negara maju membuat pencapaian target dalam Persetujuan Paris lebih besar. Apalagi, Amerika Serikat menyumbang 30% dari total emisi global untuk energi.

 

Pengaruhi negara lain

Dengan pengaruh dan diplomasi yang dimiliki Amerika Serikat, Fabby yakin, negara-negara G20 bisa kembali membicarakan Persetujuan Paris dan perubahan iklim dalam setiap pertemuan mereka. “Hingga negara-negara lain yang tidak memiliki komitmen ataupun tidak ambisius seperti Brasil, Meksiko, Argentina dan Arab Saudi bisa sungkan dan bisa ubah posisi mereka.”

Fabby menyebut, kalau posisi G20 memainkan peranan penting dalam aksi penanggulangan perubahan iklim. Kalau dikalkulasi, anggota G20 menyumbang 85% total emisi global.

“Jadi, kalau Amerika bisa agresif di sana, mungkin negara seperti India yang belum terapkan zero emission dan Afrika Selatan akan lebih berani punya target ambisius.”

 

Dorong energi bersih

Salah satu janji politik Biden adalah menutup dan menghentikan pengeboran minyak dan menghentikan subsidi pada bahan bakar fosil. Menurut Fabby, ini langkah progresif dalam mencapai target niremisi Negara Paman Sam ini.

“Meskipun saya kira tujuan awalnya untuk mencegah kerugian lebih besar lagi pada perusahaan minyak karena harga yang terus turun, tetapi ini bisa memengaruhi pasar, terutama kendaraan listrik dan energi bersih,” katanya.

Faktanya, kata Fabby, banyak perusahaan minyak di Amerika Serikat dalam satu tahun terakhir mengalami kebangkrutan. Mereka mulai menutup kilang minyak dan menghentikan subsidi.

Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia menyatakan hal sama. Dia menyebut, tren energi bersih makin didorong Biden dan pasar di Amerika Serikat mau tidak mau akan memengaruhi pasar global.

“Jadi, kalau pucuk pimpinan pengambil keputusan di sana sudah bersikap dengan mendorong energi bersih, mau tidak mau akan ada shifting di pasar,” katanya.

Dengan begitu, segala bentuk investasi global oleh perusahaan asal Amerika Serikat pun, mau tidak mau lebih berorientasi pada energi bersih. “Tinggal kita lihat nanti bagaimana implementasinya dan regulasi untuk mengikat hal itu bagaimana/”

Indonesia, kata Fabby, dinilai jadi salah satu negara yang akan terpengaruh oleh perubahan paradigma prolingkungan yang diusung Biden. Apalagi, saat ini Pemerintah Indonesia gencar mendorong investasi.

“Ini bisa kita manfaatkan untuk mendorong mereka investasi energi terbarukan di dalam negeri,” kata Fabby.

Untuk itu, perlu persiapan matang supaya investor asal Amerika Serikat tergiur mengucurkan dana ke proyek energi bersih dalam negeri. Pemerintah pun, katanya, harus agresif dalam mengundang perusahaan-perusahaan itu datang ke Indonesia.

“Pemerintah bisa dibilang butuh investasi, kenapa tidak kita dorong saja investasi di energi terbarukan. Mumpung Biden jadi presiden dan fokus mereka pada energi terbarukan.”

 

Hutan dan batas-batas area yang “dibersihkan.” Perubahan pucuk pimpinan di Amerika Serikat, semoga menguatkan dalam komitmen iklim global, termasuk menekan bisnis-bisnis ekstaktif merusak hutan.   Foto oleh Yayasan Pusaka, Januari 2020.

 

Berdasarkan catatan Fabby, kalau pemerintah ingin mencapai target bauran energi pada 2025 sebesar 23%, setidaknya perlu investasi sekitar US$3,5-4 miliar per tahun untuk energi terbarukan. “Mereka juga sebenarnya sudah tawarkan, mereka ada lembaga pembiayaan energi terbarukan, kalau pemerintah mau sebenarnya bisa,” kata Fabby.

Senada dikatakan Hindun. Menurut dia, dengan tuntutan pasar akan berubah ke terbarukan, pemerintah harusnya sudah mempersiapkan diri. “Sama seperti kasus palm oil yang tertekan karena kesadaran negara-negara Eropa, sekarang pun di sektor energi mau tidak mau akan ada perubahan yang menekan kita,” ucap Hindun.

Hindun khawatir kalau nanti pemerintah malah menciptakan pasar lokal atau produk-produk dalam negeri beremisi tinggi. Ia sudah terlihat dari industri batubara yang ditopang oleh pembangkit listrik tenaga uap dalam pembangunan pembangkit listrik dalam negeri.

“Ini menunjukkan, kalau kita tidak berpikiran maju 10-20 tahun ke depan. Sampai kapan kita mau seperti ini?”

 

Memastikan penjagaan hutan

Perubahan di Amerika Serikat diharapkan mampu berimplikasi pada perlindungan hutan di Indonesia. Arie Rompas, Kepala Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, pemerintah Amerika Serikat harus bisa memastikan tak ada lagi perusahaan atau lembaga pendanaan mereka yang menaruh investasi pada industri ekstraktif di kawasan hutan.

“Pemerintah Amerika Serikat harus mampu mengikat juga perusahaan atau merek besar dari sana yang komoditas atau produk berasal dari perusakan hutan untuk menghentikan produk-produk yang berkaitan dengan deforestasi di Indonesia,” katanya.

Dia menanti kebijakan khusus pemerintah Amerika Serikat untuk mengikat perusahaan mereka. “Mereka harus pastikan tidak lagi berkontribusi terhadap perusakan hutan di negara lain, termasuk Indonesia.”

Selain itu, Pemerintah Amerika pun bisa mewujudkan komitmen untuk menjaga kawasan hutan tersisa lewat membantu negara-negara pemilik hutan lewat pendanaan.

Beberapa pendanaan terkait iklim dan lingkungan di masa pemerintahan Donald Trump, katanya, mengalami pemangkasan dan penghentian.

 

Pendanaan perubahan iklim

Soal pendanaan, kembalinya Amerika Serikat dalam Persetujuan Paris juga bisa berdampak pada dana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pada negara-negara berkembang. Witoelar menyatakan, saat Amerika Serikat keluar, bukan hanya nominal dana mengalami gangguan, juga pada desain pendanaan itu sendiri.

Kan, Amerika Serikat mem-pledge sekitar belasan miliar (US$) untuk global climate fund itu. Negara-negara maju akhirnya sepakat menunggu hasil pemilu Amerika Serikat karena ada rencana redesign pendanan,” kata Rachmat.

Kalau pemerintah Indonesia bisa melakukan pendekatan lagi kepada Amerika Serikat dan memanfaatkan momentum ini guna memastikan pendanaan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam negeri. “Tinggal minta saja kok, tinggal melobi dan menjelaskan program-program kita.”

 

 

Keterangan foto utama: Joe Biden dan Kamala Harris, calon presiden dan wakil presiden Amerika Serikat yang menang pemilihan pekan lalu. Foto: akun Facebook resmi Kamala Harris

Exit mobile version