Mongabay.co.id

UU Cipta Kerja, Revisi UU Minerba, dan Terbukanya Gerbang Krisis Iklim

Pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di Cilegon city, Banten, Indonesia. Foto : Ulet Ifansati/Greenpeace

Meskipun sempat beredar beberapa versi, substansi dari UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 khususnya pada persoalan lingkungan dan sektor energi, relatif tidak berubah. Nampaknya, ini menjadi suatu pertanda bahwa kesepakatan terkait urusan lingkungan sudah tidak perlu diperdebatkan lagi di lingkar DPR dan Pemerintah Pusat.

Hal ini pun membuat aktivis lingkungan punya agenda yang cukup padat di tahun 2020. Bukan sesuatu yang mengherankan, sebab pemerintah mengajukan dua undang-undang sekaligus yang dianggap melemahkan safeguard lingkungan hidup.

Selain UU Cipta Kerja, revisi atas UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) Nomor 4 Tahun 2009 lewat pengajuan UU Minerba baru Nomor 3 Tahun 2020 juga menjadi persoalan. Tak bisa dipungkiri, sektor minerba memang menjadi sesuatu yang krusial bagi negara.

Dalam laporan capaian kinerja Kementerian ESDM tahun 2019 disebutkan bahwa sektor Energi dan Sumber Daya Mineral menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan nilai total sebesar Rp 172,9 Trilliun. Dari jumlah itu, 44,8 Trilliun diperoleh dari sektor Minerba.

Sehingga, niat pemerintah untuk membuka lapangan kerja dan mendatangkan investasi sebanyak-banyaknya tentu tak boleh acuh pada sektor ini. Hal ini bisa dicermati dari rancangan substansi UU Minerba dan Cipta Kerja yang sangat menguntungkan investor. Faktor yang paling disoroti adalah jaminan kepastian usaha tambang lewat perpanjangan izin usaha yang kian mudah.

Baca juga: Omnibus Law Jangan Sampai Perparah Krisis Iklim

 

Pembangkit listrik tenaga batubara Suralaya di kota Cilegon, Indonesia. Foto: Ulet Ifansasti/ Greenpeace.

 

Oligarki Sektor Minerba

Karena dianggap berat sebelah, penolakan terkait UU Minerba mengalir begitu deras. Hal ini membuat pemerintah dan DPR harus bersiasat untuk memuluskan undang-undang ini. Prasangka ini bisa dinilai dari momentum yang diambil ketika undang-undang ini diajukan. Setelah sempat ditunda akibat desakan masif dari publik pada medio akhir 2019, pembahasan undang-undang Minerba langsung carry over ke Prolegnas periode 2020-2021 dan mengambil momen ketika pandemi melanda.

Awalnya, konsep umum UU Minerba dimasukkan terlebih dahulu ke dalam RUU Cipta Kerja, yang diwacanakan dengan gencar oleh pemerintah pada awal 2020. Dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah pada awal Februari 2020, wacana terkait pemberian kebijakan royalti nol persen, pembebasan dari kewajiban memenuhi pasar domestik bagi pengusaha batubara dan jaminan perpanjangan izin operasional perusahaan tambang, tertulis dengan gamblang di draft.

Namun, juga karena mendapat penolakan yang lebih keras, pemerintah dan DPR akhirnya bermanuver lagi dengan mengeluarkan gagasan itu dari RUU Cipta Kerja dan beralih membahas RUU Minerba langsung di tengah penolakan terkait Omnibus Law. Taktik ini nampaknya cukup efektif untuk memecah konsentrasi dan perhatian publik, sehingga hanya dalam waktu tiga bulan sejak diajukan, undang-undang ini resmi disahkan.

Maka, hal ini tentu membuat publik bertanya-tanya perihal kegigihan DPR dalam mengesahkan undang-undang ini. Kepentingan oligarki pengusaha tambang ditengarai jadi alasan utama. Sebab, menurut laporan dari Katadata Indonesia, jika tak segera mendapat kepastian, ada tujuh perusahaan tambang yang terancam berhenti beroperasi karena izin kerja sama yang telah habis. Di antara tujuh perusahaan tersebut, terdapat raksasa besar industri tambang seperti PT Adaro Energy yang dimiliki oleh Garibaldi Thohir, saudara dari menteri BUMN Erick Thohir.

Apa yang kemudian publik dan aktivis lingkungan khawatirkan terkait isi UU Minerba yang mengesampingkan isu krisis ekologi dan cenderung pro investor, menjadi kenyataan. Selain kemudahan perpanjangan izin, luas wilayah operasional tambang pun juga menjadi semakin ekstensif. Sebelumnya, luas wilayah operasional dibatasi maksimal 25 ribu hektare untuk mineral dan 15 ribu hektare bagi batu bara.

