Mongabay.co.id

Pemerintah Usung Korporasi Pertanian, Bagaimana Jamin Petani Tak Terlindas?

Buruh panen memikul buah melon yang berhasil diselamatkan akibat fenomena La-Nina. Akibat fenomena ini petani mengaku gagal panen. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menghelat acara Jakarta Food Security Summit (JFSS) pada 18-19 November lalu. Mereka ambil tema “Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Mendukung Ketahanan Pangan dan Meningkatkan Kesejahteraan Petani, Peternak, Nelayan dan Industri Pengolahan.”  

Korporasi pertanian tampak jadi usungan. Puluhan pembicara hadir dalam pertemuan yang bisa terpantau dari kanal zoom maupun YouTube ini. Dari 34 pembicara hanya dari jajaran pemerintah, pengusaha dan akademisi minus petani, maupun masyarakat adat atau lokal yang menjadi penyedia pangan selama ini. Bagaimana memastikan atau menjamin keterlibatan petani hingga mereka tak malah terlindas dari rencana ‘korporasi pertanian’ ini?

Pertemuan pangan ini dibuka pidato Presiden Joko Widodo sekitar lima menit. “Pengembangan sektor pangan membutuhkan cara-cara baru yang inovatif, meningkatkan efisiensi proses produksi yang meningkatkan pangan berkualitas dengan harga terjangkau,yang memperbaiki daya dukung lingkungan hidup dan mensejahterakan para petani,” kata Jokowi.

Presiden khusus meminta pelaku usaha yang tergabung dalam Kadin Indonesia terus berinovasi dan meningkatkan efisiensi produksi dan melanjutkan model kemitraan inclusive closed loop. Model ini, katanya, inisiatif kolaboratif yang melibatkan petani, koperasi, perbankan, hingga off-taker.

Dia bilang, perlu ada upaya peningkatan skala produksi dengan peran sentral korporasi petani dengan mengedepankan nilai tambah pada tahap on farm dan off farm. Juga, berbasis teknologi modern yang lebih efisien dan produktif.

“Serta memberikan kesejahteraan lebih baik pada para petani dan sektor pendukungnya.”

 

 

Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi bicara food estate, yang akan jadi contoh korporasi pertanian itu. Dia mengatakan, food estate salah program strategis nasional dalam menjawab permasalahan krisis pangan.

Menurut dia, pemilihan Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara sudah melalui proses kajian lingkungan hidup dan peralihan fungsi kawasan hutan dengan survei lapangan.

Harapannya, kawasan ini bisa jadi contoh penerapan korporasi pertanian dari hulu ke hilir, baik pasca panen maupun industri pertanian. Dengan begitu, katanya, terwujud kawasan hortikultura dan pertanian terpadu, berdaya saing, ramah lingkungan hidup dan modern, serta berdampak bagi petani.

“Tentu, dalam pengembangan food estate ini, petani dan pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, hingga perlu melibatkan korporasi baik BUMN maupun swasta melalui penerapan pola public private partnership.”

Senada dengan tujuan itu, Erick Tohir, Menteri BUMN mengatakan, dalam mencapai ketahanan pangan perlu membangun ekosistem usaha sehat untuk semua pelaku ekonomi, termasuk petani.

“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri menciptakan lapangan kerja. Harus dibantu, sala satu caran di sektor pangan melalui skema inti dan plasma,” katanya.

Konsep inti-plasma ini dia klaim bisa membantu penyerapan tenaga kerja, selain membantu petani untuk meningkatkan kesejahteraan.

BUMN juga akan berperan dalam mencapai ketahanan pangan melalui pembentukan klaster BUMN Pangan. Tujuannya, untuk mengembangkan industri pangan nasional, baik pemenuhan pasar domestik, substitusi impor, peningkatan ekspor untuk meningkatkan kesejahteraan petani, peternak dan nelayan.

Rosan P. Roeslani, Ketua Umum Kadin Indonesia mengatakan, sektor pertanian perlu dikembangkan dengan inovasi, kolaborasi dan pendampingan kemudian direplikasi. Kebijakan dan kemitraan yang berpihak kepada sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan industri pengolahan sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan, perlu terus didorong.

Tak lupa Rosan mengapresiasi upaya pemerintah dan DPR dalam mengesahkan UU Cipta Kerja yang dia sebut sebagai komitmen pemerintah untuk memberikan kepastian hukum dalam berusaha.

Dia optimis sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan industri pengolahan terus tumbuh dengan pengesahan aturan itu.

Rosan tekankan, perlu ada korporasi petani untuk mendapatkan skala ekonomis dan menciptakan food estate lebih banyak.

Senada dengan ucapan Juan Permata Adoe, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pengolahan Makanan dan Industri Peternakan. Dia menilai, perlu ada percepatan investasi sektor pertanian dan pangan dengan mengimplementasikan omnibus law itu juga memperkuat kemitraan usaha melalui skema public private partnership antara petani, pengusaha dan BUMN.

Dia tambah harapan lagi agar kementerian teknis menggandeng pelaku usaha dalam menyusun peraturan-peraturan pelaksana UU Cipta Kerja.

 

Norhadie saat menanam padi ladang di Kalteng. Bagaimana menjamin petani tak terlindas proyek food estate?  Foto: dok pribadi

 

Eksploitasi sumber agraria

Konsorsium Pembaruan Agraria, Walhi dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara keluarkan pernyataan bersama. Mereka menilai, agenda itu membahas masalah para petani, masyarakat adat, nelayan, dan peternak tetapi tidak merepresentasikan gerakan tani di dalamnya.

