- Investigasi Forest Stewardship Council (FSC) menyimpulkan, Korindo telah mengkonversi hutan dalam membangun kebun sawit di Indonesia, yang mengarah pada penghancuran nilai konservasi tinggi.
- Temuan lain investigasi FSC menyebutkan, Korindo tak mematuhi prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC).
- FSC mengharuskan Korindo mengevaluasi semua dampak negatif dan memulihkan lahan yang telah mereka rusak. Korindo harus menentukan tindakan pemulihan yang aman dan efektif dengan proses terstruktur, transparan dan inklusif melalui konsultasi publik dengan berbagai pemangku kepentingan.
- Organisasi lingkungan dan masyarakat sipil menyerukan, Korindo mengembalikan tanah adat, menyelesaikan isu sosial dan menanggapi keluhan masyarakat. Juga, memberikan kompensasi adil kepada masyarakat yang kehilangan lahan, sumber daya alam, dan mata pencaharian mereka.
Meskipun tak mengeluarkan dari skema Forest Stewardship Council (FSC), lembaga ini mensyaratkan Korindo Group (Korindo) melakukan perbaikan dengan evaluasi dampak negatif dan memulihkan lahan yang sudah mereka rusak. Walaupun FSC menolak tuduhan bahwa Korindo secara sengaja dan ilegal membakar perkebunan, tetapi secara keseluruhan ada bukti perusahaan ini melanggar kebijakan FSC.
Hasil investigasi FSC melalui Policy for Association (PfA), menyimpulkan, bahwa Korindo telah mengkonversi hutan dalam membangun kebun sawit di Indonesia, yang mengarah pada penghancuran nilai konservasi tinggi.
Baca juga: Investigasi Ungkap Korindo Babat Hutan Papua dan Malut jadi Sawit, Beragam Masalah Muncul
FSC juga menyatakan, kalau Korindo tak mematuhi prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC). FPIC merupakan hak masyarakat atau persetujuan dengan sadar masyarakat untuk menerima atau menolak pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan wilayah mereka.
Investigasi FSC berawal dari laporan organisasi lingkungan, Mighty Earth pada November 2017. Korindo Group adalah konglomerat kayu dan sawit Korea-Indonesia yang beroperasi di Papua dan Maluku Utara.
Dalam pernyataan resmi yang rilis 23 Juli 2019 di Bonn, FSC memberikan alasan tak mengeluarkan Korindo dari skema FSC. Dari pengalaman mereka, mengeluarkan perusahaan tak memberikan solusi atas kerusakan lingkungan dan sosial.
“Bagi FSC, cara ini lebih efektif untuk memastikan Korindo tegas berkomitmen menerapkan perubahan menyeluruh dan memperbaiki praktik-praktik konversi yang telah dilakukan di masa lalu dengan mensinergikan pengelolaan hutan dengan standar FSC,” kata Indra Setia Dewi, Business Development FSC Indonesia, kepada Mongabay, melalui surat elektronik, Jumat (26/7/19).
Dengan cara ini, katanya, Korindo dapat membuat komitmen jelas kepada FSC dalam meningkatkan kinerja lingkungan dan sosial. Sekaligus, menyiapkan tindakan antisipasi dan pencegahan bagi kemungkinan dampak yang ditimbulkan.
Baca juga: Cerita Warga Minta Plasma Kala Korindo Moratorium Buka Lahan Sawit di Papua
Serupa dikatakan Kim Cartensen, Direktur Jenderal FSC Internasional, dalam keterangan resmi lembaga ini. Dia bilang, FSC mempertimbangkan seksama kasus ini, dan mendapatkan indikasi jelas soal komitmen Korindo akan bekerja untuk solusi konstruktif.
“Kami yakin mengeluarkan [Korindo] tak akan menghasilkan mekanisme konstruktif untuk memastikan konversi berhenti dan Korindo meningkatkan praktik dan pengamanan kehutanan,” katanya.
