Mongabay.co.id

Dian Rossana Anggraini, Pelestari Anggrek di Bangka Belitung

 

 Baca sebelumnya: Sungai Upang dan Masa Depan Konservasi Pulau Bangka

**

 

Dian Rossana Anggraini, tetap semangat melakukan upaya konservasi flora, khususnya anggrek. Kegiatan mulia itu dilakukan sejak 1997, berawal dari kekhawatirannya akan kondisi bentang alam Provinsi Kepulauan Bangka Belitung [Babel], yang mengalami degradasi, akibat pertambangan timah dan ekspansi perkebunan skala besar.

“Bangka Belitung ini kalau bisa jangan dikenal karena kerusakan alamnya, tetapi juga harus dikenang akan keanekaragaman floranya, terutama anggrek,” tutur perempuan kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, 28 Mei 1965, kepada Mongabay Indonesia, Senin [16/11/2020].

Perempuan lulusan Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang, jurusan Ilmu Tanah ini, bersama suaminya Yuli Tulistianto yang juga pegiat konservasi, telah mengidentifikasi sebanyak 97 spesies anggrek di Bangka Belitung.

“Masih banyak yang belum diketahui namanya. Jika ditotal ada sekitar 123 jenis, dan sepertinya masih akan terus bertambah. Oleh karena itu, kita harus bergerak cepat dalam melakukan konservasi, tidak hanya anggrek, seluruh flora di Pulau Bangka dan Belitung,” katanya.

Baca: Oday Kodariyah, Pelestari Tanaman Obat Tradisional Indonesia

 

Dian Rossana Anggraini saat mengarungi kawasan Konservasi Biodiversity Sungai Upang yang kini dijadikan pusat konservasi anggrek-anggrek langka di Bangka Belitung. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mulai sulit ditemukan

Ibu dua anak [Regia Putri Swastian dan Anastasia Anisalian] mengatakan, ada sejumlah jenis anggrek yang mulai sulit ditemukan di Pulau Bangka. Sebut saja jenis anggrek bulan, seperti Phaleonopsis sumatrana, Phaleonopsis cernucervi, Phaleonopsis zebrine, Phaphilionanthe hookeriana, dan Gramathopillum speciosum.

Merujuk data IKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2019, dari total 1.669.419 luas daratan wilayah ini, hanya tersisa 461.576 hektar lahan dalam kondisi tidak kritis. Sisanya, dalam kondisi potensial kritis [794.718 hektar], agak kritis [392.437 hektar], kategori kritis [20.428 hektar], dan kondisi sangat kritis [260 hektar].

“Salah satu ancaman kelestarian anggrek di Pulau Bangka adalah alih fungsi lahan menjadi perkebunan skala besar, selain pertambangan timah yang tidak ramah lingkungan,” ujar perempuan yang memiliki dua anggrek favorit, yakni Phaleonopsis cernucervi dan Bulbophilum medusae.

Baca: Cerita Ruwindrijarto dan Kepakan Sayap Kupu-kupu di Pagerharjo

 

Dian saat memasuki kawasan rawa di wilayah Konservasi Biodiversity Sungai Upang untuk mencari jenis anggrek yang mulai sulit ditemukan di Pulau Bangka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Dia menjelaskan, dua per tiga dari anggrek di dunia ada di Indonesia, dan satu per tiganya ada di Indonesia bagian barat. Untuk spesies, ada lebih 7.000 jenis anggrek di dunia, dan kurang lebih 5.000 jenisnya ada di Indonesia.

“Sudah seharusnya kita bangga dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia, begitu juga dengan masyarakat Bangka Belitung,” lanjutnya.

Sejauh ini, katanya, kepedulian masyarakat di Bangka Belitung masih minimalis terhadap kelestarian anggrek.

“Hal ini dikarenakan keterbatasan mereka terhadap ilmu pengetahuan. Edukasi pentingnya menjaga lingkungan harus dilakukan,” terang Dian, yang telah menulis buku bertitel “Aneka Tanaman Hias Bangka Belitung” pada 2008 lalu.

