Mongabay.co.id

Kala Organisasi Masyarakat Sipil Ramai-ramai Gugat UU Cipta Kerja

Hutan dihancurkan untuk kebun sawit. Inikah bisnis yang akan dilanggengkan dengan omnibus law? Foto: Save Our Borneo

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

 

 

Kamis siang pekan lalu, 10 November, berbagai organisasi masyarakat sipil tergabung dalam Koalisi Komite Pembela Hak Konstitusional (Kepal) mengajukan gugatan uji formil terhadap Undang-undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta. Berbeda dengan uji materil biasa, yang meminta batalkan pasal tertentu dalam sebuah UU, gugatan uji formil ini untuk membatalkan keseluruhan omnibus law ini.

Beberapa organisasi yang tergabung dalam Kepal antara lain Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Yayasan Bina Desa, Sawit Watch, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan(KRKP). Juga, Indonesia for Global Justice (IGJ), Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Field Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Aliansi Organis Indonesia (AOI), Jaringan Masyarakat Tani Indonesia (Jamtani) dan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB).

 Baca juga: Omnibus Law ‘Jalan Mulus’ Legalkan Pelanggaran Investasi Sawit dalam Kawasan Hutan

Sebelumnya Serikat Buruh Singaperbangsa juga mengajukan uji materil ke MK terkait dengan pasal mengenai buruh, bahkan persidangannya sudah berjalan.

Pada 24 November 2020, Migrant Care juga mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi karena dengan ada omnibus law ini bakal makin menyusahkan buruh migran.

Koalisi organisasi masyarakat sipil ajukan uji formil karena UU yang disahkan DPR 5 Oktober dan ditandatangani presiden 2 November ini mengubah banyak materi pasal dari sejumlah UU lintas sektoral dan mengganti dengan berbagai hal mengkhawatirkan. Lewat omnibus law antara lain, bahas aturan di sektor ketenagakerjaan, pertanahan, perkebunan, pertanian, kehutanan, lingkungan hidup nelayan, pendidikan dan UMKM dan lain-lain.

Baca juga: Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

Lodji Nurhadi, Kepala Bidang Advokasi Yayasan Bina Desa dihubungi Mongabay mengatakan, sebelum memutuskan uji formil, Kepal terlebih dahulu menganalisis substansi pasal per pasal dalam UU Cipta Kerja. Pilihan uji formil karena dalam aturan ada, terdapat batas waktu maksimal 45 hari setelah UU resmi menjadi lembaran negara.

“Karena ada keterbatasan waktu. Secara substansi UU ini memang secara formil bermasalah. Itu sudah dikaji cukup mendalam oleh teman-teman. Hingga kemudian posisi kecacatan formil ini juga jadi alasan paling mendasar kemudian banyak sekali substansi-substansi materiil yang kemudian dianggap melawan hak rakyat,” katanya seraya bilang, petani, nelayan dan masyarakat umum dirugikan dengan ada UU Cipta Kerja.

Secara formil pengesahan UU Cipta Kerja tak melalui proses terbuka dan mempertimbangkan banyak aspek yang seharusnya terserap para pemangku kebijakan. Mereka anggap cacat formil, maka materi substansi dalam UU Cipta Kerja itu pun dianggap cacat. UU ini, dianggap melenceng dari kepentingan masyarakat, terutama yang tinggal di pedesaan.

 

Dengan menggunakan terpal, petani memanen buah melon yang gagal karena iklim ekstrim belakangan ini. Karena peristiwa tersebut harga jual buah semangka, melon dan blewah menjadi anjlok. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Lodji menyadari, belum ada sejarah MK meloloskan gugatan uji formil. Meskipun begitu dia tetap optimis gugatan bisa dikabulkan sepanjang hakim MK bersikap independen.

“Kami tidak pesimis. Karena kami punya alasan-alasan sangat mendasar kenapa uji formil ini sangat penting. Memang banyak sekali pelanggaran-pelanggaran dilakukan.”

Menurut Lodji, Undang-undang Cipta Kerja seharusnya tak layak diundangkan. Kecacatan formil ini, berimplikasi pada muatan pasal per pasal yang dianggap tak dengan konstitusi.

Baca juga: Horor RUU Cipta Kerja: dari Izin Lingkungan Hilang sampai Lemahkan Sanksi Hukum

Menurut Lodji, persidangan uji formil di MK perlu waktu sekitar tujuh atau delapan kali persidangan tetapi semua tergantung agenda MK.

