Mongabay.co.id

Was-was Aturan Lahan Food Estate di Kawasan Hutan

Hutan Lindung Mendawak yang berbatasan dengan areal konsesi PT WSL yang masih terjaga ekosistemnya di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pembangunan kawasan pangan berskala besar, biasa disebut dengan food estate, bakal menggunakan kawasan hutan termasuk hutan lindung. Lewat kebijakan yang keluar pada 2 November 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Berbagai kalangan bereaksi keras. Mereka menilai, kebijakan ini berpotensi antara lain, meningkatkan laju deforestasi, memperbesar ketimpangan penguasaan dan penyusutan kawasan hutan. Walhi desak aturan ini dicabut.

Regulasi ini untuk memberikan pedoman penyediaan kawasan hutan bagi pembangunan food estate yang jadi program strategis nasional mendukung ketahanan pangan.

Baca juga: Pelibatan Petani dalam Proyek Food Estate d Kalteng Tak Jelas

Dalam pemenuhan kebutuhan lahan dari kawasan hutan, , salah satu perubahan peruntukan kawasan hutan atau penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP), seperti tercantum dalam Pasal 2 kebijakan itu.

Sigit Hardwinarto, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK, mengatakan, perubahan peruntukan kawasan hutan untuk pembangunan food estate di kawasan hutan produksi konversi seperti Pasal 6 ayat 1.

Upaya ini, katanya, dengan syarat harus melewati kajian tim terpadu, kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), dan menyelesaikan UKL/UPL guna perlindungan lingkungan hidup.

“Dalam hal untuk kepentingan reforma agraria, selanjutnya areal yang siap untuk tanaman pangan dapat redistribusi tanah kepada masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan,” katanya, 16 November lalu.

Baca juga: Bertani di Lahan Gambut, Jangan Mengulang Kesalahan Masa Lalu

KHKP, katanya, merupakan kawasan hutan yang secara khusus untuk kepentingan ketahanan pangan dan penetapan pada kawasan lindung dan hutan produksi.

“Areal KHKP tidak akan dilepas atau tetap jadi kawasan hutan.”

 

Kanal sekunder yang dibangun 1996, kala proyek eks PLG satu juta hektar. Tak kurang 4.500 km kanal membelah lahan gambut di area proyek sejuta hektar yang menjadi ‘penguras’ air gambut hingga memicu kebakaran. Foto: Sapariah Saturi

 

Pada Pasal 3 ayat 2, pembangunan food estate dengan mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan dan KHKP dapat diajukan permohonan oleh pemerintah. Antara lain, menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota atau kepala badan otorita dengan tugas khusus oleh pemerintah. “Tidak dimaksudkan untuk swasta.”

Baca juga: Cetak Sawah Baru: Jangan Lagi Gambut Hancur Seperti Proyek Satu Juta Hektar

Sigit mengatakan, hutan lindung untuk pembangunan food estate adalah kawasan yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung. Hutan lindung ini, katanya, sudah terbuka, terdegradasi, sudah tak ada tegakan hutan.

Pemanfaatan kawasan lindung jadi ketahanan pangan ini dia sebut sebagai upaya pemulihan atau rehabilitasi kawasan dengan pola kombinasi tanaman hutan (berkayu) dan tanaman pangan. Konsepnya, wana tani (agroforestry), kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak dikenal sebagai wana ternak (sylvopasture). Maupun kombinasi tanaman hutan dengan perikanan dikenal sebagai wana mina (sylvofishery). Memadu tanaman hutan dengan kombinasi-kombinasi itu, dia nilai akan memperbaiki fungsi hutan lindung.

Pembangunan ini, katanya, terintegrasi dengan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perternakan, dan perikanan termasuk dalam kawasan lindung.

Model pengembangan food estate ini, kata Sigit, selain untuk lahan pertanian berkelanjutan secara modern dan intervensi teknologi tinggi (benih, pemupukan, tata air, sistem mekanisasi, pemasaran, dan lain-lain) juga mencakup pola kerja hutan sosial. Hutan lindung yang akan jadi food estate tidak harus pelepasan kawasan hutan.

Sebelum food estate jalan, katanya, pemerintah telah menyusun masterplan pengelolaan KHKP, yang memuat rencana dan menyusun detail enginering design (DED), buat KHKP dari hutan lindung. Kemudian, penyusunan UKL-UPL maupun izin lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Antara lain, untuk menjaga keberlanjutan food estate dan kelestarian lingkungan hidup.”

 

Asal kebut?

Pada 17 November 2020, Komisi IV DPR rapat dengar pendapat dengan Kementerian Pertanian, dengan salah satu agenda soal implementasi food estate.

Sarwo Edhy, Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Kementan mengatakan, realisasi cetak sawah di Kalimantan Tengah hingga November 2020 dari target 30.000 hektar, masih ada 10.000 hektar belum tergarap.

Kementan berjanji, sisanya selesai dalam satu bulan ke depan, atau pekan kedua Desember.

