Mongabay.co.id

Begini Masukan agar Indonesia Beralih ke Energi Rendah Karbon

Pembangkit Listrik Tenaga Surya [PLTS] di Desa Waibleler, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur yang dibangun dan dikelola pihak swasta dan terkoneksi dengan jaringan listrik PLN UP3 FBT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Krisis iklim sudah terjadi, salah satu cara mengantisipasi dengan bersegera serius menekan emisi antara lain dari energi. Guna mencapai sistem energi rendah karbon sesuai Perjanjian Paris, ketenagalistrikan dan transportasi jadi dua sektor prioritas untuk dekarbonisasi.

Jannata Giwangkara, Program Manajer Program Transisi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan, peta jalan transisi energi yang dibangun, sebaiknya untuk memenuhi target Perjanjian Paris, yakni karbon netral pada 2050.

Dari sektor ketenagalistrikan, kata Egi, sapaan akrabnya, Indonesia perlu menaikkan bauran listrik dari pembangkit berbasis energi terbarukan, moratorium PLTU baru, retrofit PLTU yang beroperasi agar lebih efisien. Juga menghentikan bertahap (phase out) dari PLTU batubara.

“Agar bisa memberi space untuk energi terbarukan supaya bisa masuk ke sistem,” katanya.

Dari sektor transportasi, bisa dengan elektrifikasi pada moda transportasi penumpang dan gunakan bahan bakar nabati atau sintesis untuk moda yang sulit dielektrifikasi.

Kalau melihat realita dan perkembangan saat ini, kata Egi, proyeksi bauran energi terbarukan dalam energi primer dan pembangkit, tak akan sesuai dengan target rencana umum energi nasional (RUEN).

Target bauran energi terbarukan 23% pada 2030, diproyeksikan hanya 15%. Target 23% diperkirakan baru tercapai pada 2050.

Begitu juga proyeksi keperluan pembangkit listrik yang dalam RUEN 136 gigawatt dengan pembangkit energi terbarukan 45 gigawatt, proyeksi hanya tercapai 95 gigawatt dengan pembangkit energi terbarukan 23 gigawatt.

Untuk itu, katanya, RUEN 2015-2050 perlu ditinjau kembali, dengan memperbarui parameter dan asumsi. Terutama, asumsi pertumbuhan ekonomi, laju permintaan energi, keekonomian energi terbarukan dan perkembangan tren transisi energi global.

Dalam laporan IESR Peta Jalan Transisi Energi yang rilis berseri sejak September lalu, menunjukkan, dengan skenario kebijakan saat ini diperkirakan pembangkit fosil mencapai 73 gigawatt (39 gigawatt PLTU) pada 2025. Kemudian, 179 gigawatt (145 gigawatt PLTU) pada 2050.

Sedang pembangkit energi terbarukan hanya 24 gigawatt dalam 2025 dan 129 gigawatt pada 2050.

Skenario kedua, kalau pemerintah setop bangun PLTU pada 2029, capaian energi terbarukan bisa 408 gigawatt pada 2050.

Hasil terbaik ditunjukkan skenario ketiga, dengan ambisius setop PLTU pada 2025 dan mengganti pembangkit fosil berusia 20 tahun. Kajian ini memperkirakan kapasitas energi terbarukan bisa 36 gigawatt pada 2025 dan 450,6 gigawatt pada 2050.

 

 

Pada skenario ini, meskipun belum mendekati nol, kata Egi, total emisi gas rumah kaca dapat ditahan pada 703-750 MtCO2e pada bauran energi primer dan berpotensi turun ke 82 MtCO2e di sistem ketenagalistrikan 2050.

Kalau mengkombinasikan dengan fenomena transisi energi terbarukan di negara tujuan ekspor, sebut kajian ini, juga akan menekan permintaan batubara.

“Namun saat ini Indonesia masih berencana memanfaatkan batubara untuk memenuhi kebutuhan energi melalui pembangunan PLTU dan hilirisasi,” katanya.

Dari perspektif ekonomi, , penurunan permintaan batubara ini berdampak negatif setidaknya pada lima kabupaten di tiga provinsi penghasil batubara, yakni, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, dan Paser di Kalimantan Timur. Kemudian, Balangan di Kalimantan Selatan dan Muara Enim di Sumatera Selatan.

