Mongabay.co.id

Nasib Perempuan dalam Pusaran Konflik Lahan dengan Perusahaan Sawit di Pasangkayu

Perempuan memanen sawit di Baribi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Barto basah kuyup. Pakaian dia jadikan handuk. Barto ke Sungai To’o untuk mandi, puluhan meter dari rumah pondoknya. Di tengah jalan berbatu, bocah enam tahun kepala plontos  itu menggigil. Barto, putra bungsu pasangan  Murtiani dan Hukma. Mereka dikaruniai 10 anak.

“Barto itu singkatan dari Baribi To’o, nama tempat lahirnya,” kata sang Ibu buka cerita.

Ayah Barto, tetua komunitas yang menamakan diri, Pahou Pinatali, bagian rumpun Suku Kaili Uma. Mereka pemukim pesisir Baras, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat.

Baca juga: Orang Pahou Hidup Sulit Kala Ada Perusahaan Sawit

Puluhan tahun lalu, tampang Baras tidak seperti sekarang. Ke sini, mesti tempuh via sungai. Jalan masih lintasan pembalakan kayu, yang menghubungkan ke pedalaman hutan. Rumah-rumah tak semolek sekarang.

Gelombang transmigrasi mengubah daerah terisolir di Baras. Ketika kebun sawit masuk, nasib kelompok Hukma, berubah sulit. Lahan yang mereka garap, satu-satunya sumber penghidupan, tergilas perluasan kebun sawit.

Barto lahir di Baribi, wilayah berbukit, secara administrasi masuk Desa Towoni, kini disesaki kebun sawit. Baribi jadi medan juang bagi kelompok Hukma yang sejak 2014 kuasai kembali lahan.

Murtiani bersama puluhan perempuan lain, bahu membahu, menjaga tungku perjuangan demi merebut kembali tanah leluhur mereka, seluas 1.050 hektar, dari penguasaan PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL). Perusahaan sawit ini anak usaha Widya Corporation.

Baca juga: Nasib Warga Merbau dan Rukam yang Hidup di Sekitar Kebun Sawit Perusahaan

Ketika berlawan, perempuan di garis depan, vbergabung bersama para lelaki. Mereka tak gentar. Bila para suami pergi, perempuan berjaga di Baribi. Hidup di pusaran konflik seperti ini, ancaman bisa datang tanpa mereka duga.

“Kenapa mau takut? Kita punya kehidupan di sini. Kalau mati, kuburkan saya di sini, depan rumah saya,” kata Murtiani.

“Coba bukan kita punya hak, buat apa dipertahankan?”

Barto lahir di ruang dapur seluas 4×6 meter, dengan persalinan seadanya. Hari itu, Murtiani gembira sekaligus sakit meredam maut.

Ruang dapur itu kini tampak suram, ketika saya berkunjung pada penghujung Juli lalu. Genangan air hujan semalam masih membekas di lantai. Atap rumbia itu tak sanggup melawan hujan deras. Begitu pula dengan dinding papan.

Untuk beristirahat, keluarga Murtiani menempati pondok, di seberang bangunan dapur. Sebuah bangunan reot, luas tak lebih 24 meter persegi. Berlantai semen, dengan alas tikar plastik. Tak ada hiasan mewah. Di sinilah, mereka tidur dengan gelaran kasur lusuh.

 

Murtiani, memperlihatkan dapurnya. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Warga yang melawan, hidup di pondok kayu yang mereka bangun sejak mulai menduduki lagi. Depan, belakang, kanan dan kiri pondok, rumpun sawit menghampar berbagai arah. Menghadang terik matahari, bikin Baribi lembab.

Baribi kembali bak sebuah kampung. Ada warung, dengan geliat warga saban hari. Deretan pondok seadanya selaras dengan nasib penghuninya. Sebagian telah hidup sebagai tuna wisma. Harta terakhir habis tergadai. Beli lauk-pauk saja sudah sulit.

Baca juga: Fokus Liputan: Ironi Sawit di Negeri Giman (Bagian 1)

Ekonomi mereka tak seperti dulu, ketika kakao yang mereka tanam menebalkan dompet. “Dari awal dikasih tahu, jangan ditebang cokelat (kakao). Itu pembeli beras. Dia (perusahaan) tebang terus,” kata Murtiani.

Bagi perusahaan, penghuni Baribi, adalah kelompok perambah, datang setelah hak guna usaha (HGU) terbit. Ketika awal perusahaan merintis hingga mulai beroperasi, kata Muhtar Tanong, Kuasa Direksi UWTL, lahan itu tak pernah jadi masalah.

Di Indonesia, sawit semula menghiasi Kebun Raya Bogor, kala era kolonial Belanda. Jadi ‘komoditas’ budidaya pertama kali di Sumatera. Beranjak ke Kalimantan, kemudian Sulawesi—seterusnya hingga Papua. Ia mengubah nasib banyak orang dan hutan tropis di Indonesia.

