Mongabay.co.id

Pandemi, Waktunya Beralih ke Energi Ramah Lingkungan

Dua orang tengah pasang instalasi PV di LeBaoh. Foto: dokumen Gung Kayon

 

 

 

 

Jalanan sepi, restoran kosong. Papan bertuliskan ‘tutup’ bergantungan di hotel dan toko-toko jadi lumrah. Itulah kondisi Bali, di masa pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

Bisa dikatakan tulang punggung pariwisata Indonesia ini lumpuh karena pandemi. Provinsi ini mengalami penurunan wisatawan mancanegara hingga 99,97%. Sejak pandemi, tiap bulan Bali mengalami kerugian rata-rata Rp9,7 triliun dari sektor pariwisata.

Potret ini salah satu bisa terllihat di Nusa Lembongan, pulau kecil tidak jauh dari Denpasar. Di sana, seluruh guesthouse, hostel ataupun penginapan di Nusa Lembongan terpaksa tutup.

Tidak ada tamu datang menyeberang dari pulau utama karena pembatasan sosial membuat penyedia penginapan tak memiliki pemasukan. Kondisi ini tidak menguntungkan, karena mereka masih harus menanggung biaya operasional tak sedikit.

Ada beberapa pemilik penginapan harus mengeluarkan Rp2 juta untuk beban listrik bulanan tanpa pemakaian. Barang elektronik wajib bagi penginapan di Nusa Lembongan adalah AC, mesin untuk kolam renang, hingga lemari pendingin yang semua rakus daya listrik.

“Tidak jarang orang membiarkan saja villa tutup tanpa menyalakan alat-alat itu. Tapi barang-barang itu akan rusak kalau dibiarkan terlalu lama tanpa aliran listrik,” kata Komang Diktat, pemilik villa di Nusa Lembongan, saat ditemui di Denpasar, Bali.

Diktat bisa dibilang terselamatkan dari hantaman pandemi karena sejak awal memulai usaha, sudah meninggalkan tenaga listrik konvensional. Di LeBAOH Villa Lembongan, Diktat memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap atau solar panel (photovoltaic/PV).

“Jadi agak tertolong, walau tidak ada pemasukan, saya pun tidak perlu ada pengeluaran untuk listrik ini,” katanya.

 

Surya atap di rumah Dayu. Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

 

Nusa Lembongan ada aliran listrik PLN yang memakai generator. Masalah kelistrikan sering terjadi di pulau ini, karena cuaca buruk memaksa PLN mematikan aliran listrik demi menghindari kabel korslet.

Pada Desember tahun lalu, PLN terpaksa memutuskan aliran listrik ke villa dan penginapan di Nusa Lembongan karena tiang listrik roboh.

Kala itu, Diktat bisa beroperasi dengan normal karena ada instalasi 4.000 Wp PV sebagai sumber listrik utama. Walaupun kadang LeBAOH perlu waktu untuk mengonservasi energi, tetapi para pengunjung tak mempersoalkan hal itu.

“Beruntungnya tamu paham bahwa kami pakai energi terbarukan, jadi mereka ikut hemat energi.”

 

***

Sebenarnya musibah pada Desember lalu mulai membuat beberapa pemilik penginapan mempertimbangkan meniru apa yang dilakukan Diktat, memasang PLTS atap dan gunakan listrik dari PLN sebagai cadangan. Mereka sudah berkomunikasi, menanyakan harga hingga teknis pemasangan.

“Ketika semua kembali normal, banyak yang lupa dengan niat itu. Karena sudah keburu melihat profit yang masuk lebih maksimal dengan listrik murah PLN,” katanya.

Meskipun demikian, tidak jarang juga yang mengurungkan niat karena harga PV yang menurut mereka masih terlalu mahal.

Diktat harus merogoh kocek hingga Rp130 juta untuk pemasangan PV itu.Padahal, katanya, kalau dibandingkan modal pembelian generator tidak terlalu jauh.

