Mongabay.co.id

Studi LPEM Sebut Kebijakan Biodiesel Rawan Rugikan Keuangan Negara dan Lingkungan Hidup

 

 

 

 

Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, menyebutkan, kebijakan biodiesel punya risiko ekonomi dan lingkungan hidup serius.

Kebijakan biodiesel ini lewat pencampuran solar dengan fatty acid methyl ester (FAME) yang bersumber minyak sawit untuk mengurangi konsumsi dan impor bahan bakar solar. Target bauran terus ditingkatkan sejak rilis 2006. Tahun ini campuran sampai 30%, biasa disebut B30. Ke depan naik jadi B40, B50 hingga B100.

“Manfaat untuk penghematan impor solar belum bisa dikatakan signifikan. Kebijakan biodiesel membawa risiko fiskal dan lingkungan hidup,” kata Alin Halimatussadiah, Ketua LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, dalam diskusi pekan lalu.

Kajian ini memetakan risiko ekonomi dan lingkungan hidup dari kebijakan biodiesel saat ini. Beberapa indikator mereka pakai yakni perhitungan neraca perdagangan dan potensi kehilangan ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit yang berdampak pada devisa negara.

Kebijakan biodiesel saat ini memproyeksi, kalau permintaan CPO domestik meningkat, impor solar akan turun dan devisa akan bertambah. Sisi lain, kata Alin, Indonesia bisa kehilangan potensi ekspor yang justru menurunkan devisa.

Studi ini dilakukan dengan tiga skenario rentang waktu hingga 2025. Pertama, skenario jika biodiesel turun menjadi B20. Kebijakan saat ini, masuk dalam skenario kedua, gunakan B30 hingga 2025. Skenario ketiga, dengan ambisi B50 hingga 2025.

“Skenario berbeda memberikan dampak ekonomi berbeda,” katanya.

Skenario ini kemudian untuk mencari tahu kapan Indonesia akan mengalami defisit CPO.

Pada skenario pertama, kalau hanya gunakan B20, defisit akan terjadi pada 2025 sebesar 1,26 juta ton. Skenario kedua menemukan defisit pada 2023, 40 juta ton. Defisit paling cepat terjadi pada skenario ketiga, yakni tahun ini sekitar 108,63 juta ton.

 

 

Dari angka ini, LPEM kemudian menghitung berapa penghematan impor solar. Menurut Alin, meskipun terjadi penghematan biaya impor, namun proporsi defisit neraca perdagangan berkisar antara 0,43-0,68% per tahun. Sedangkan proporsi penghematan terhadap defisit neraca berjalan (2015-2019) berkisar antara 0,09-0,18% per tahun.

Dengan kata lain, katanya, penghematan bersih dari kebijakan biodiesel lebih rendah.

“Selisih penghematan impor dengan potensi kehilangan ekspor, itulah yang menjadi devisa kita,” terangnya.

Dengan kondisi sebelum ada pandemi COVID-19, studi menunjukkan potensi kehilangan ekspor lebih tinggi daripada penghematan impor.

Hal lain yang disoroti kajian ini adalah mekanisme insentif biodiesel melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang diambil dari pungutan ekspor. Sejak 2015-2019, insentif biodiesel ke produsen biodiesel mencapai 61,8%. Saat itu pencampuran biodiesel antar 15-20%.

Beberapa tahun terakhir pengeluaran insentif lebih tinggi karena campuran lebih tinggi dan ekspor berkurang.

“Bahkan 2020, cashflow-nya lebih banyak yang dikeluarkan daripada diterima.”

Meskipun dana ini bukan dari APBN, kata Alin, namun akhirnya bisa menimbulkan risiko bagi APBN. Tahun ini, pemerintah menyuntik Rp2,78 triliun untuk mendukung biodiesel.

“Sebelumnya, tak ada intervensi APBN. Karena ini PSN (proyek strategis nasional), APBN menyuntik dana untuk ini. Pengelolaan BPDPKS akhirnya menimbulkan risiko fiskal,” katanya.

Kajian ini juga membuat dua skenario untuk subsidi biodiesel. Ketika subsidi FAME per liter lebih besar dari subsidi solar, pemerintah perlu memberi insentif yang lebih besar kepada industri biodiesel, begitu juga sebaliknya.

 

Hutan dibersihkan mau jadi kebun sawit di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Ekspansi lahan

LPEM juga menggarisbawahi risiko lingkungan hidup yang berpotensi muncul dari kebijakan ini. Risiko lingkungan berkaitan dengan ekspansi lahan terkait dengan tiga skenario saat CPO mulai defisit.

Data Kementerian Pertanian 2019, luas lahan sawit produktif 13,3 juta hektar. Dengan asumsi tak ada peremajaan, perkiraan lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan biodiesel pada skenario pertama, adalah 30%. Untuk skenario dua dan tiga, masing-masing 39 dan 70%.

Untuk skenario tiga, tahun ini bisa perlu 1,69 juta hektar ekspansi lahan untuk memenuhi kebutuhan B50. Tahun 2022, butuh 1,11 juta hektar lagi.