Sawit dikenal sebagai tanaman monokultur dan rakus lahan. Kerakusan itu pula antara lain menyebabkan konflik tenurial terjadi di berbagai daerah di nusantara ini. Warga, dan hutan serta lingkungan banyak berujung nestapa.

Baca juga: Kala Pala dan Cengkih Warga Halmahera Tengah Terancam Sawit

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), mendokumentasikan 69 konflik perkebunan sawit berserakan di Indonesia, sepanjang 2019. Di Sulawesi Barat, belum ada catatan pasti konflik. Instruksi Presiden soal moratorium izin sawit terbit September 2018, yang memandatkan setop izin termask evaluasi izin, tak berjalan optimal.

Di Pasangkayu, UWTL menguasai 31% lahan dari seluruh luas Kecamatan Baras itu, dan mengklaim telah mendongkrak perekonomian. “Bandingkanlah kondisi daerah ini tahun 80-an, saat UWTL memulai PIR-Trans, kemudian bandingkan kemajuan di era 90, 2000-an dan sekarang,” kata Muhtar Tanong.

“Biarlah, orang yang menyaksikan perkembangan ini menilai.”

Sebagian warga yang saya jumpai, tak menampik klaim perusahaan kalau Baras berkembang sejak UWTL datang. Berbeda dengan ungkapan Gubernur Sulbar, Ali Baal Masdar. Dia mengatakan, kontribusi sawit bagi pembangunan provinsi ini minim.

Klaim perusahaan juga kontras dengan kondisi warga yang hidup di Baribi. Keluarga Murtiani hidup dari penjualan grondolan sawit. Mereka memilih buah-buah sawit yang jatuh untuk dijual.

Saban waktu, Hukma memungut grondolan sampai karung 25kg penuh, di lahan perusahaan—yang bersengketa. Perkarung dia jual Rp50.000. Ketika kami berjumpa, dua karung grondolan laku.

Murtiani lekas beli bandeng. Ikan dia panggang untuk santapan makan siang.

“Kadang dapat, kadang tidak. Sudah dua bulan baru tadi dapat uang Rp100.000. Ini saja tidak cukup,” katanya.

Keluarga lain, menyambung hidup dari memanen sawit perusahaan—di lahan yang mereka duduki kembali. Sawit yang mereka panen, dijual ke PT Surya Raya Lestari, anak usaha Astra Agro Lestari. UWTL, kata warga, enggan menerima panen mereka. Di sela kebun perusahaan, warga juga tanam palawija.

Perempuan lain, Ase, menjual barang campuran di pondoknya, demi menambah penghasilan suami. Baginya, hidup di Baribi, suatu keharusan. “Sama-sama kita makan, jangan perusahaan saja kenyang kami lapar.”

 

Jalan menuju Baribi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Sejak penghasilan tak menentu. Banyak anak-anak di Baribi terancam tak lanjut sekolah lebih tinggi. Anak Murtiani, memutuskan berhenti kuliah di Universitas Tadulako. Rerata anak perempuan sudah beranak. Orang tua terpaksa mengawinkan anak untuk mengurangi biaya keluarga.

Hukma bilang, pernah minta perusahaan jadi mitra atau karyawan.

“Sudah saya tanda tangan semua, tetapi perusahaan tidak merespons,” kata Hukma dengan mata berkaca-kaca.

Hukma, berharap, jadi mitra tetapi perusahaan mensyaratkan punya lahan jelas. “Prinsip kemitraan adalah, ada calon petani dan calon lahan yang jelas status kepemilikan dan keberadaannya,” kata Muhtar.

Di antara perempuan di Baribi, Anna begitu tabah. Cita-cita bersama suaminya, Alex, yang mereka bawa dari Pinrang, Sulsel, kandas. Pasangan ini berencana jadi petani kakao di Sarudu (SP5), Pasangkayu. Kebun yang mereka beli malah tersedot HGU sawit.

Kini, pasangan itu melanjutkan hidup di Baribi. Mereka saling menguatkan. Anak Anna menikahi anak Hukma.

“Kami tidak mungkin mau tinggal di sini, kehidupan susah seandainya bukan kita yang punya. Itu kenapa mau kita pertahankan,” kata Anna.

“Mudah-mudahan pemerintah atau perusahaan mau mengerti. Memenuhi hak kita.”

 

 

***

Delapanbelas Maret 2020, di Kapohu, Desa Kasano, masih Kecamatan Baras, pasangan suami istri, Wawan dan Rosni, jalani hari seperti biasa.