“Saya gak yakin 10.000 hektar selesai akhir November atau hanya sebulan. Apa mungkin itu? Saya pribadi, mohon maaf itu tidak masuk akal,” kata Sudin, Ketua Komisi IV.

Dia mengingatkan, upaya cetak sawah bukan hanya soal pembersihan lahan, perlu ada kelengkapan sumber air berupa pembangunan irigasi.

Gini deh, kami juga punya [kebun sawit] itu selesai empat bulan untuk 10.000 hektar aja sudah mending,” katanya.

 

 

Budisatrio Djiwandono, Wakil Ketua Komisi IV mengatakan, target penyelesaian penggarapan lahan food estate tidak masuk akal. “Bapak dengan gampang bilang beres 10.000 hektar pada akhir November 2020? Saya garuk-garuk kepala.”

“Kita kerja 3.000-4.000 hektar ini kerja rodi? Jangan dengan gampang bilang 10.000 hektar selesai dalam 13 hari ini. Bingung. Khawatir program food estate ini bisa gagal,” katanya.

Momon Rusmono, Sekjen Kementan menyebutkan, capaian food estate sudah ada sekitar 19.000 hektar terolah atau sekitar 63,4%, sekitar 5.000 hektar sudah ditanami padi.

Kementan pun mengklaim telah menyalurkan benih untuk 24.195 hektar, dolomit 25.500 hektar, pupuk NPK untuk 7.000 hektar, pupuk hayati herbisida dan urea.

“Saat ini, disiapkan aspek kelembagaan korporasi juga proses bisnis, yang akan diimplementasikan pada 2021.”

Untuk food estate di Sumatera Utara, kata Momon, sudah ada kerjasama dengan swasta untuk jadi offtaker. Adapun proyek lumbung pangan ini dibangun berbasis komoditas hortikultura, antara lain, bawang merang, bawang putih dan kentang.

Saat ini, 215 hektar di Kabupaten Humbang Hasundutan fokus pada penyediaan bibit buat 2021 dari rencana pengembangan 30.000 hektar tersebar di empat kabupaten.

 

Tak sinergi

Ayip Said Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan mengatakan, langkah konversi kawasan hutan jadi pertanian ini tidak tepat. Seharusnya, pemerintah bisa mengoptimalkan program perhutanan sosial untuk bersinergi dengan program pembangunan lumbung pangan.

“Ini ngawur, selama ini rakyat mengambil kayu aja ga boleh kok. Ini kok boleh dikonversi?”

Data realisasi perhutanan sosial secara nasional hingga November 2020 sudah 4,2 juta hektar akses kelola masyarakat. Luasan realisasi ini, kata Said, seharusnya bisa optimal dengan memberdayakan petani yang mendapatkan akses kelola masyarakat dan hasil kelola BUMN.

“Ini seharusnya memberikan dampak signifikan. Bisa mencegah penyalahgunaan lahan, pengelolaan dan pendayagunaan lahan pangan secara berkelanjutan. Beragam produksi bisa meningkat, sekaligus mensejahterakan masyarakat,” katanya.

 

Norhadie saat menanam padi ladang di Kalteng. Foto: dok pribadi

 

Said bilang, keputusan-keputusan pemerintah saat ini orientasi pada pelayanan investor. Bahkan, sampai saat ini model bisnis yang diinginkan pemerintah belum sampai kepada publik.

“Misal, kerjasama dengan petani, modelnya seperti apa? Plasma inti. Lha itu kan sudah gagal. Itu situasinya tidak menguntungkan petani, contoh di sawit dan karet. Ini sudah keliru.”

Dia menduga, orientasi dari regulasi ini bukan pada pemenuhan kebutuhan pangan dan kesejahteraan petani. “Permen ini ujungnya kemana, kita lihat saja.”

 

Cabut

Walhi pun mendesak pemerinah mencabut aturan ini. Mereka nilai, akan makin memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia.

Dimas Novian Hartono, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah mengatakan, di Kalteng pernah mengalami kegagalan terkait dengan lumbung pangan pada 1995-1998.

Saat itu, lahan gambut dibuka untuk pengembangan komoditas pangan mencapai angka 1,4 juta hektar. Hasilnya, program era Presiden Soeharto itu malah menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Kebakaran hutan dan lahan, hingga kini jadi agenda tahunan yang belum bisa teratasi karena lahan gambut rusak.

Dia bilang, ada permen itu akan membuka hutan lebih besar lagi. Berdasarkan kajian pemerintah pusat, wilayah yang dianggap sesuai dengan pertanian pangan di Kalteng mencapai angka 3,2 juta hektar.

Untuk wilayah eks proyek lahan gambut (PLG) itu seluas 770.000 hektar, sebagian masuk dalam kawasan hutan. Apalagi beberapa wilayah merupakah kubah gambut dalam meskipun tahap pertama proyek baru 165.000 hektar. Untuk lahan yang disebut sesuai pertanian pangan di luar eks PLG itu 1,5 juta hektar.

Luas Kalteng mencapai 15,3 juta hektar. Sebagian besar, katanya, sudah dikuasai investasi baik perkebunan sawit, tambang, maupun industri kehutanan.