“Itu hanya untuk memenuhi kebutuhan sampai 2025. Karena itu perlu ada mitigasi serius untuk menahan ekspansi lahan,” ujar Alin.

 

Dampak makro

Bagaimana dampak kebijakan biodiesel saat ini untuk ekonomi makro? Ekonom Senior Faisal Basri mengatakan, melihat dari konsep opportunity cost atau manfaat yang dilewatkan karena memilih salah satu alternatif, kebijakan ini berdampak terhadap defisit neraca perdagangan.

Menurut studinya, pendapatan ekspor yang hilang karena konsumsi biofuel mencapai Rp57,1 triliun. Pada 2018, sebesar Rp48,7 triliun.

Sedangkan pendapatan ekspor hilang karena pemakaian biodiesel pada 2018 dan 2019 berturut-turut adalah Rp28,2 triliun dan Rp41,7 triliun.

Devisa yang dapat dihemat dari impor solar pada 2019 mencapai Rp69 triliun dan Rp39,3 triliun pada 2018.

“Devisa yang tidak dapat dihemat berupa biaya solar dalam biodiesel pada 2019, Rp55,3 triliun.”

Dengan menghitung opportunity cost yang hilang karena tidak ekspor CPO dan biofuel, katanya, transaksi perdagangan pada 2019 mengalami defisit Rp85,2 triliun dan 2018, Rp72,1 triliun.

Defisit transaksi perdagangan pada 2019 karena tak dapat mengekspor CPO adalah Rp43,4 triliun.

“Tidak terjadi apa yang diharapkan. Tidak menghemat devisa justru kecenderungan menggerogoti devisa.”

Dalam konteks global, katanya, ada kecenderungan konsumsi biofuel menurun dalam berbagai produk nabati, hingga 2029. Kalau Indonesia terus produksi banyak biofuel, pasar internasional akan makin menyusut.

“Karena itulah dibutuhkan bumper. Pasar dalam negeri yang jadi sasaran. Jadi, dibikin jaring-jaring pengaman buat produsen biofuel yang cuma sedikit itu.”

Kata Faisal, selain mengabaikan tren penurunan konsumsi biodiesel di Eropa dan Amerika Serikat hingga 2029, kebijakan ini juga tak mempertimbangkan teknologi permesinan dunia yang tak didesain untuk gunakan biodiesel.

“Amerika Serikat dan Eropa adalah ujung tombak teknologi permesinan dunia.”

Menurut Faisal, ancaman produsen besar dunia juga harus jadi pertimbangan karena Amerika dan Brazil merupakan produsen besar yang lebih baik keekonomiannya, hingga lebih efisien.

Kedua negara ini juga tak terkena dampak renewable energy directive (RED II) yang mengklasifikasikan biodiesel berbasis CPO sebagai kategori tinggi dalam risiko perubahan penggunaan lahan tak langsung.

Kendala lain, katanya lagi, penerapan produksi berkelanjutan mempengaruhi produksi CPO termasuk biodiesel karena permintaan negara maju menuntut CPO bebas deforestasi. Juga mensyaratkan sertifikasi keberlanjutan minyak nabati sebagai bahan baku biodiesel.

Pilihan kebijakan pajak ekspor sebagai solusi utama maupun kedua, kata Faisal, juga tak dapat dibenarkan. Pajak ekspor mendistorsi perdagangan internasional. Banyak kesepakatan perdagangan regional maupun bilateral melarang ini.

“Pajak ekspor hampir dipastikan tak akan efektif ketika perjanjian perdagangan bebas yang bersifat bilateral dan regional mulai berjalan efektif hingga mengikat Indonesia.”

 

Jamal menunjukkan modul PLTS yang rusak. Modul PLTS yang rusak sekitar lima bidang (Foto: Dhirga Erlangga)

 

Masukan

Faisal menyarankan, Indonesia bisa belajar dari Malaysia, yang mengurangi produksi CPO untuk menaikkan harga, bukan dengan pengenaan pajak ekspor.

“Malaysia gunakan dana sawit bukan untuk biodiesel tapi mereka sadar, melindungi petani sawit skala kecil merupakam prioritas,” katanya.

Era perubahan iklim membuat pajak ekspor CPO tidak akan efektif meningkatkan keuntungan konsumen CPO dan produsen biodiesel di Indonesia dalam jangka menengah dan panjang. Karena masih ada CPO ada risiko tinggi konversi lahan.

“Pajak ekspor mengancam merusak kelestarian sumber daya alam,” katanya.

Pajak ekspor ancam alam karena memberikan insentif untuk merusak lingkungan hidup sekaligus turunkan harga CPO. Produsen cenderung memilih cara produksi kian murah dengan tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan pembangunan berdasarkan lingkungan hidup.

Kondisi ini, katanya, tentu ancaman bagi pengembangan energi terbarukan lebih ramah lingkungan.

