Mongabay.co.id

Javan Rhino Expedition, Memotret Badak Jawa di Habitat Terakhir

Badak jawa yang berada di habitatnya di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: David Herman Jaya/Javan Rhino Expedition

 

Buku         : Javan Rhino Expedition - Surviving in Silence

Penulis      : David Herman Jaya, Nur Arinta, Gina Alvernita Andre

Tebal        : 222 Halaman

Tahun Terbit : September 2020

Supported by : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, TN Ujung Kulon

**

 

Bicara badak jawa [Rhinoceros sondaicus], pandangan mata dunia kini tertuju ke Indonesia. Tepatnya, Taman Nasional Ujung Kulon [TNUK]. Padahal, bila dilihat dari catatan persebarannya, dahulu satwa bercula satu ini ada di India, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, Semenanjung Malaysia, Jawa, dan Sumatera.

Di Myanmar, badak jawa terakhir yang hidup ditembak mati tahun 1920 untuk koleksi British Museum. Di semenanjung Malaysia juga ditembak, di wilayah Perak pada 1932 untuk koleksi museum. Sedangkan badak jawa yang hidup di Sumatera, diperkirakan mulai punah pada pertengahan 1940-an.

Di Vietnam, secara resmi diumumkan badak jawa telah punah pada 2010. Ini dikarenakan, sang individu terakhir ditemukan mati dengan luka tembak dan cula menghilang di Taman Nasional Cat Tien. Perburuan dan hilangnya habitat, membuat badak jawa menghilang dengan cepat yang diperkirakan mulai berlangsung abad ke-21.

International Union for Conservation of Nature [IUCN], menetapkan badak jawa dalam status Kritis [Critically Endangered/CR] atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar.

 

Badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Foto: David Herman Jaya/Javan Rhino Expedition

 

Badak jawa merupakan mamalia dengan tinggi badan antara 128 – 175 sentimeter. Bobot tubuhnya sekitar 1.600 – 2.280 kilogram. Meski penglihatannya tidak begitu tajam, akan tetapi pendengaran dan penciumannya sangat sensitif. Hal paling mudah ditandai adalah, cula sekitar 30 sentimeter berwarna abu-abu gelap ada di kepalanya.

Pemerintah Indonesia, telah memasukkan satwa ini sebagai satu dari 25 spesies terancam punah yang diprioritaskan meningkat populasinya sebesar 10 persen tahun 2014-2019, sesuai kondisi biologis dan ketersediaan habitat.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi pun menetapkan, badak jawa merupakan satwa dilindungi.

 

Cover Buku Javan Rhino Expedition – Surviving in Silence. Foto: Dok. Javan Rhino Expedition

 

Bagaimana kondisi badak jawa di Ujung Kulon saat ini?

Populasinya meningkat. Saat ini ada 74 individu, dengan komposisi badak dewasa sebanyak 59 individu [32 jantan dan 27 betina], serta anakan sebanyak 15 individu [8 jantan dan 7 betina].

Namun begitu, sejumlah ancaman menghantui kehidupan satwa langka ini. Mulai dari potensi meningkatnya kegiatan ilegal manusia di kawasan taman nasional, dominasi tanaman langkap yang menghambat pertumbuhan pohon pakan badak, hingga erupsi Gunung Anak Krakatau yang diikuti tsunami.

Juga, minimnya keragaman genetik badak jawa. Hasil penelitian kolaborasi antara Taman Nasional Ujung Kulon, Eijman Institute, Yayasan Badak Indonesia [YABI], dan WWF-Indonesia Program Ujung Kulon tahun 2014 buktinya. Berdasarkan pemeriksaan DNA dari 49 sampel feses yang diambil acak menunjukkan, sebanyak 19 individu berasal dari 2 jenis halotipe [karakter genotipe yang diwariskan dari salah satu induk].