Dia bilang, perlu perhatian juga, dari sisi tenaga kerja. Penurunan permintaan batubara berpotensi menimbulkan pengangguran lebih dari 100.000 pekerja langsung di industri ini.

Sisi lain, kata Egi, pembangunan clean coal technology bukanlah opsi ramah lingkungan. Pemanfaatan carbon capture storage (CCS), katanya, perlu investasi besar dan tak ekonomis dibandingkan pembangkit energi terbarukan.

“Apabila, kebijakan dan rencana ini tetap jalan, infrastruktur berbasis batubara dan energi fosil lain secara umum berpotensi lock-in dan menimbulkan kerugian berupa aset terdampar di masa depan.”

Dia mengusulkan, perlu diversifikasi keluar dari bisnis batubara ke industri lebih berkelanjutan.

 

Transformasi transportasi

Seiring perekonomian tumbuh, sektor transportasi juga akan terus tumbuh, sejalan dengan emisi gas rumah kacanya. Menurut kajian ini, sektor transportasi, sebagai pangsa pengguna bahan bakar minyak (BBM) terbesar, juga perlu jadi prioritas bertranformasi.

Menurut IESR, berbagai opsi dekarbonisasi dapat membuat emisi gas rumah kaca mendekati nol pada 2050. Salah satu, dengan elektrifikasi kendaraan untuk beban rendah atau jarak pendek seperti motor, mobil, bis dan truk, atau kapal penyeberangan. Juga, penggunaan bahan bakar nabati sintesis atau hydrogen untuk beban dan jarak sedang seperti truk, pesawat dan kapal jarak sedang.

Dia juga ingatkan soal rencana pemerintah kembangkan bahan bakar nabati, seperti biofuel sawit. Perlu dicatat, katanya, pengembangan dan pemanfaatan bahan bakar nabati juga berpotensi technological lock-in apabila tak terencana dengan komprehensif.

“Pembangunan kilang biofuel perlu mengantisipasi perkembangan kendaraan listrik dan teknologi bahan bakar alternatif jangka panjang supaya tak jadi aset terlantar. Pemilihan teknologi biofuel yang akan dikembangkan harus disesuaikan.”

 

Pangkalan nelayan Suralaya. Nelayan terdampak dengan ada PLTU batubara. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Intinya, kata Egi, perencanaan matang dan cermat yang memperhatikan perkembangan teknologi akan jadi kunci transisi sektor transportasi.

Adopsi kendaraan listrik, katanya, akan menambah kebutuhan infrastruktur ketenagalistrikan. Dengan tingkat penjualan kendaraan listrik pribadi, mobil dan motor, mencapai 100% pada 2040, diperkirakan konsumsi listrik meningkat 20-30% dari skenario bussines as usual atau setara lebih 200 TWh.

Pada sebagian besar waktu, kendaraan listrik pribadi ada dalam kondisi terparkir. Kondisi ini membuka peluang untuk memanfaatkan sebagai sarana penyimpanan listrik.

“Karena itu, ketersediaan infrastruktur yang sesuai jadi krusial.”

IESR menyatakan, integrasi antara sektor transportasi dan ketenagalistrikan dapat mengurangi kebutuhan infrastruktur pembangkit serta jaringan akibat penambahan beban permintaan dari kendaraan listrik.

Namun perlu jadi perhatian, transisi menuju kendaraan listrik berpotensi menyebabkan disrupsi pada industri otomotif, lapangan pekerjaan dan ekonomi.

“Berbagai potensi dampak negatif dari transisi energi perlu diantisipasi dan dikelola dengan baik agar proses transformasi dapat berjalan berkeadilan.”

Dia bilang, transisi energi berkeadilan mengatasi tiga tantangan yaitu, pengangguran, degradasi lingkungan dan ketidaksetaraan.

Mengutip studi Fraunhofer IAO dan IG Metall, kata Egi, peralihan ke kendaraan listrik dapat berakibat kehilangan 37.000-90.000 lapangan kerja pada industri otomotif dalam 2030.

Studi lain dari M-Five memperkirakan, kehilangan 300.000 lapangan kerja di industri otomotif Jerman karena elektrifikasi. Meskipun begitu, studi ini memprediksi juga ada kenaikan 600.000 lapangan kerja di sektor transportasi non manufaktur,.

Studi Cambridge Economics juga mengatakan, peralihan kendaraan listrik dapat mendorong pertumbuhan ekonomi karena pengeluaran masyarakat untuk transportasi berkurang.

