Mongabay.co.id

Melacak Jejak Rempah di Sumatera Selatan

 

 

Di era Kedatuan Sriwijaya, Palembang dikenal dunia sebagai sentra penghasil rempah-rempah. Setelah hadirnya karet, kopi, dan sawit, kondisinya berubah. Masih adakah jejak rempah di Sumatera Selatan?

Indonesia sejak puluhan abad lalu terkenal dengan rempah-rempahnya. Mulai dari cengkih, pala, kayu manis, kemiri, gambir, kapur barus dan kemenyan, termasuk pula kayu gaharu.

Rempah-rempah yang dipercaya mendukung sejumlah peradaban di wilayah utara. Misalnya peradaban Tiongkok, India, Timur Tengah, hingga Eropa.

Pulau Sumatera, salah satu wilayah di Indonesia yang menghasilkan rempah-rempah tersebut. Sebagian besar didapatkan dari dataran tinggi atau perbukitan yang dikenal sebagai lanskap Bukit Barisan. Luasnya membentang dari Lampung di selatan hingga Aceh di utara.

Kini, Bukit Barisan merupakan Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera [Tropical Rainforest Heritage of Sumatera]. Wilayahnya meliputi TNBBS [Taman Nasional Bukit Barisan Selatan], [TNKS] Taman Nasional Kerinci Seblat, serta [TNGL] Taman Nasional Gunung Leuser [TNGL].

Baca: Perempuan, Purun dan Relasi Gender di Lahan Gambut

 

Jahe merah yang mempunyai khasiat luar biasa bagi kesehatan tubuh kita. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Sejak berabad lalu, masyarakat di Sumatera hidup di sekitar sungai. Ada ratusan sungai yang mengalir. Hampir semua sungai tersebut berhulu di Bukit Barisan, dan bermuara ke laut. Terutama ke pesisir timur Sumatera, yakni Selat Bangka dan Selat Malaka.

Sungai-sungai ini kemudian menjadi sarana transportasi untuk membawa rempah-rempah tersebut ke pesisir, sebelum akhirnya dibawa ke berbagai wilayah di dunia, dari Tiongkok hingga Eropa.

Ada enam sungai besar yang selama berabad digunakan masyarakat Sumatera yang dikenal sebagai bangsa melayu untuk membawa hasil alam tersebut ke pesisir timur, yakni Sungai Musi, Sungai Batanghari, Sungai Indragiri, Sungai Kampar, Sungai Siak, dan Sungai Rokan.

Baca: Oday Kodariyah, Pelestari Tanaman Obat Tradisional Indonesia

 

Kayu manis, tanaman rempah yang banyak manfaat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dijelaskan Ary Prihardhyanto Keim, seorang pakar etnobiologi, kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu, di masa lalu pusat perdagangan rempah-rempah di Sumatera berada di Palembang [masa Kedatuan Sriwijaya], Kerinci [masa Kerajaan Dharmasraya], Banda Aceh [masa Aceh Syahkuala], serta Barus [masa Malayupura].

Diyakini, sebagian besar rempah-rempah tersebut dihasilkan dari wilayah dataran tinggi atau lanskap Bukit Barisan seperti kayu manis, yang kemudian dibawa keluar melalui sungai-sungai tersebut.

Dan, pada saat ini, masih adakah jejak wilayah rempah tersebut di Sumatera Selatan yang masuk lanskap Bukit Barisan?

Baca: Kemitraan Konservasi, Skema Pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman yang Dinanti

 

Cengkih, tanaman rempah yang biasanya digunakan untuk membuat pedas masakan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bukan lagi sentra rempah

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, selama empat tahun terakhir di sejumlah wilayah huluan Sungai Musi [termasuk huluan delapan anaknya], masih ditemukan tanaman penghasil rempah, meskipun produksinya sudah kalah dari karet, kopi, dan sawit. Misalnya, kemiri dan kayu manis.

Dr. Edwin Martin, peneliti dari Litbang LHK Palembang mengatakan, “Berdasarkan berbagai penelitian atau kunjungan saya di sejumlah wilayah huluan Sungai Musi atau anak-anaknya, mungkin hanya sentra kemiri dan kayu manis yg masih mudah ditemukan. Gambir dan kemenyan masih ada tapi tidak banyak lagi. Pohon gaharu masih banyak, terutama hasil budidaya.”

Kemiri paling banyak ditemukan di Kecamatan Pendopo, Sikap Dalam, dan Ulu Musi, di Kabupaten Empat Lawang, sementara kayu manis di dataran tinggi Semende dan sekitar Pagaraalam-Tanjung Sakti.

“Pohon penghasil gaharu banyak ditemukan di Kabupaten Musi Rawas, Empat Lawang, Lahat, serta Muara Enim,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Minggu [15/11/2020].

Meskipun rempah-rempah masih dihasilkan, namun untuk menyebut [Sumatera Selatan] sebagai sentra [perdagangan] sudah tidak tepat lagi. “Data statistik tidak mendukung,” kata Edwin.

