Mongabay.co.id

Sungai Upang dan Masa Depan Konservasi Pulau Bangka

 

 

Masyarakat Desa Tanah Bawah, Kecamatan Puding Besar, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, merupakan masyarakat multikultural. Warganya yang berjumlah 1.619 jiwa, sebagian besar berprofesi sebagai petani lada, karet, dan sawit. Di desa yang luasnya 6.435 hektar, mengalir Sungai Upang yang panjangnya sekitar 10 kilometer. Sungai yang hingga kini masih terbebas dari penambangan timah, limbah perkebunan skala besar, maupun racun ikan di Pulau Bangka.

“Biasanya masyarakat mulai mencari ikan sore hari di Sungai Upang, sepulang berkebun. Warga tidak ada yang berprofesi nelayan, tetapi hampir semua mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan lauk sehari-hari,” kata Baharudin [58], warga Desa Tanah Bawah kepada Mongabay Indonesia, Minggu [15/11/2020].

Sungai Upang merupakan anak Sungai Jeruk yang mengalir di Desa Payak Benua, dan bermuara ke Selat Bangka. Di sepanjang alirannya terdapat tumbuhan rasau [Pandanus helicopus], sejenis pandan, serta pohon perupuk, rengas, gelam, dan meranti.

Baca: Sungai di Bangka Rusak Akibat Tambang Timah dan Sedimentasi

 

Hormen, warga Desa Tanah Bawah sedang menjaring ikan di sekitar Sungai Upang di Desa Tanah Bawah, Kecamatan Puding Besar, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Keyakinan dibebaskan dari timah

Mongabay Indonesia melihat langsung Sungai Upang, Minggu [15/11/2020], yang kondisi masih terjaga. “Kami sadar pentingnya sungai ini, selain sumber air baku, juga sebagai penghidupan warga. Saat menangkap ikan, warga hanya menggunakan peralatan tradisional, seperti bubu, jaring atau, pancing,” lanjut Baharudin.

Selain perilaku arif masyarakat, terbebasnya Sungai Upang dari pencemaran terkait juga kepercayaan di masyarakat, jika timah di desa ini telah dihilangkan tetua desa di masa lalu. “Hingga saat ini terhindar dari aktivitas penambangan timah.”

Baca: Nelayan Versus Tambang Timah, Akankah Berakhir di Bangka?

 

Masyarakat Desa Tanah Bawah hanya menggunakan peralatan tradisional saat menangkap ikan di sekitar Sungai Upang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ikan yang didapat antara lain gabus, toman, baung, dan tapah.

“Dulu sekali, warga pernah mendapat tapah yag beratnya bisa mencapai puluhan kilogram. Sekarang mulai jarang, karena banyak yang mencari, terutama para pendatang dari Desa Kotawaringin. Dua minggu lalu, ada yang dapat tapah seberat delapan kilogram. Sedangkan toman, pernah sekitar tujuh kilogram,” kata Hormen, warga Desa Tanah Bawah.

Baca juga: Sering Terjadi, Konflik Manusia dengan Buaya di Bangka Belitung

 

Ikan Toman yang hidup di Sungai Upang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Kawasan ragam hayati

Tahun 2017, kawasan Sungai Upang oleh pemerintah setempat dijadikan area konservasi keragaman hayati seluas 40 hektar.

“Dasar penetapan karena masih baiknya ekosistem sungai,” kata Yuli Tulistianto, inisiator Konservasi Biodiversity Sungai Upang, kepada Mongabay Indonesia, Minggu [15/11/2020].

Yuli aktif mengunjungi Sungai Upang sejak 2004. Dia juga melihat sejumlah sungai lain di Pulau Bangka sebagai perbandingan.

“Di hulu dan hilir sungai ini tidak ada aktivitas penambangan timah. Untuk ikan, ada sekitar 36 jenis yang sudah kami identifikasi dengan tapah sebagai unggulan. Satwa lainnya, ada lutung, rusa, pelanduk, mentilin, dan berbagai jenis burung.”