Pajak ekspor menurunkan harga CPO dalam negeri hingga industri biodiesel diuntungkan dan mengurangi permintaan konsumsi dari sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan.

“Jadi, kalau subsidi untuk sumber yang haus lahan, maka alternatif yang lebih baik akan dirugikan. Lebih mahal.”

Sisi lain, kebijakan pengembangan biodiesel selalu lebih tinggi dari harga solar. Menurut dia, tidak akan efektif menghilangkan subsidi. Dengan begitu, kata Faisal, risiko fiskal bukan makin kecil tetapi tambah besar.

Secara politik, mereka yang dapat manfaat ini akan melobi terus untuk mempertahankan kebijakan ini. Dia nilai, produsen biodiesel mampu beraksi memperanguhi proses politik.

“Sudah dapat manfaat besar, akan lakukan lobi politik. Makin besar kapasitas pabrik makin besar pula subsidi yang diperoleh. Padahal, dengan skala ekonomi seharusnya biaya rerata menjadi lebih rendah hingga subsidi seharusnya menurun.”

Dalam subsidi biodiesel ini, kata Faisal, kebijakan ada untuk menyelamatkan produsen CPO. “Orang kaya kita subsidi terus.”

Faisal mengingatkan, era ekonomi baru bukan dengan merambah hutan, maupun merusak lingkungan hidup.

 

Emisi

Dari sisi emisi. Arkian Suryadarma, Juru Kampanye Greenpeace mengingatkan, biodiesel kurang tepat kalau untuk reduksi emisi. Belum lagi, pemerintah mendorong industri nikel dan baterai, sisi lain tetap menggenjot biofuel dengan campuran makin tinggi. Dia khawatirkan, akan ada aset hilang saat kebijakan kelak mengarah ke salah satunya, nikel atau biofuel.

 

Energi terbarukan dari turbin angin yang dibangun Tri Mumpuni di Pulau Sumba. Foto: dokumen Tri Mumpuni/ Mongabay Indonesia

 

Ekspansi lahan, ujar Arkian, juga sangat berbahaya belum lagi bisa menimbulkan kompetisi lahan untuk energi dan pangan.

“Ada juga beberapa perusahaan punya land banking yang belum digunakan. Kemungkinan besar untuk keperluan CPO dan B50,” katanya.

Catatan Greenpeace, lima perusahaan yang mensuplai B30 mendapat dana BPDPKS, juga perusahaan yang melakukan deforestasi hingga menyebabkan kebakaran berulang dalam konsesi pada 2015-2019.

Sanksi yang mereka dapat juga sangat minim. Ada yang sudah membayar denda, ada juga belum.

“Ini sangat mengkhawatirkan.”

 

Kesempatan terbuang

Kebijakan biodiesel ini cenderung membuang potensi energi terbarukan yang melimpah. Potensi tenaga surya 207,9 gigawatt baru terpakai 0,9 gigawatt. Begitu juga tenaga angin, potensi 60,6 gigawatt, pemanfaatan baru 0,076 gigawatt. Lewat program pemulihan ekonomi nasional, katanya, merupakan momentum mengubah kebijakan ini.

Greenpeace merekomendasikan, lahan yang tersedia harus teralokasi terutama untuk produksi makanan. Bila perlu, dengan pengurangan konsumsi daging dan susu atau reboisasi maupun restorasi ekosistem lain untuk memaksimalkan manfaat bersih emisi gas rumah kaca dan konservasi kekayaan hayati.

Selain itu, produksi bioenergi yang tersedia tak boleh menimbulkan dampak negatif pada sumber daya alam dunia seperti hutan dan ekosistem alam lain termasuk keragamanhayati, kesuburan tanah dan sumber daya air.

Produksi bioenergi, juga tak boleh menimbulkan dampak negatif pada mata pencaharian atau akses masyarakat ke makanan bergizi dan sehat.

“Perampasam tanah dan air, konflik penggunaan lahan, dan konflik sosial lain harus dicegah. Tidak boleh merusak ketahanan pangan, kebutuhan lokal harus diutamakan, seefisien mungkin sumber daya, dan menghasilkan pengurangan emisi gas rumah kaca yang signifikan dibanding dengan sistem energi fosil.”

Produksi biofuel, katanya, sebaiknya dari biomassa yang tersedia secara regional dan memenuhi kebutuhan energi regional untuk menutup siklus dan mengurangi emisi CO2.

“Gunakan krisis ini untuk berubah. Indonesia harus mampu membajak momentum krisis ekonomi dan program PEN untuk reorientasi pembangunan yang memiliki koneksi antara manusia, lingkungan hidup dan ekonomi.”

Caranya, dengan reindustrialisasi berkelanjutan dan hijau, fokus pada industri yang punya nilai tambah tinggi dan ramah lingkungan. Juga, pengembangan usaha mikro dan kecil untuk memberdayakan inklusif tenaga kerja Indonesia dan penguatan ekonomi berbasis desa, komunal, dan masyarakat adat.

 

 

Foto: Buah sawit. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version