FSC mengharuskan Korindo mengevaluasi semua dampak negatif dan memulihkan lahan yang telah mereka rusak. Korindo, katanya, harus melanjutkan penangguhan konversi hutan dan deforestasi, mencapai sertifikasi FSC di semua operasi kehutanan serta mematuhi prinsip FPIC.
“Korindo juga harus menilai dampak negatif di masa lalu dan memastikan pemulihan.”
Korindo, kata Indra, harus menentukan tindakan pemulihan yang aman dan efektif dengan proses terstruktur, transparan dan inklusif melalui konsultasi publik dengan berbagai pemangku kepentingan.
“Menangguhkan setiap kegiatan konversi hutan dan deforestasi. Menenuhi standar sertifikasi FSC untuk manajemen pengelolaan hutan. Mematuhi prinsip-prinsip FPIC berdasarkan standar FSC,” kata Indra, sambil menambahkan, evaluasi dan pemantauan FSC terhadap Korindo akan dilakukan bersama-sama para stakeholder.
Mighty Earth bersama organisasi masyarakat sipil di Indonesia, merespon hasil investigasi FSC. Deborah Lapidus, Senior Campaigns Director Mighty Earth, dalam keterangan resmi berharap, Korindo mengakhiri praktik penyalahgunaan hak-hak masyarakat dan penghancuran wilayah hutan.
Baca juga: Laporan Terbaru Ungkap Pelanggaran Perusahaan Sawit Korindo di Gane
Meskipun demikian, katanya, keberhasilan atau kegagalan langkah ini tergantung pada komitmen Korindo untuk memulihkan dampak kerusakan pada masyarakat, hutan, dan ekosistem di Papua dan Maluku Utara.
Persyaratan remediasi, katanya, juga harus ditentukan setelah dialog dengan masyarakat sekitar yang terkena dampak. “Tidak ditetapkan sepihak oleh Korindo yang pastinya berupaya meminimalisasi tanggung jawab.”
FSC telah memverifikasi bukti-bukti yang dikumpulkan Mighty Earth atas dugaan deforestasi berskala besar atau lebih 30.000 hektar selama dua tahun sebelum pengajuan pengaduan, menghancurkan habitat satwa liar dan melanggar hak-hak tradisional dan hak asasi manusia.
“Korindo melanggar standar FSC dan berpotensi merusak nama baik FSC. Untuk menanggapi pelanggaran ini, FSC harus memastikan Korindo bertanggung jawab penuh atas perilaku buruknya,” katanya, sembari menyayangkan FSC memilih tak merilis temuan lengkap dari ketiga investigasi itu. Kepada Mongabay, FSC menyatakan, akan merilis hasil investigasi dalam waktu dekat.
Lapidus bilang, penting bagi masyarakat dan pemangku kepentingan terdampak membaca sendiri hasil temuan FSC sebelum Korindo mampu memutarbalikkan fakta.
“Pernyataan FSC tak menyoroti seberapa parah pelanggaran Korindo dan menyalahartikan temuan Panel mengenai kebakaran hutan yang dilakukan perusahaan itu. Kami meminta, FSC merilis laporan mereka lengkap dan tanpa bias agar semua pihak dapat menilai keefektifan tindakan remediasi yang dilaksanakan Korindo,” katanya.
Mighty Earth menyerukan, Korindo mengembalikan tanah adat, menyelesaikan isu sosial dan menanggapi keluhan masyarakat. Juga, memberikan kompensasi adil kepada masyarakat yang kehilangan lahan, sumber daya alam, dan mata pencaharian mereka. “Juga memulihkan ekosistem rusak.”
Organisasi ini juga menyerukan kepada FSC, untuk penyelidikan baru terhadap sejumlah organisasi bersertifikasi FSC lain yang terlibat praktik deforestasi dan pelanggaran HAM.
Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka mengatakan, selama dua dekade, Korindo banyak melanggar hak tanah secara diam-diam. “Mereka bertingkah sebagai penyelamat bagi orang-orang Papua. Karena itu, masyarakat luas harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Papua dan Maluku Utara,” katanya, seraya bilang, FSC memiliki tanggung jawab merilis semua temuan secara lengkap.