Baca juga: Totalitas Widodo Ramono untuk Badak Sumatera

 

Dian coba mengangkat anggrek jenis Coelogyne asperata di kawasan Konservasi Biodiversity Sungai Upang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Perjuangan panjang dan penghargaan

Kecintaan Dian terhadap anggrek sudah tumbuh sejak ia kecil. Terlahir dari ayah penghobi anggrek dan sang ibu yang berprofesi sebagai perangkai bunga, menguatkan tekadnya untuk konsisten berjuang di jalur konservasi lingkungan.

Dian kali pertama menginjakkan kaki di “Negeri Serumpun Sebalai” [Bangka-Belitung] tahun 1992. Bersama suaminya, ia langsung terpesona dengan beragam jenis anggrek yang tumbuh di hutan Bangka Belitung.

“Di Bangka, banyak anggrek tumbuh di pohon mati. Saya dan suami berinisiatif menyelamatkan dan mengumpulkannya di lahan kosong, lokasinya tidak jauh dari rumah.”

 

Anggrek [Dendrobium sp] yang mulai sulit ditemukan di Pulau Bangka ini berada di kawasan Konservasi Biodiversity Sungai Upang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sejak itu, Dian dan suami keliling Pulau Bangka Belitung, keluar masuk hutan, mengumpulkan satu persatu jenis anggrek.

“Meski terlihat mudah, tetapi tetap saja ada hambatan. Terutama anggapan orang akan kegiatannya yang layaknya kurang kerjaan, ke hutan nyari anggrek. Namun begitu, banyak juga yang mendukung niat baik kami,” kata Dian yang tinggal di Dusun Bukit Betung, Kelurahan Parit Padang, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Kepuluan Bangka Belitung.

 

Jenis anggrek ini berada di di kawasan Konservasi Biodiversity Sungai Upang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tahun 2000, Dian bersama suaminya dan beberapa orang, membentuk sebuah wadah untuk konservasi flora di Bangka Belitung, yang mereka namakan Bangka Flora Society [BFS].

“Melalui BFS, kami ingin masyarakat tertarik melestarikan flora yang ada di Bangka Belitung. Lebih dari itu, kami ingin mengedukasi masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem secara utuh,” tambahnya.

 

Anggrek tanduk rusa yang berada di pohon di kawasan Konservasi Biodiversity Sungai Upang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Enam pilar konservasi

Dian yang berprofesi sebagai guru di SMA Setia Budi Sungailiat, selalu memegang teguh enam pilar konservasi. Konservasi Kehati, Konservasi Energi, Pengelolaan Kawasan yang Lestari, Arsitektur Hijau dan Transportasi Internal, Konservasi Etika, Seni dan Budaya, dan Kaderisasi Konservasi.

Dalam hal kader konservasi, ia ikut berperan mendirikan sarana pendidikan lingkungan bernama Sekolah Alam Langit Biru, yang kini telah memiliki 68 siswa. Sarana pendidikan ini tersebar di Mentok, Toboali, Nyelanding, Belinyu, Petaling, Bakam, dan di Sungai Upang, Desa Tanah Bawah, Kecamatan Puding Besar, Kabupaten Bangka, yang telah menjadi kawasan Konservasi Biodiversity.

“Sekolah ini sangat terbuka bagi siapa saja, tidak ada batasan umur. Fokusnya pada pendidikan karakter. Jadi, behavior masyarakat di Bangka Belitung harus diubah perlahan, agar lebih peduli lingkungan,” katanya.

 

Dian Rossana Anggraini memegang anggrek favoritnya [Bulbophilum medusae] bersama dua kader konservasi Sekolah Alam Langit Biru di kawasan Konservasi Biodiversity Sungai Upang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pengabdian panjang Dian pada lingkungan diganjar sejumlah penghargaan bergengsi. Dia dinobatkan sebagai Pelaku Sumber Daya Genetik tingkat Nasional tahun 2013. Puncaknya, Kalpataru dengan kategori Perintis Lingkungan tahun 2015. Dian juga menerima penghargaan sebagai Pelaku Konservasi Nasional tahun 2016.

“Semua penghargaan itu bukan tujuan utama. Paling penting adalah terbangunnya kesadaran, kepedulian, serta dukungan seluruh stakeholder di Bangka Belitung, baik pemerintah, perusahaan, dan masyarakat untuk bersama menjaga dan melestarikan lingkungan,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version