Dia sebutkan, beberapa cacat formil dalam UU Cipta Kerja antara lain, soal naskah akademik. Lodji bilang, draf RUU justru sudah ada lebih dulu dari naskah akademiknya. Padahal, dalam hierarki pembentukan peraturan perundang-undangan, harusnya diawali pembentukan naskah akademik terlebih dahulu.

“Sebuah rancangan UU harus disertai naskah akademik. Itu kan syarat harus dilakukan. Kalau tidak, berarti cacat formil.”

 

Kepal saat ajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi 10 November lalu. Foto: Kepal

 

Naskah akademik, katanya, sangat penting dalam menyusun sebuah peraturan perundang-undangan. Dia berupa kajian ilmiah, riset dan upaya menyerap aspirasi terkait peraturan perundang-undangan.

Hal lain, saat pengesahan UU Cipta Kerja di sidang kedua, justru naskah belum selesai. Kondisi ini terlihat dari tidak ada draf naskah RUU yang dipegang anggota DPR yang mengesahkan.

“Waktu itu di sidang kedua. Pembahasan sebelum paripurna DPR, itu seharusnya sebelumnya sudah disetujui dulu. Tim perumus harusnya sudah meneliti semua naskah itu mana yang ditetapkan dan mana yang belum. Kemudian ada tim sinkronisasi yang menyingkronkan batang tubuh draf RUU Cipta Kerja dari atas sampai bawahn termasuk soal kesalahan ketik.”

Sisi lain lembaran juga berubah-ubah. Ada banyak versi terkait draf setelah sah dalam sidang paripurna DPR.

Saat bersamaan dengan gugatan uji formil dan materil ke MK oleh berbagai pihak, pemerintah sedang mempersiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang akan menjadi aturan turunan dari UU Cipta Kerja. Beberapa Kementerian.

Lodji bilang, hal itu sah-sah saja. “Jika pemerintah menganggap UU ini sah, boleh-boleh saja. Sudut pandang kami, ini UU bermasalah. Kami gugat formil karena ini sudah inkonstitusional,” katanya.

Namun, katanya, dia menyarankan pemerintah menunda pembahasan RPP UU Cipta Kerja sembari menunggu putusan uji formil dan materil di MK.

 

Petanii Puger aksi saluran irigasi mereka diubah perusahaan semen. Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia

 

Lodji mengatakan, pemberlakuan UU Cipta Kerja akan berdampak langsung kepada masyarakat yang tinggal di pedesaan. Petani dan nelayan, katanya, mayoritas berada di pedesaan.

Para petani,katanya, sebagian besar dengan luasan lahan sangat sempit, 0,3-0,5 hektar bahkan banyak tak bertanah. Secara ekonomi, katanya, tak produktif dan seringkali tak memberikan keuntungan. Petani pun berpikir melompat ke sektor lain di perkotaan seperti jadi buruh dan lain-lain. “Atau menjual tanah yang sedikit itu untuk hal lain biar anaknya nggak jadi petani,” katanya.

Bina Desa juga soroti ketentuan BUMDes. Sebelumnya, BumDes adalah sebuah badan ekonomi yang dimiliki desa yang sebagian besar atau seluruh modal dikuasai desa, sebesar-besarnya buat masyarakat desa. Ketentuan itu diubah soal penguasaan modal dihilangkan.

“Artinya, siapa saja bisa memiliki modal di BUMdes bahkan sampai 100%. Tafsirnya kan jadi begitu jadinya.”

Ada juga ketentuan mengatakan, BUMdes bisa membuat institusi atau lembaga-lembaga ekonomi, bisnis unit usaha berbadan hukum untuk mengembangkan usaha. Jadi secara permodalan, mengikuti di pasal sebelumnya di ketentuan umum berarti para investor atau pemilik modal bisa masuk ke desa.

Mereka bisa investasi 50% lebih. “Nah itu kita membayangkan, kalau desa-desa itu kan ada di pelosok-pelosok yang kaya sumber daya alam, seperti nikel dan sebagainya. Sudah bisa dibayangkan, penetrasi modal melalu BUMdes ini bisa sangat membahayakan amsyarakat desa dan menempatkan masyarakat desa hanya sebagai ruang yang bisa dimanfaatkan.”

Agus Ruli Ardiansyah, Sekretaris Umum SPI mengatakan, gugatan uji formil UU Cipta Kerja karena ada diskriminasi terhadap nelayan dan petani. Semula tujuan UU ini mempermudah perizinan dan investasi yang berkaitan penciptaan lapangan kerja. Dalam substansi muatan banyak menyangkut petani dan nelayan. Sedang dalam pembahasan petani dan nelayan tidak dilibatkan.

