Mongabay.co.id

Kala Temuan Dugaan Pelanggaran Korindo Berulang, Menanti Tindakan Pemerintah

Hutan baru dibabat. Foto dari screenshot video investigasi berbagai organisasi masyarakat sipil pada 2016

 

 

 

 

“Untuk memastikan titik panas itu adalah api, Forensic Architecture menggunakan metode analisis terkini untuk mengumpulkan data bersama rekaman video dari survei udara oleh juru kampanye Greenpeace International pada 2013. Tim menemukan, pola deforestasi dan kebakaran menunjukkan bahwa pembukaan lahan menggunakan api.”

Begitu antara lain hasil temuan investigasi Greenpeace Internasional dan kelompok penelitian di London, Forensic Architecture, di perkebunan sawit Korindo Group di Papua, Indonesia.

Baca juga: Investigasi Ungkap Korindo Babat Hutan Papua dan Malut jadi Sawit, Beragam Masalah Muncul

Hamparan petak-petak perkebunan sawit anak usaha perusahaan milik konglomerat Indonesia-Korea ini telah membakar lahan untuk ekspansi perkebunan sawit.

Untuk menentukan kebakaran disengaja atau tidak dengan aktivitas masyarakat atau terkait perluasan perkebunan, Forensic Architecture pakao citra satelit NASA mencakup waktu lima tahun. Tujuannya, mengidentifikasi sumber panas dari kebakaran di PT Dongin Prabhawa, anak usaha Korindo di Merauke.

“Jika kebakaran di konsesi Korindo terjadi alami, kerusakan lahan tidak akan teratur,” kata Samaneh Moafy, peneliti senior Forensic Architecture.

Hasil pelacakan mereka, katanya, dari pergerakan deforestasi dan kebakaran dari waktu ke waktu memperlihatkan, jelas terjadi berurutan dengan kebakaran mengikuti arah pembukaan lahan dari barat ke timur. Juga terjadi secara besar-besaran dalam batas konsesi Korindo.

Baca juga: Kasus Kebun Sawit Putuskan Korindo Melanggar, FSC: Harus Evaluasi dan Pulihkan Kerusakan

Sejak 2001, Korindo diduga menghancurkan hutan di Papua sekitar 57.000 hektar, atau seluas Seoul, ibu kota Korea Selatan. Hutan seluas itu berubah jadi kebun sawit.

Temuan investigasi terkait pembakaran lahan diduga disenjaga bukan kali pertama. Pada 2016, gabungan organisasi masyarakat sipil menerbitkan laporan tentang Korindo Group di Papua dan Maluku Utara.

Laporan itu menyebutkan, kebakaran lahan dalam konsesi sawit Korindo terjadi dalam beberapa tahun ini dan konflik lahan muncul karena hak-hak warga terabaikan.

Konsesi Korindo tersebar di beberapa daerah, sekitar 160.000 hektar, tujuh konsesi 149.000 hektar, di Papua. Sisanya, 11.000-an hektar di Malut. Korindo juga membantu perusahaan Korea, Daewoo, dengan kebun sawit 30.000 hektar di Papua.

 

 

Sampai Juni 2016, masih ada 75.000 hektar hutan belum dibuka di konsesi sawit Korindo. Hutan-hutan ini, berisiko terbabat. Sebagian besar, hutan primer, sisanya, hutan sekunder.

Pada 2016, pelanggan utama minyak sawit Korindo-Bunge, Cargill, Louis Dreyfus, Musim Mas dan Wilmar-berhenti membeli suplai dari grup ini setelah berbagai organisasi mengungkap keterlibatan Korindo dengan deforestasi dan pelanggaran HAM.

Beberapa organisasi masyarakat sipil pun menyurati perusahaan Siemens yang menjadi salah satu pelanggan terbesar Korindo. Mereka meminta, perusahaan itu menanguhkan dagang dengan Korindo. Siemens tak mengindahkan,

Forest Stewardship Council (FSC) juga tiga kali investigasi terpisah terhadap Korindo terkait praktik pembabatan hutan dan pelanggaran HAM. Temuan FSC putuskan Korindo melanggar. Namun publikasi ketiga kasus itu terbit dengan versi telah disunting setelah diancam dibawa ke meja hijau.