Serupa dikatakan Pastor Anselmus Amo from SKP-KAMe Meruake. Dia bilang, Korindo telah menghancurkan tanah dan mata pencaharian masyarakat, merampas sumber daya alam, melakukan tindak kekerasan dan intimidasi terhadap banyak orang, juga mencemari sungai.
“Semua ini mereka lakukan sembari merekrut tenaga kerja yang sebagian besar dari luar Indonesia. Korindo juga belum serius pemberdayaan masyarakat dalam program CSR (tanggung jawab sosial-red),” katanya.
Dia berharap, FSC mau berkonsultasi langsung dengan masyarakat setempat guna memahami tindakan buruk Korindo dan pandangan mereka mengenai kompensasi yang adil. “Juga langkah-langkah perbaikan yang akan dilakukan.”
Yulian Mohammad Riza, Manajer Humas Korindo Group mengatakan, patut digarisbawahi hanya terdapat dua hasil akhir dari investigasi FSC, dikeluarkan atau tetap jadi anggota.
”Pada 15 Juli 2019, FSC menyimpulkan, Korindo Group tidak akan dikeluarkan dari FSC, dan tetap bergabung dengan FSC,” katanya kepada Mongabay, Jumat (26/7/19).
Anak perusahaan Korindo Group yang digugat Mighty Earth, antara lain, PT Tunas Sawa Erma, PT Papua Agro Lestari, PT Dongin Prabhawa, PT Berkat Cipta Abadi, dan PT Gelora Mandiri.
“Berdasarkan hasil penyelidikan FSC, Korindo tidak melakukan pembakaran lahan maupun terlibat dalam pembakaran ilegal. Dengan demikian FSC menolak tuduhan Mighty Earth,” katanya.
Dalam laman resmi Korindo menyatakan, beberapa kegiatan operasional tertentu perusahaan belum memenuhi ketentuan Kebijakan Asosiasi FSC (PfA), terutama kerusakan areal nilai konservasi tinggi (high conservation value/HCV)’ dan konversi hutan jadi area perkebunan.
”Semua sudah ada di public statement Korindo. Silakan cek kembali,” kata Riza saat Mongabay, meminta penjelasan soal temuan-temuan investigasi FSC.
Dia menegaskan, kegiatan Korindo telah berpedoman pada ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia juga berdasarkan pada kesepakatan para pihak terkait pengelolaan lahan sawit.
”Namun, dalam beberapa hal ketentuan FSC lebih ketat dibanding ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan Indonesia,” tulis keterangan dalam laman Korindo.
Kondisi itu menyebabkan, operasional Korindo belum memenuhi ketentuan FSC walaupun sesuai ketentuan hukum di Indonesia.
Korindo Group, bersedia melanjutkan moratorium pembukaan lahan yang dimulai 21 Februari 2017 untuk seluruh operasional Korindo Group. Moratorium itu, meliputi penghentian pembukaan lahan oleh Korindo Group dan tetap berlaku hingga seluruh proses penilaian HCV dan high carbon stock (HCS) selesai.
Korindo Group, akan bekerja sama penuh dengan FSC dalam setiap proses, dengan peta jalan yang sudah ditetapkan FSC dan disetujui Korindo. Meski begitu, Korindo menyebutkan FSC belum menetapkan peta jalan.
”Korindo ingin membina hubungan konstuktif dan kolaboratif dengan para pemangku kepentingan agar roadmap dapat terealisasi dengan memuaskan,” katanya.
Dalam implementasi prinsip dan kriteria FSC, Korindo, bersedia dipantau lembaga independen. Korindo menyatakan, berupaya mendapatkan sertifikasi FSC untuk industri kehutanan dan bersedia patuh pada prinsip FPIC sebagaimana ditetapkan dalam prinsip dan kriteria FSC.
Keterangan foto utama: Hutan Papua, menjadi kebun sawit. Foto: Greenpeace