“Ada diskriminasi. Jadi unsur prinsip partisipasi, keterbukaan, itu kan tidak semua pihak dilibatkan. Kemudian kita melihat ini sangat tergesa-gesa.”

Dia bilang, ada desakan WTO mengubah beberapa UU yang berkaitan dengan petani dan pangan. Dia sebutkan, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Hortikultura, UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. “Pemerintah mengubahnya melalui UU Cipta Kerja,” katanya.

Dia meminta hakim MK untuk menegakkan independensi dan mempertahankan keputusan-keputusan yang terlebih MK keluarkan atas uji materi masyarakat sipil, seperti UU Hortikultura dan UU Perkebunan.

Putusan MK terkait UU Hortikultura menyebutkan, investasi sektor hortikultura hanya boleh 30%. Di UU Perkebunan, luasan lahan untuk kewajiban perkebunan itu minimal 20%, berubah menjadi sekitar 20%. “Itu kan sebenarnya sudah diputuskan di Mahkamah Konstitusi. Ini dilanggar, diubah kembali oleh UU Cipta Kerja. Jadi, ada putusan-putusan judicial review yang kita ajukan sebelumnya ke MK itu justru dibatalkan kembali oleh UU Cipta Kerja ini.” Dia meminta pun, MK membatalkan keseluruhan dari UU Cipta Kerja.

Siti Rizkah Sagala, dari KRKP menyoroti, beberapa hal terkait pangan dan petani yang tercantum dalam UU Cipta Kerja. Salah satu soal kebijakan impor pangan justru dilonggarkan dengan UU Cipta Kerja. Hal itu, katanya, sangat merugikan petani.

“Dalam UU Cipta Kerja, impor jadi sejajar dengan produksi dalam negeri. Sebelumnya kan untuk impor harus melihat ketersediaan dalam negeri dulu. Ada syarat-syaratnya. Sekarang ketentuan itu dihapuskan,” kata Rizka.

 

Para perempuan petani di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Belasan izin tambang ada di pulau mereka dan mengancam ruang hidup warga yang gantungkan hidup dari bertani dan nelayan. Bagaimana nasib mereka setelah UU CIpta Kerja, jalan nanti? Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Hal lain dia soroti, soal penghapusan ketentuan batas maksimum penyertaan modal asing di UU Hortikultura. Sebelumnya, modal asing di komoditas hortikulturan maksimal 30% dalam UU Cipta Kerja, juga dihapus.

Dalam UU Cipta Kerja juga memasukan proyek strategis nasional sebagai hal yang bisa alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan. Kondisi ini, katanya, jadi ancaman bagi petani. Alih fungsi lahan pertanian, katanya, bakal makin masif.

“Padahal, harusnya lahan pertanian pangan itu dilindungi. Pemerintah juga tidak lagi melakukan ekstensifikasi, tapi intensifikasi.”

Jadi, UU Cipta Kerja sesungguhnya tak benar-benar bermaksud menciptakan lapangan kerja bagi petani dan nelayan kecil. Melainkan merombak UU terkait petani dan nelayan tanpa partisipasi mereka. Kemudian, bisa berdampak buruk bagi perlindungan hak-hak petani dan nelayan kecil, cita-cita reforma agraria terbengkalai, kedaulatan pangan tersandera, dan sistem perkebunan berkelanjutan melemah.

Awalnya, Kepal mendesak presiden menerbitkan peraturan pengganti UU (Perppu). Melihat dinamika saat ini, pilihan keluar perppu masih sangat bergantung keputusan presiden.

“Pilihan ini sekaligus mengantisipasi tidak dikeluarkan perppu oleh presiden. Urgensi pengujian formil tidak sekadar untuk menjegal UU Cipta Kerja, juga untuk mengawal independensi MK sebagai pengawal konstitusi.”

 

 

Keterangan foto utama: Kini warga Laman Kinipan di Kalimantan Tengah,  wilayah adat termasuk hutan mereka sudah terancam investasi. Bagaimana kalau UU Cipta Kerja, berlaku? Foto: Save Our Borneo/ Mongabay Indonesia

Migrant Care kala ajukan gugatan ke Mahkamah KOnstitusi 24 November 2020. Foto: Anis Hidayah/Migrant Care
Pengurus Kelompok Tani Sinar Bahagia di Desa Nitakloang, Kecamatan Nita,Kabupaten Sikka, NTT sedang memasukan tomat yang baru dipanen untuk dijual kepada pembeli. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia
Exit mobile version