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, FSC harus mempublikasi laporan lengkap tanpa sensor. Mereka harus menunjukkan bagaimana Korindo melanggar kebijakan asosiasi itu dan secepatnya memutus kontrak dengan Korindo, seperti rekomendasi panel pengaduan.

Pemerintah pun, katanya, harus meminta pertanggungjawaban Korindo dan perusahaan perkebunan lain atas kebakaran di lahan mereka. Juga kerusakan besar hingga berdampak bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.

Baca juga: Cerita Warga Minta Plasma Kala Korindo Moratorium Buka Lahan Sawit di Papua

Kiki khawatir, penegakan hukum di Indonesia yang lemah dan tak konsisten makin menghadapi tantangan dengan kehadiran UU Cipta Kerja.

Menurut laporan Greenpeace yang lain, ada 11.300 hektar konsesi Korindo terbakar dari 2015-2019.

Korindo Group membantah tuduhan yang menuding perusahaan membakar hutan dengan sengaja untuk perluasan lahan sawit di Boven Digoel, Papua.

“Terkait ada tuduhan pembakaran hutan dalam periode 2011-2016, perlu kami jelaskan kembali pernyataan The Forest Stewardship Council pada Agustus 2019 bahwa Korindo dengan sengaja dan ilegal membakar areal perkebunan adalah tidak benar,” kata Yulian Mohammad Riza, Manager Public Relation Korindo Group. FSC, katanya, telah investigasi ke lapangan pada Desember 2017.

Dia bilang, temuan FSC ini memperkuat hasil investigasi sebelumnya oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Merauke dengan Nomor Surat 522.2/0983 tertanggal 24 Agustus 2016. Instansi pemerintah di Papua ini juga menyatakan, pembukaan lahan secara mekanis dan tanpa bakar.

Baca juga: Laporan Terbaru Ungkap Pelanggaran Perusahaan Sawit Korindo di Gane

Selain kedua hasil investigasi itu, katanya, juga surat dari Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup tertanggal 17 Februari 2017.

Surat ini, katanya, menyatakan anak perusahaan Korindo Group tidak melakukan deforestasi ilegal dan memperoleh izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Perusahaan juga mengklaim telah membayar pelepasan hak atas tanah ulayat kepada masyarakat adat.

 

Hutan sudah bersihkan dan stacking-stacking sudah selesai dibuat. Foto screenshot video investigasi Mighty Earth dkk pada 2016

 

***

“Kami sudah menerima laporan itu, dan sekarang kami sedang mengumpulkan data. Kami juga berencana turun ke lokasi.” Begitu cuitan akun Twitter Ditjen Penegakan Hukum (@Gakkum KLHK) pada 8 September 2016, pukul 11.33 WIB. Cuitan itu merespon berita soal hasil investigasi gabungan organisasi masyarakat sipil atas dugaan pembersihan lahan dengan sengaja membakar di area konsesi Korindo Group di Papua.

Pada Kamis, 1 September 2016., berbagai organisasi dan lembaga antara lain, Mighty, SKP-KAM Merauke, Yayasan Pusaka, dan Federasi Eropa untuk Transportasi dan Lingkungan maupun Federasi Korea untuk Gerakan Lingkungan, rilis investigasi berjudul, Burning Paradise: Palm Oil in The Land of the Tree Kangaroo

Riset laporan yang mulai 2013 hingga Juni 2016 ini, menelusuri fakta-fakta Korindo ini lewat citra satelit, video dan foto-foto dari lapangan langsung atau lewat drone (pesawat tanpa awak). Dari sana, terlihat bagaimana kawasan yang dulu berhutan, kini tinggal lapangan luas. Sebagian lahan, sudah ditanami sawit, bagian lain masih hamparan kosong.

“Kami sudah laporkan ini ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sudah kirimkan laporan ke Dirjen Penegakan Hukum dan Menteri Siti Nurbaya,” kata Bustar Maitar, Direktur Mighty Asia Tenggara, kala temu media hari itu.

Saat investigasi teranyar Greenpeace Internasional dan Forensic Architecture, rilis 12 November lalu, KLHK merespon seakan melupakan kalau 2016 sudah menerima laporan juga.

Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, video kebakaran hutan dan lahan di konsesi sawit di Papua merupakan video 2013.

“Seharusnya, Greenpeace segera melaporkan bukti video tahun 2013 itu kepada pihak terkait saat itu,” katanya.

Dia pun mempertanyakan mengapa video investigasi tujuh tahun lalu, baru ekspos saat ini.