Namun di undang-undang yang baru, hal ini kemudian berubah drastis menjadi tidak terbatas. Meskipun, peraturan ini hanya berlaku bagi perusahaan yang menerapkan nilai tambah seperti disebutkan di pasal 83. Namun, tetap saja berbagai kebijakan ini tentu sangat profitabel bagi pengusaha tambang.

Meskipun begitu, ide tentang menurunkan besaran royalti dari laba perusahaan tambang menjadi nol persen, ternyata belum menjadi kenyataan di UU Minerba yang baru. Tapi, tak kehabisan akal sampai disitu, oleh DPR dan Pemerintah, kebijakan ini dihadirkan pada UU Cipta Kerja. Melalui pasal baru nomor 128a, perusahaan tambang yang terintegrasi bisa bebas dari kebijakan royalti sebesar tujuh persen di UU Minerba yang lama.

Alhasil, kolaborasi ciamik dari UU Cipta Kerja dan Minerba hasil diskusi DPR dan Pemerintah semakin memberikan karpet merah bagi keabadian industri tambang di Indonesia.

Baca juga: Bongkar Muat Batubara PLTU Pangkalan Susu Potensi Cemari Laut

 

Batubara yang akan digunakan untuk menyuplai PLTU Pangkalan Susu di Sumatera Utara. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay-Indonesia.

 

Krisis Iklim yang Ditimbulkan

Tentu saja ini menjadi kabar buruk bagi niat Indonesia untuk berperan aktif dalam menangani krisis iklim yang sudah menerpa berbagai wilayah. Utamanya, mengurangi ketergantungan terhadap industri batu bara yang selama ini menjadi “nyawa” dari sistem listrik nasional lewat PLTU. Sebab, dampak utama dari PLTU sudah mulai terasa. Salah satunya tercermin dari kualitas udara di kawasan tertentu di Indonesia yang melebihi ambang batas wajar.

Di Jakarta misalnya, tahun 2019 lalu berbagai organisasi lingkungan hidup dan masyarakat sipil seperti Greenpeace Indonesia dan LBH Jakarta menggugat pemerintah dari daerah hingga pusat terkait hal ini. Koalisi ini mengklaim bahwa buruknya kualitas udara bukan hanya berasal dari polusi kendaraan, namun juga efek samping dari pembakaran batu bara di 8 PLTU yang mengelilingi Jakarta dengan radius sekitar 100 km.

Selain itu, menurut laporan dari Down to Earth Indonesia, tambang batubara melepaskan gas metana ke atmosfer. Sialnya, gas metana yang dihasilkan itu dua puluh kali lebih kuat daripada karbon dioksida. Hal ini pun menjadi faktor yang sangat signifikan dalam menyumbang terbentuknya emisi gas rumah kaca. Sehingga, dengan semakin masifnya eksplorasi tambang batu bara, akan membawa efek kerusakan yang vital pula bagi iklim.

Hal ini sejalan dengan laporan dari Mckinsey Institute tahun 2020 tentang krisis iklim. Iklim di bumi ternyata mengalami perubahan setelah lebih dari 10.000 tahun berada pada posisi yang relatif stabil. Celakanya, benua Asia berada di garis depan yang akan mengalami dampak dari krisis iklim ini, seperti gelombang panas hingga banjir yang lebih parah.

Khusus soal banjir, merujuk pada studi yang dilakukan tahun 2019 oleh Climate Central, pada tahun 2050, lebih dari 100 kabupaten/kota di pesisir Indonesia diperkirakan akan menghadapi ancaman banjir tahunan akibat peningkatan ketinggian air laut. Sehingga, ada sekitar 23 juta orang di pesisir Indonesia yang terancam menjadi korban perubahan iklim.  Angka ini pun ternyata naik hingga lima kali lipat dibanding perkiraan sebelumnya.

Sebenarnya, untuk menghadapi perubahan iklim, Indonesia sudah berkomitmen untuk menjalankan hasil konvensi dunia pada tahun 2015 terkait perubahan iklim, Paris Agreement. Secara nasional, Indonesia berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% atas upaya sendiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Untuk mencapai target tersebut, fokus diarahkan pada efisiensi dan inovasi di sektor energi, yang diproyeksikan menjadi penghasil gas rumah kaca (GRK) terbesar pada tahun 2030. Caranya dengan mengembangkan energi terbarukan sebagai sumber daya, seperti geothermal atau tenaga surya.

Namun, pengesahan UU Cipta Kerja dan Minerba yang tidak berpihak pada energi terbarukan nampaknya mengaburkan rencana itu. Padahal realitas tentang perubahan iklim sudah menampakkan gejalanya, bahwa tanpa diiringi tindakan adaptasi dan mitigasi, perubahan iklim adalah moral hazard yang semakin mengancam di masa depan.

 

* Irsyad Madjid, penulis adalah  Asisten Peneliti Climate and Energy di Greenpeace Indonesia,  Aktivis Kader Hijau Muhammadiyah (KHM). Artikel ini adalah opini penulis

 

 

Exit mobile version