 

Seorang warga Desa Tanah Bawah sedang memasang bubu di sela tumbuhan rasau di Sungai Upang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Seluruh keragaman hayati itu membentuk rantai ekosistem yang saling melengkapi. “Seperti halnya tumbuhan rasau, berguna untuk mengurangi sedimentasi sungai dan tempat ikan bertelur. Ada juga pohon perupuk, yan buahnya jika jatuh ke air menjadi makanan bagi ikan, dan ini harus kita jaga,” lanjut Yuli, salah satu founder dari Bangka Flora Society.

Kawasan konservasi biodiversity Sungai Upang dikelola Bangka Flora Society yang melibatkan sebuah kelompok, perwakilan elemen masyarakat setempat yakni, Sahabat Alam Sungai Upang. Jika ingin berkunjung, kita hanya perlu membayar tiket masuk sukarela, serta membayar sewa perahu jika ingin menyusuri Sungai Upang.

 

Anggrek ini berada di kawasan Konservasi Biodiversity Sungai Upang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pengunjung juga dapat memanfaatkan barcode yang digantungkan pada sejumlah anggrek dan tanaman di sekitar kawasan, jika ingin mengetahui lebih jauh tanaman yang ada.

“Fokus kami saat ini adalah mensinergikan seluruh elemen masyarakat dan stakeholder, agar konservasi tercapai. Kedepannya, dapat menjadi wisata edukasi serta pusat riset flora dan fauna di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung,” papar Yuli.

 

 

Dian Rossana Anggraini, Ketua Bangka Flora Society, menuturkan hal yang sama. “Kami mengambil langkah konservasi, terhadap keragaman flora maupun fauna di Sungai Upang. Kami memindahkan sejumlah spesies anggrek dan tanaman lain ke tempat lebih aman, sekaligus sebagai wahana edukasi kepada wisatawan,” ujarnya.

 

Sejumlah pohon ditebang oleh orang tidak bertanggung jawab di dalam hutan Sungai Upang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Ancaman kebakaran dan pembalakan liar

Bentang alam Sungai Upang yang didominasi ekosistem rawa gambut, membuatnya rentan terbakar saat kemarau panjang. Kebakaran pernah terjadi di sekitar sungai ini pada 1998, 2017, dan 2019.

Baharudin menuturkan, saat kebakaran 1998, panasnya api menghanguskan hutan. “Bahkan saat itu, banyak ikan mengapung karena keracunan abu kebakaran. Hampir seluruh hutan di sisi barat, timur, utara dan selatan ikut terbakar.”

 

Kawasan hutan di Sungai Upang yang terbakar tahun lalu. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sementara, kebakaran pada 2019 lalu mengakibatkan sejumlah spesies anggrek mati di Pulau Anggrek, sebuah delta yang dijadikan kawasan konservasi tanaman anggrek di Sungai Upang.

“Agak dilema. Saat kemarau, warga akan mendapat ikan lebih banyak karena volume air berkurang, tapi di sisi lain, daerah berawa akan kering dan rentan terbakar,” kata Hormen, Ketua Sahabat Alam Sungai Upang.

Dia mengatakan, api biasanya berasal dari daerah lain, yang berdekatan dengan kawasan Sungai Upang. Penyebab kebakaran sering karena kelalaian manusia. “Seperti membuang puntung rokok sembarangan, atau orang yang sedang memanggang ikan ditengah rawa, tidak dipadamkan,” lanjutnya.

 

Dua anak Lutung yang diselamatkan dan dirawat di kawasan Konservasi Biodiversity Sungai Upang. Foto: Nopri IsmiMongabay Indonesia

 

Ancaman lain adalah mulai maraknya pembalakan liar di sekitar hutan Sungai Upang. Mereka mengincar sejumlah pohon kualitas tinggi, seperti perupuk, rengas dan meranti.

“Orang yang menebang pohon, bukan berasal dari Desa Tanah Bawah, tapi pendatang. Untuk itu, kami menginginkan sinergi antara warga setempat beserta sejumlah pihak di Pulau Bangka untuk bersama menjaga kelestarian Sungai Upang. Jangan sampai tercemar, sebagaimana sungai lainnya di Pulau Bangka,” jelas Hormen.

 

 

Exit mobile version