Bahkan, respon melenceng dan tak menjawab masalah malah terkesan melempar ke pihak lain dengan menyebut-nyebut kalau izin kebun sawit itu keluar pada periode Menteri Kehutanan, sebelumnya.

“Misal, SK pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan yang diberikan Pak Menteri Kehutanan yang dulu kepada PT Dongin Prabhawa, itu adalah SK tahun 2009.”

Dia bilang, hampir seluruh pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat, keluar era periode pemerintahan sebelumnya.

Menurut dia, kalau lapor ke pihak terkait pada waktu kejadian segera bisa ada tindaklanjut.

Roy, sapaan akrabnya, menambahkan, kalau ada pelanggaran oleh perusahaan, salah satu soal karhutla dan terbukti akan ditindak sesuai prosedur peraturan perundangan.

“Beberapa perusahaan di bawah grup Korindo telah berikan sanksi akibat karhutla di konsesi mereka. Bahkan ada dibekukan izin. Juga, beberapa perusahaan Malaysia, Singapura, termasuk perusahaan-perusahaan Indonesia.”

 

Screenshot respon Gakum KLHK atas investigasi terhadap Korindo pada 2016

 

Greenpeace balik merespon KLHK.”Meski video diambil 2013, namun kebakaran di konsesi Korindo masih terjadi pada 2016,” kata Kiki.

Masalah utama, katanya, terletak pada pembakaran disengaja, terlepas dari kapan kebakaran pertama muncul dan era menteri siapa kawasan hutan lepas.

“Temuan pelanggaran dan penyelidikan, katanya, menjadi tanggung jawab menteri saat ini.”

Dugaan kesengajaan pembakaran di konsesi Korindo, katanya, pernah dilaporkan sejumlah elemen masyarakat Papua pada 2016 kepada Gakkum KLHK. Pemerintah menyebut akan menindaklanjuti laporan itu. Hingga kini, pemerintah belum menjelaskan kepada publik  hasilnya.

Untuk itu, kata Kiki, pertanyaannya, sejauh mana KLHK memproses laporan dan pengumpulan data serta apa hasilnya. Kolaborasi Greenpeace International dan Forensic Architecture ini, katanya, memperkuat secara keilmuan, dengan gunakan metode terbaru.

“Semua menunjukkan ada dugaan pembakaran di lahan Korindo. Hal ini perlu dikawal bagaimana tindakan pemerintah dan hasilnya seperti apa.”

Investigasi yang dilakukan Greenpeace dan Forensic Architecture,, katanya, juga bentuk kepedulian publik membantu pemerintah mengawasi setiap jengkal hutan Indonesia yang tersebar luas. Pemerintah, katanya, tidak mungkin bekerja sendirian dan perlu bekerja sama dengan masyarakat.

Dalam pengawasan, katanya, publik alami masalah karena pemerintah tak transparan terkait pemilik HGU, peta dan lain-lain. Pemerintah, kata Kiki, harus membuka akses kepada publik bahkan media demi memberi efek kepada mereka yang berniat melakukan pembakaran.

Kiki bilang, Presiden Joko Widodo sudah mengatur peninjauan izin lewat Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit. Aturan ini, katanya, memberikan kesempatan pemerintah memperbaiki kesalahan pemerintahan sebelumnya.

Sayangnya, hingga kini pemerintah belum transparan soal progres evaluasi izin setelah sekitar dua tahun berlalu.”

Kiki juga meminta Menteri Siti Nurbaya, bisa menunjukkan komitmen terhadap keadilan hak atas tanah dan kepedulian lingkungan hidup dengan menyelidiki dan mengambil tindakan tegas dalam kasus Korindo ini.

Dia bilang, penting menegakkan keadilan bagi hak masyarakat adat yang terkena dampak kegiatan Korindo. Masyarakat pemilik ulayat, katanya, belum mendapatkan hak yang sesuai prinsip free and prior informed consent (FPIC).

“Perlu negosiasi tulus untuk menentukan masa depan perkebunan sawit, hutan yang belum dibuka di dalam konsesi, dan pemberian kompensasi layak atas kerusakan yang terjadi,” katanya.

 

Keterangan foto utama: Hutan baru dibabat. Foto dari screenshot video investigasi berbagai organisasi masyarakat sipil pada 2016

 

Exit mobile version