Dengan wilayah investasi begitu besar, katanya, pemerintah harusnya lebih mendorong pengakuan dan perlindungan wilayah pertanian pangan tradisional. Bukan malah membuka lagi ruang-ruang baru untuk pengembangan pangan skala besar melalui investasi yang berpotensi menyingkirkan pertanian tradisional hingga membuat ketimpangan penguasaan lahan makin besar.

“Kalteng wilayah luas , tapi pengakuan wilayah masyarakat sangat tipis. Dari 15,3 juta hektar, hanya 0,55% diakuin negara baik melalui skema perhutanan sosial maupun lainnya. Tidak sebanding dengan luasan investasi.”

Ketimpangan ini, katanya, akan makin tinggi saat permen ini berjalan. “Kita berharap permen ini dicabut. Karena banyak sekali hak-hak masyarakat yang sebenarnya tidak bisa terakomodir.”

Selain itu, kata Dimas, permen ini juga tidak mengakomodir perlindungan gambut. Dalam permen tidak tercantum klausul dengan perlindungan ekosistem gambut. Ada permen, katanya, membuka ruang bagi Kalteng mengajukan investasi baru dengan mengatasnamakan pangan.

“Karena yang berhak mengajukan food estate di kawasan hutan itu bupati walikota, gubernur hingga ke menteri bahkan sampai ke badan otoritas khusus yang memang ditunjuk dalam proses food estate ini.” Dengan begitu, katanya, terbuka ruang-ruang besar bagi pemerintah untuk memasukkan investasi baru dalam pengelolaan lahan-lahan atau kawasan hutan di Kalteng.

Permen itu, kata Dimas, juga membuka karpet merah untuk kembali deforestasi dan degradasi hutan di Kalteng.

Ada food estate, katanya, juga bisa ada kemungkinan monopoli khusus terkait benih. “Hilangnya benih-benih lokal yang akan dikembangkan di daerah sendiri. Benih-benih lokal itu berkaitan dengan budaya sosial budyaa masyarakat di Kalteng,” katanya.

Dimas menyebut, ada beberapa wilayah khusus menanam benih-benih tertentu untuk upacara-upacara adat. “Akan hilang dengan ada food estate. Pasti food estate akan menanam benih-benih produktif. Dalam artian seperti padi benih lokal itu hanya setahun sekali masa tanam dan masa panen, akan digantikan benih yang bisa panen setahun tiga kali.”

 

Tanaman sawit yang ditanam di area Blok C eks PLG Kalteng. Sawit bukan tanaman asli gambut, perakaran tanaman ini akan membusuk dan tidak akan tumbuh sempurna. Foto: Ridzki R Sigit

 

Dana Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara pun merespon food estate di Sumut. Dia mengatakan, pemerintah mencanangkan food estate di Sumut seluas 61.042 hektar di empat kabupaten. Di Humbang Hasundutan 23,000 hektar, Pakpak Barat 48.329 hektar, Tapanuli Tengah 12.655 hektar dan Tapanuli Utara 16.833 hektar.

Di luar food estate, katanya, KLHK mencanangkan kebun raya 1.150 hektar dan taman sains herbal akan dikelola Institut Teknologi Del milik Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, seluas 500 hektar. Empat kabupaten itu, katanya, selama ini dikenal sebagai lumbung pangan di Sumut.

“Saya agak bingung sebenarnya mengapa ada lagi food estate akan membuka hutan. Padahal di empat kabupaten ini kabupaten yang terkenal sebagai lumbung pangan di Sumut.”

Selama ini, katanya, petani mengeluhkan kesulitan sarana dan prasarana pertanian, pupuk dan akses lahan bukan luasan atau pembukaan hutan. “Keliru jika jadi lumbung pangan di Sumatera di empat wilayah ini yang jadi solusi membuka hutan baru.”

Proyek food estate, katanya, bukan untuk kedaulatan pangan tetapi hanya bancakan proyek investasi dengan mengatasnamakan pangan. Dia menyebut, proyek food estate sebagai ajang menjual hutan gratis bahkan murah kepada investor dengan judul ketahanan pangan.

Di Sumut, dia sempat merasa ada angin segar di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Tapanuli Utara, pemerintah mengurangi luas konsesi PT Toba Pulp Lestari 16.000 hektar dari sekitar 140.000 hektar. Awalnya, Walhi nilai penciutan itu sebagai langkah berani pemerintah mengiris dan mengurangi konsesi TPL yang selama ini seperti kebal hukum.

Persoalannya, konsesi TPL yang dikeluarkan itu– merupakan hutan ulayat–, tidak kembali kepada warga tetapi buat korporasi besar untuk food estate. “Kita ibaratkan seperti keluar kandang macan, masuk kandang harimau.”

Angan awal, kala kawasan seluas 16.000 hektar itu lepas dari perusahaan, akan diserahkan kepada masyarakat adat hingga mereka bisa mendukung kedaulatan pangan.

 

 

Exit mobile version