Baca: Penelitian: Jahe Merah dan Jambu Biji Potensial Tangkal Corona

 

Kunyit yang mengandung senyawa metabolit yakni kurkumin dengan potensi terapeutik beragam seperti antibiotik, antiviral, antioksidan, serta antikanker. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Potensi Perhutanan Sosial

Melihat sejarah rempah-rempah di Sumatera Selatan, serta masih adanya tradisi masyarakat menanam tanaman penghasil rempah, Edwin yakin rempah dapat menjadi produk andalan ke depan bagi petani di Sumatera Selatan. Misalnya, melalui skema Perhutanan Sosial.

“Saya setuju salah satu cara mengembalikannya melalui komodifikasi Perhutanan Sosial, misalnya dengan merancang klaster pangan dan rempah,” katanya.

Dijelaskannya, seluruh wilayah huluan Sungai Musi dan delapan anaknya di lanskap Bukit Barisan sangat cocok untuk dijadikan sentra rempah. “Mulai dari Kabupaten Musi Rawas Utara [huluan Sungai Rawas dan Lakitan] hingga Kabupaten OKU Selatan [huluan Sungai Ogan dan Sungai Komering]. Setiap komoditas memiliki kesesuaian tempat tumbuh yang berbeda.”

Misalnya, kayu manis cocok untuk di Kota Pagaralam dan dataran tinggi Kabupaten Muara Enim [Semende], sebagian Lahat dan OKU Selatan. Kemiri sesuai untuk wilayah uluan lebih rendah, seperti pada sebagian besar wilayah Kabupaten Empat Lawang, Musi Rawas, dan Musirawas Utara. Sementara lada dapat dikembangkan hampir semua wilayah uluan.

Baca juga: Jejak Suku Lom, Perlahan Hilang Akibat Tergerus Tambang

 

Rhizophora apiculata sering disebut bakau minyak atau juga bangka minyak. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Namun, kata Edwin, kendala utama dari sisi petani adalah preferensi dan kompetisi komoditas. Jika hanya diserahkan pada mekanisme pasar, petani akan cenderung pragmatis; menanam komoditas yang paling mudah dijual, paling minim biaya, paling stabil harga. Sementara karakter pasar rempah selama ini fluktuatif.

“Oleh karena itu, pemerintah harus memfasilitasi. Gelorakan komoditi rempah sebagai tanaman pendamping komoditas utama pilihan petani saat ini. Bentuk komunitas-komunitas petani-pedagang rempah. Bila perlu, buat kebijakan dan program lumbung rempah [spices estate],” ujarnya.

Senada dikatakan Dr. Sabaruddin, akademisi dari Universitas Sriwijaya, yang dikenal sebagai pegiat Perhutanan Sosial. Menurut dia, Perhutanan Sosial adalah pola tata kelola. Jenis tanaman dapat diperkaya jenis lain [rempah-rempah] dengan tetap memperhatikan kecocokan geografis [indigenous vs introduksi], juga kecocokan sosial [dalam hal ini preferensi masyarakat], serta kecocokan ekonomi [terutama pasar]. Sementara kapasitas masyarakat dapat dikembangkan melalui skema pendampingan.

“Terkait pasar [rempah-rempah] masih terbuka. Hanya bagaimana pengembangan hilirisasi supaya produksi tetap terserap. Di tingkat hulu bagaimana menjamin kecukupan dan kesinambungan produksi,” jelasnya.

 

Buah pala. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Jaga lingkungan

Dibandingkan tanaman produksi lainnya, tanaman-tanaman rempah yang besar seperti cengkih, pala, dan kemiri dapat menjaga lahan dari longsor dan menjaga tata guna air alias menahan air agar tidak hilang.

“Ini sangat penting mengingat saat ini banyak wilayah di Indonesia seperti di Maluku sebagai asal sejumlah tanaman rempah, termasuk pula di Sumatera, mengalami kekeringan atau longsor saat musim penghujan,” kata Ary Prihardhyanto Keim.

“Tanaman rempah adalah tumbuhan tropis yang sebagian besar endemik dan mengalami domestikasi. Selain berperan penting sebagai vegetasi penyusun ekosistem dan stok karbon, kelompok tumbuhan ini berpotensi besar mengurangi ketergantungan manusia terhadap bahan kimia; misalnya sebagai atsiri dan pestisida nabati,” tambah Edwin.

Tidak ada ruginya, mengembangkan kembali tanaman rempah yang pernah menjayakan Nusantara selama puluhan abad itu. Pada dasarnya, tergantung jenis tanaman rempahnya. Jika tanaman tahunan maka selain fungsi produksi juga fungsi ekologis terjaga. Jika tanaman semusim, misalnya jahe merah, maka perlu tetap zonasi.

“Tapi untuk pola Perhutanan Sosial, tanaman rempah tahunan seperti cengkih atau pala, lebih cocok karena memiliki fungsi penting dari sisi ekologis,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version