Artinya, 19 individu itu hanya berasal dari dua garis keturunan betina yang tentunya berdampak pada menurunnya kualitas genetik pada generasi badak jawa di masa mendatang [Javan Rhino Expedition – Surviving in Silence].

 

Bentang alam nan indah di Ujung Kulon. Foto: Nurrohman/Javan Rhino Expedition

 

Adalah David Herman Jaya, Program Koordinator Javan Rhino Expedition, dan timnya beserta staf dari Balai TNUK plus masyarakat lokal, melakukan ekspedisi di Ujung Kulon pada 22 September hingga 6 Oktober 2019. Mereka semua memiliki semangat dan tujuan yang sama, menyuarakan kehidupan badak jawa yang selama ini bertahan dalam kesunyian, melalui foto.

Buku yang memotret kehidupan badak jawa di habitat terakhirnya, Ujung Kulon.

“Kami semua yang tergabung dalam tim, merupakan sekumpulan anak muda yang tidak asing dengan isu konservasi dan persoalan lingkungan di Indonesia. Badak jawa adalah bentuk kepedulian nyata kami,” ujar David kepada Mongabay Indonesia, Jumat [13/11/2020].

Banyak hal menarik diceritakan di buku ini, sebagaimana diungkapkan David. Misal, fungsi penting keberadaan badak jawa sebagai penebar biji, yang bisa kita baca di halaman 38.

“Hal ini terlihat ketika Abah Iwan Podol, ahli badak Indonesia, menunjukkan banyaknya bibit tanaman yang tumbuh dari feses tersebut. Tidak memikirikan tangan yang kotor, ia membongkar dan melihat macam jenis pakan badak tersebut.”

Juga, tantangan yang dihadapi ketika mendokumentasikan satwa pemalu ini, sebagaimana tertera di halaman 92.

“Cuaca, medan, dan insting berpadu pada informasi mistis masyarakat lokal. Badak jawa begitu sakral. Kematian dan kehidupannya dihinggapi mitos dan persepsi manusia.”

David menuturkan, sebelum melakukan ekspedisi di Ujung Kulon ini, dia dan juga anggota tim pernah kegiatan capture dan translokasi badak sumatera yang berada di Kalimantan Timur. Juga liputan mengenai gajah sumatera di Way Kambas, serta terlibat pembuatan film dokumenter paling berkesan, King of Kraratoa, di Gunung Anak Krakatau tahun 2017.

“Banyak ilmu yang kami peroleh dari Javan Rhino Expedition. Semoga karya foto kami memberi dampak positif bagi konservasi badak jawa, populasinya terus bertambah, dan kepedulian masyarakat meningkat,” tuturnya.

 

 

Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Anggodo, dalam kata pengantarnya menyatakan, telah banyak penelitian dilakukan terkait konservasi dan kelestarian badak jawa di Ujung Kulon. Akan tetapi, penyajiannya yang sulit belum mampu menarik perhatian masyarakat luas.

“Sangat penting memperkenalkan keragaman hayati serta budaya masyarakat di sekitar taman nasional melalui foto-foto yang menarik.”

Ya, Ujung Kulon merupakan inspirasi. Para saintis, pegiat lingkungan, pecinta satwa dan alam, serta pemerintah bahu membahu menyelamatkan satwa eksostis di sini.

“Badak di Ujung Kulon adalah harapan kita, harapan dunia. Simbol kekuatan untuk tetap bertahan di tengah perubahan yang terus terjadi,” tutur Ridzki R. Sigit, Program Manajer Mongabay Indonesia.

Sunarto, ekolog satwa Indonesia, turut memberikan petuah. “Badak jawa adalah sumber pengetahuan. Kebanggaan dan kesadaran masyarakat untuk mendukung upaya pelestarian badak jawa adalah hal penting.”

TNUK sendiri, secara administratif berada di Kecamatan Sumur dan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Luasnya 120.551 hektar, terdiri daratan [76.214 hektar] dan perairan laut [44.337 hektar].

 

 

Exit mobile version