Sehari-hari Wawan, bekerja serabutan di bilangan Baras, Pasangkayu. Kadang bantu kawan panen sawit, atau bantu menebang kayu pakai chain saw miliknya. Hasil tak seberapa.

Siang jelang sore, Hasan Basri, datang meminta pertolongan Wawan. Rumah mereka saling berhadapan di Kapohu.

“Dipanggil tarek mobilnya,” kata Rosni.

Petugas keamanan UWTL menahan mobil bak terbuka Basri, di kantor perusahaan di Bulili, Desa Motu, Baras. Malam sebelumnya, mobil pengangkut sawit itu tak kuat menanjak di jalan perusahaan. Petugas keamanan kebun memergoki, menyangka, mobil yang disewakan Basri ke orang lain itu mengangkut sawit curian.

Hari itu, Basri ingin mengambil mobilnya. “Pergi mi dulu. Tidak enak juga kita bertetangga begini tidak saling bantu.” Rosni memberi izin.

Wawan lantas ikut bersama Basri, membawa sebilah parang. Parang itu kata Rosni dibungkus jilbab miliknya. “Cuman itu ditahu awalnya.”

Tak hanya Wawan yang diminta pertolongan. Ada belasan, termasuk putra Basri. Sebagian dari mereka mantan anggota Basri, di pansus, petugas sipil yang bertugas mengawasi kebun perusahaan.

Basri berhenti dari pansus karena ada suatu masalah. Setelah keluar, Basri ikut membantu warga yang bersengketa dengan UWTL.

Rombongan itu segera melesat ke kantor perusahaan.

Basri bersama isteri, Rosmawati, semobil. Yang di mobil, juga bersiap buat menderek mobil yang ditahan, sisanya, naik motor.

Di sana, Rosmawati melihat mobil itu terparkir. Semua ban kempes. “Tercabut semua pentilnya.”

Basri menanyakan ke petugas di kantor itu. “Tidak tahu, pak,” kata Rosmawati mengulang jawaban orang itu.

Basri mengeluh. “Apa salahnya itu mobil dikasih begini. Kayak [dianggap] mobil perampok.”

Basri lantas minta petugas keamanan memanggil salah satu pimpinan. “Karena mau dicari jalan keluarnya ini mobil. Kalau memang salah, dipakai mencuri, ada kantor polisi,” kata Rosmawati meniru ucapan Basri.

“Datang itu sekuriti. Ku bilang mana pak pimpinan? Na bilang tidak mau ke sini.”

Rosmawati minta sekuriti itu memanggil kembali. Sang petugas kemanan itupun datang, beberapa menit kemudian. “Dia bilang [pimpinan] tidak ada.”

Tak lama, kata Rosmawati, ratusan orang berdatangan, sebagian diduga membawa parang. Mobil pemadam kebakaran yang ikut, menghadang gerbang kantor. “Biar motor tidak bisa lewat!”

Situasi tegang itu, kata Rosmawati, tak bikin Basri marah. Menurut orang yang kenal, Basri Kumis, begitu dia dikenal, adalah sosok penyabar dan tenang dan tak kenal takut.

Saat itu, ada polisi. Basri, kata Rosmawati sengaja memanggil petugas. Polisi berusaha menenangkan. “Diam saja di sini. Dikawal ki keluar, supaya tidak terjadi keributan,” Rosmawati meniru ujaran polisi itu.

“Jadi, bapaknya diam saja.”

Kawan Basri, masih sibuk memperbaiki mobil itu. Bergantian, mereka menyembur angin ke dalam ban memakai pompa tangan. Satu ban sama sekali tak mengembang.

Hari pun sudah gelap. Gerbang masih terkepung. Rosmawati lalu keluar, mencari air minum. Dia haus, dan segera pulang ke rumah. Di luar, dia berusaha merekam kejadian. Video itu belakangan terhapus.

“Tiba-tiba. Kenapa buser (buru sergap, satu bagian di kepolisian) yang datang? Ada yang pakai baju hitam, kayak penangkap teroris. Pakaian lengkap,” kata Rosmawati.

Petugas langsung mengangkut Basri bersama kawannya, termasuk anaknya. Parang mereka juga disita.

Rosmawati tidak menyaksikan proses penangkapan. Basri menceritakan kemudian hari.

Rosni tak tahu, Wawan ditangkap karena apa.

 

Basri (kiri) dan Rosmawati (kanan). Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Iring-iringan polisi yang mengangkut rombongan Basri tidak melintas di jalan depan rumah Rosni. Jalan di Kapohu, jalur angkutan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) produksi UWTL dan jalan utama menuju Baras.

Ketika warga Kapohu tahu Basri ditangkap, mereka melarang truk pengangkut CPO melintasi jalan kampung.