Karena itu, katanya, perlu penerapan tata kelola yang baik dalam merencanakan jalur transisi energi. Dia bilang, hal-hal itu meliputi, penciptaan kondisi yang memungkinkan untuk investasi dalam energi terbarukan, memastikan ada konsultasi publik dan dialog sosial. Juga, membuat kebijakan perlindungan sosial dan pengembangan keterampilan serta pembentukan mekanisme pendanaan untuk mendukung transisi berkeadilan.

Untuk mengembangkan peta jalan transisi energi, katanya, jalur transisi yang diinginkan harus ditentukan kolektif dari semua pemangku kepentingan yang berpotensi terkena dampak.

“Pengaturan kebijakan dan peraturan ideal dapat menciptakan sinyal pasar kuat dan kredibel bagi investor swasta untuk mendukung proses transformasi,” katanya.

Berbagai hal itu, katanya, bisa berjalan dengan perencanaan sistem energi terintegrasi untuk memastikan ada koordinasi lintas sektor kuat. Juga, perancangan ulang pasar dan mekanisme penetapan harga pasar tenaga listrik dalam mendorong integrasi energi terbarukan efektif dan efisien,. Katanya, engan operasi fleksibel yang kuat dan penghapusan PLTU lama.

Penelitian pengembangan dengan dukungan dan fokus pada berbagai penerapan teknologi rendah karbon untuk memungkinkan dekarbonisasi di luar sektor listrik, juga tak kalah penting.

Didukung juga dengan standar kinerja dan regulasi peningkatan efisiensi energi lain untuk menggerakkan efisiensi energi. Kalau perlu, katanya, buat penerapan kebijakan insentif untuk kendaraan moda rendah emisi dan disinsentif bagi kendaraan boros emisi dalam sistem transportasi.

Untuk menciptakan iklim investasi dan pendanaan yang ideal dalam menghimpun dana transisi energi bisa dari pendanaan dan institusi keuangan publik. Juga, investasi swasta dan instrumen pendanaan lain seperti green bonds.

Pendanaan dari institusi keuangan publik bisa jadi dari dana bagi hasil proyek migas dan minerba seperti di Bojonegoro, pungutan produksi batubara, pungutan konsumsi BBM, tagihan listrik rumah tangga non subsidi dan pajak karbon.

Menanggapi laporan ini, Didi Setiarto, Tenaga Ahli Bidang Energi Kedeputian I Kantor Staf Presiden, mengatakan, saat ini masih ada persepsi energi terbarukan lebih mahal dari energi konvensional. Presiden Joko Widodo, katanya, sudah fokus mengembangkan infrastruktur sebagai bentuk pemenuhan komitmen terhadap Perjanjian Paris.

“RUEN, adalah bekal presiden,” katanya.

Sebagai turunannya, kata Didi, pemerintah mengeluarkan Permen ESDM No 50/2017 yang mengatur soal harga energi terbarukan.

“Ada komitmen nasional dan mandatori.”

 

 

Kala hujan turun, batubara yang terbuka seperti ini berpotensi mencemari laut sekitar. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini, pemerintah juga menyiapkan Peraturan Presiden soal energi terbarukan yang akan mengatur harga energi terbarukan. Menurut dia, sebelum diteken, harus ada pemahaman jelas kepada masyarakat bagiamana transisi ini akan berjalan.

“Transisi itu bagus, timing-nya kita set. Tidak bisa secara radikal harus diambil (oleh PLN),” katanya.

Menurut Didi, kurangnya minat investasi terhadap energi terbarukan mendorong pengembangan PLTU skala besar.

“Energi terbarukan tak bisa masuk, akhirnya PLTU yang dominan.”

Belakangan, kelebihan kapasitas (over supply), menimbulkan beban keuangan bagi PLN dan keuangan negara.

“Kalau perpres diteken, ini mandatori harus diambil PLN, harus dilihat bijak dampaknya bagi PLN,” kata Didi.

Bagaimana tanggapan swasta sebagai pelaku industri ini?

Adrian Lembong, Bendahara Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) juga Direktur PT. Adaro Power mengatakan, bagi Independent Power Producer (IPP) yang terpenting kepastian hukum dan kontrak.