Mereka nila agenda ini tidak lebih dari upaya perusahaan agribisnis raksasa mengeksploitasi sumber-sumber agraria Indonesia.

Dewi Kartika, Sekjen KPA mengatakan, Kadin memakai UU Cipta Kerja sebagai kerangka kebijakan pertanian ke depan. “Seolah masalah kedaulatan pangan dan pertanian hanya bisa selesai dengan diskusi dan investasi.”

Peran rakyat dan pertanian rakyat dan kemampuan gotong royong, maupun bersolidaritas rakyat dalam mewujudkan kedaulatan pangan, katanya, seakan tak masuk hitungan.

Dia nilai, JFSS ini sangat berbahaya bagi agenda mewujudkan kedaulatan pangan ke depan, mengingat sponsor kegiatan ini adalah perusahaan-perusahaan penyebab konflik agraria dan kerusakan lingkungan hidup.

Perusahaan-perusahaan itu pun memiliki catatan buruk dalam jalankan bisnis, antara lain, kebakaran hutan, perampasan tanah dan wilayah adat, kriminalisasi, bahkan sampai pembunuhan, baik langsung maupun melalui anak perusahaan mereka.

Dia sebutkan beberapa contoh, seperti perampasan tanah disertai pembunuhan petani anggota Serikat Tani Tebo (STT) dengan pelaku para petugas keamanan PT Wira Karya Sakti Tebo, anak usaha Sinasmas di Desa Lubuk Mandarsah Tebo.

Ada juga hutan terbakar di konsesi PT Harapan Sawit Lestari (HSL) dan PT Ayu Sawit Lestari (ASL) di Desa Asam Besar, Ketapang, anak perusahaan Cargill Indonesia. Kemudian kriminalisasi dua petani Paguyuban Petani Cianjur (PPC) Desa Simpang, Kabupaten Cianjur karena berkonflik dengan PT Pasir Luhur, anak usaha Indofood Sukses Makmur Tbk.

Jadi, kebijakan pertanian dan pangan yang pemerintah bahas dia nilai, hanya bertujuan memperkaya pengusaha dan investor. Sebaliknya, petani, masyarakat adat dan nelayan mendapat konflik dan kemiskinan.

Menurut dia, tidak akan ada kedaulatan pangan dan pertanian kalau perusahaan masih dibiarkan mengambil tanah dan wilayah adat, kriminalisasi bahkan pembunuhan petani.

Dewi bilang, kedaulatan pangan sangat tergantung pada berapa luas tanah yang bisa ditanami dan dimiliki petani dan masyarakat adat. Juga, seberapa bersih sungai mengairi tanah pertanian. “Seberapa banyak pasar yang menyerap produksi pertanian rakyat dan seberapa luas hutan yang mencegah pemanasan global.”

Dengan begitu, katanya, saatnya pemerintah koreksi atas penguasaan tanah oleh pengusaha untuk distribusikan kepada petani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan dan masyarakat miskin lain di pedesaan.

 

Akhmad Tamaruddin atau biasa disebut pak Taman, merupakan petani agroforestri yang sukses kembangkan lahan gambut tanpa bakar di Kalimantan Tengah. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Bagaimana pastikan untungkan petani?

Satu program food estate di Kecamatan Sukamandi, Kabupaten Subang, Jawa Barat dengan pakai lahan 1.000 hektar milik BUMN PT Sang Hyang Seri, sudah jalan. Program ini membangun model budidaya pangan, khusus padi melalui konsep corporate farming yang disebut-sebut efektif dalam meningkatkan produktivitas dan efisien dengan penggunaan sarana produksi pertanian.

Ayip Said Abdullah, Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, menyebutkan, saat pendemi ini memang perlu sentuhan BUMN dalam pengelolaan pangan tetapi perlu mematikan keterlibatan petani.

Konsep corporate farming yang diterapkan klaster pangan BUMN, kata Said, perlu memastikan kemitraan dengan petani memiliki hubungan setara dan menguntungkan bagi petani.

“Program ini menarik, namun posisi petani jangan sampai di anaktirikan atau di sub ordinasikan, yang berakibat akan merugikan bagi petani,” katanya.

Berdasarkan skema, di sektor hulu BUMN Klaster Pangan akan menggandeng kelompok tani, koperasi tani, dan BUMDes. Di sektor tengah (manufacturing/produksi), BUMN pangan dapat memanfaatkan infrastruktur internal dan bekerjasama dengan para penggilingan milik kelompok tani maupun BUMDes . Di sektor hilir, BUMN klaster pangan dapat berperan sebagai offtaker dan pasar bagi produksi sendiri dan produksi para petani serta produsen padi, gabah, serta beras.

“Saya pikir memang kalau toh kerja sama dengan petani memang perlu memastikan kerja samanya menguntungkan petani, jadi harus setara hubungan itu.”

Dia mengatakan, penting ada konteks kesetaraan cukup baik atau model kemitraan yang berkeadilan. “Jangan malah melemahkan posisi teman-teman petani.”

Hermanu Triwidodo, Ketua Tani Center LPPM IPB University mengatakan, konsep korporasi pertanian perlu ada pelibatan petani, tak hanya pada tingkatan produksi di hulu juga hilir.

“JIka ada semacam korporasi itu bagus-bagus saja, tetapi jangan sampai petaninya hilang. Orang lupa, bahwa petani perlu tanah untuk bisa hidup. Apakah dengan ada (korporasi) itu petani kepemilikan lahannya bisa menjadi luas? Banyak hal-hal yang terlewat.”

 

 

Keterangan foto utama: Ilustrasi. Rencana pengembangan pertanian dengan konsep korporasi pertanian, bagaimana menjamin petani tak terlindas? Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version