Di kantor polisi, polisi periksa rombongan Basri. Delapan orang proses, termasuk Wawan. Anak Basri, dan sebagian lain dilepas. Laporan awal kata Rosmawati, mereka kena tuduhan pengancaman kemudian berubah jadi penguasaan senjata tajam.

Rosmawati menduga, laporan terakhir jadi pijakan polisi mengurus berkas perkara sampai ke jaksa.

“Tidak bisa dipungkiri itu, karena memang ada bukti, bawa parang. Cuman parang itu tidak dipakai. Tapi, kenapa cuman parang rombongan bapak saja diamankan, dikasih naik ke mobil? Sedangkan, orang ini di luar, bawa parang, kenapa tidak bisa diamankan?” tanya Rosmawati.

“Kita ini datang tidak ngapa-ngapain. Tidak mengancam. Suara saja bapak itu tidak pernah besar. Itu mentongji mobil mau dicari jalan keluarnya. Tidak ditahu ada jebakan begini.”

Saya bertemu Rosmawati di rumahnya, akhir Juli. Ketika itu, sidang Basri cs bergulir.

Pada 16 Agustus 2020, Rosmawati menelpon. Vonis Basri cs sudah putus, awal Agustus. Mereka bersalah, Basri pidana 2,6 tahun, yang lain 10 bulan. Mobil pribadi dan dua lainnya jadi barang bukti. Tuduhan mencuri sawit masih kabur.

Dokumen: putusan pengadilan Wawan, dan putusan terdakwa lain.

Rosmawati bilang, Basri sedang banding. “Bapak dianggap pemimpin kelompok. Karena mobil itu dia punya. Dia yang mengajak.”

Dalam keterangan polisi, Basri dan tujuh warga lain dibekuk karena mengancam karyawan UWTL. Dari kejadian, polisi menyita 13 sajam sebagai barang bukti.

Dari versi perusahaan, Basri cs diduga menyerang kantor UWTL, mengancam karyawan dengan menguasai senjata tajam. “Semua telah kami laporkan ke pihak berwajib sebagai wujud taat dan sadar hukum,” kata Muhtar.

“UWTL berkomitmen untuk penegakan hukum, siapa melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatan di hadapan penegak hukum.”

Dalam salinan putusan pengadilan, beberapa saksi yang dihadirkan tak melihat Basri “menghunuskan atau mencabut parang” dan tak mendengar Basri dan kawan-kawan “berteriak-teriak.” Sejumlah saksi, mengaku, karyawan perusahaan takut dan hendak meninggalkan kantor.

 

***

Mereka yang dipenjara itu pencari nafkah. Salah seorang ketika ditangkap, umur bayi masih satu minggu. Seorang lagi, punya tiga anak, kini istri mencari nafkah seorang diri, ayam piaraan habis dijual menutupi kebutuhan hidup. Yang lain, pada isteri pulang ke kampung halaman.

Rosni, harus memikul beban berat. Sejak Wawan masuk penjara, dia mengasuh empat anak seorang diri. Putra bungsunya sempat demam dan terus bertanya ayahnya. “Saya selalu bilang ke dia, bapak pergi cari uang. Pergi basenso.”

Di rumah tahanan, Wawan memikirkan nasib anak dan istrinya. “Seandainya saya bisa mati di sini, saya pukul kepala ku di tembok, saya pikir anak ku,” kata Wawan ke Rosni.

Rosni hidup seadanya sejak dulu. Beli beras sekarung pun tak pernah. Kini, Rosni banting tulang mencari nafkah dengan menjual kelapa tua. “Biasa lima hari itu, cuman dapat Rp10.000.”

Anak pertamanya putus sekolah menengah pertama, memilih kerja di warung makan, membantu biaya keluarga. Dua putranya masih kecil. Seorang lagi masih sekolah.

Sebelumnya, Rosni tinggal di Baribi. Sejak menikah, dia pindah, bangun rumah kayu ukuran 4×6 meter di Kapohu.

Rumah itu beratap rumbia, dengan susunan papan sebagai dinding. Kamar dan dapur hanya terpisah dinding papan setebal dua cm. Tak ada listrik, hanya ada aki dan sebutir lampu. Di dapur, ada kompor dua mata dengan gas elpiji tiga kg yang kerap kosong. “Biasa pakai kayu bakar kalau tidak ada uang.”

Rumah ini tak ada ruang tamu. Tak ada lemari. Semua pakaian dia kemas ke dalam tas dan bak air plastik.

Rosni tidur di kasur sudah lusuh. Anak-anaknya tidur di kasur pegas.

Dia menyeka air mata, seraya menahan marah. Ada luka dalam menyayat hatinya. Rosni tak bisa berbuat lebih, hanya berserah diri pada Tuhan. “Hanya ini saja yang bisa dibikin.”

 

 

Keterangan foto utama: Perempuan memanen sawit di Baribi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version