Saat ini, katanya, sebagian besar IPP berbasis energi fosil juga sudah transisi. Hampir semua pemain besar batubara, katanya, kini punya divisi energi terbarukan.

“Yang menarik, orangnya sama. Yang dulu produksi batubara sekarang energi terbarukan juga. Di luar negeri pun begitu,” kata Adrian.

Dengan kata lain, kata Adrian, dari sisi pengusaha pembangkit listrik, transisi energi bukan masalah signifikan. Pengusaha, katanya, juga akan menerima kalau pemerintah menyatakan moratorium PLTU asalkan kontrak yang ditandatangani tetap dihargai.

“Kalau ke depan mau pakai energi terbarukan, studi dibuat, komitmen ada. Ini saja di Indonesia sampai ke bawah terjemahannya nggak pas.”

“Kontrak mini hidro sudah ditandatangan, dinegosiasi ulang, take or pay jadi take and pay, dollar jadi rupiah. Ini yang jadi isu. Tolong hargai komitmen,” kata Adrian.

Meskipun Indonesia termasuk kaya sumber daya batubara, katanya, harus jadi pertimbangan apakah akan dipakai saat ini seluruhnya. Padahal, katanya, saat ini industri batubara mengalami kesulitan pendanaan karena berbagai lembaga keuangan banyak menyatakan komitmen tak lagi mendanai bisnis batubara.

Financing-nya dari mana? Semua barang harus impor.”

Karena itu, moratorium PLTU bukan lagi soal keputusan politik namun tuntutan realitas ekonomi. “Ada natural transition dari non renewable energy ke renewable energy karena lebih murah dan lebih praktis dalam banyak aspek,” katanya.

Masalahnya, kata Adrian, Indonesia belum punya terobosan regulasi guna memastikan pembangkit listrik dari energi terbarukan bisa menjadi bagian dari sektor kelistrikan. Banyak tantangan teknis yang harus dikaji.

 

Keharusan

Tata Mustasya, Koordinator Kampanye Energi dan Iklim Regional, Greenpeace Southeast Asia lebih tegas mengatakan, transisi energi bukan pilihan namun keharusan untuk segera mengatasi krisis iklim.

“Greenpeace melihat, Indonesia belum berada di jalur tepat untuk itu,” katanya.

Terbukti dengan masih mendominasi energi fosil bahkan hingga beberapa dekade ke depan. Meskipun persentase turun, namun volume meningkat dua kali lipat kalau merujuk RUPTL saat ini.

Selain itu, katanya, belum terlihat komitmen pemerintah membuat target ambisius berikut fasenya.

“Mungkin tidak memutus kontrak juga tidak membuat PLTU yang baru. Ketika bicara biaya energi terbarukan makin murah, tapi faktornya dinamis dipengaruhi kebijakan,” kata Tata.

Mengutip studi Greenpeace Asia Tenggara yang menyandingkan negara-negara di Asia Tenggara dan posisi menuju Perjanjian Paris, kata Tata, Indonesia sangat kentara tertinggal jauh. Atau nilai F, dari negara lain yang satu fase dengan Indonesia di Asia Tenggara seperti Filipina, Malaysia dan Thailand.

Pun dibandingkan Vietnam, yang secara ekonomi hanya seperempat dari Indonesia, bisa membangun 5 gigawatt PLTS dalam empat tahun. Indonesia masih sekitar 100 megawatt.

Akhirnya, , dengan terus jadikan sumber daya batubara kaya di Indonesia, sebagai alasan terus gunakan energi fosil ini, makin mempertegas teori kutukan sumber daya alam.

“Kalau bicara transisi, kita sedang mengalami kutukan sumber daya alam. Institusi tidak tertata karena terlalu dimanjakan sumber daya alam,” kata Tata.

Kondisi ini juga, katanya, yang membuat Indonesia sulit diversifikasi ekonomi, berujung ketertinggalan dibanding negara lain di Asia Tenggara, diikuti kerusakan lingkungan hidup.

 

 

Keterangan foto utama: Pembangkit Listrik Tenaga Surya [PLTS] di Desa Waibleler, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur yang dibangun dan dikelola pihak swasta dan terkoneksi dengan jaringan listrik PLN UP3 FBT. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

Solar panel dari PLTS yang sekarang tidak lagi digunakan karena kerusakan inverter di Pulau Sebira, Kepulauan Seribu, Jakarta. Foto : Indriyani Astuti/Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version