Beberapa pemilik penginapan ada yang mengeluarkan Rp80 juta-Rp90 juta untuk membeli generator. “Pada waktu itu mereka bingung, generator mau dikemanakan? Sementara harga PV masih mahal. Ketika sudah kena pandemi seperti ini, kerugian mereka ternyata jauh lebih besar,” kata Diktat.

Ida Ayu Maharani, juga pengguna listrik surya. Dengan sumber listrik ini, katanya, justru bisa jadi investasi yang menguntungkan kalau pembayaran bisa bertahap dalam beberapa tahun.

 

Instalasi PV di LeBaoh, Bali. Foto: dokumen Gung Kayon

 

Di rumahnya, perempuan yang akrab disapa Dayu ini pakai instalasi solar panel dengan daya 2.800 Watt peak (WP). PLN jadi cadangan kalau cuaca buruk dan baterai yang dipakai tidak bisa berfungsi maksimal. Untuk instalansi ini, dia merogoh kocek hingga Rp60 juta.

“Ini kan investasi. Keuntungan baru akan terlihat tahun ke-10,” katanya.

Dia menghitung berdasarkan potensi kenaikan tarif listrik dalam kurun waktu itu, sedang pakai energi surya tidak perlu lagi keluarkan biaya apapun dalam satu dekade kecuali penggantian baterai biasa lima tahun sekali.

Untuk baterai, sekitar 40% dari keseluruhan biaya pemasangan PV di rumah Dayu. Tren harga baterai terus alami penurunan tiap tahun. “Jadi, bisa saja biaya baterai saya lebih murah daripada yang saya keluarkan di awal,” katanya.

Tidak semua orang memiliki pemikiran dan kemampuan finansial sama dengan Dayu. I Gusti Ngurah Agung Putradhyana, praktisi energi terbarukan di Bali mengatakan, satu yang memberatkan orang untuk pasang karena harga masih mahal. “Sulit untuk orang bayar mahal untuk pemasangan di awal,” kata pria yang akrab disapa Gung Kayon ini.

 

Kredit energi

Amoghasiddhi, koperasi di Bali, menawarkan skema kredit energi bagi anggota untuk pasang solar panel dengan bayar bisa dicicil.

Bertindak sebagai kreditor, Amoghasiddhi memberikan pendanaan bagi anggota yang mau membeli perangkat PV seperti solar panel, inverter, baterai hingga pemasangan.

Tidak hanya itu, skema kredit energi ini juga berlaku untuk pembelian motor listrik sebagai bentuk dukungan terhadap implementasi Peraturan Gubernur Nomor 48/2019 tentang Penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.

Sejak didorong pada 2016, sudah ada delapan anggota koperasi memanfaatkan skema kredit energi ini. Lima orang kredit kendaraan listrik, yang lain buat instalasi PV.

“Dana selalu jadi pertimbangan berat orang untuk pasang solar panel, maka kami siapkan kredit,” kata Gung Kayon, juga pengurus Koperasi Amoghasiddhi ini.

Panel surya di Archimetriz. Foto: Richaldo H/Mongabay Indonesia

 

Melalui skema kredit ini, setiap orang bisa mencicil biaya pemasangan hingga 36 bulan. “Dengan penghematan bayar listrik lewat pemasangan PV ini, mereka kan bisa nabung untuk biaya maintenance seperti ganti baterai di tahun kelima nanti.”

Skema kredit energi Koperasi Amoghasiddhi ini bisa jadi modal penting mendorong PV sebagai energi rumahan. Berdasarkan hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), organisasi think-tank di bidang energi dan lingkungan hidup, potensi PLTS atap di Bali berada di rentang 3,2-10,9 GWp.

Kredit energi ini bisa menjadi stimulan implementasi energi bersih di Bali sebagaimana termaktub dalam PeraturanPerda Nomor 9/2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Bali. Juga Pergub Nomor 45/2019 tentang Bali Energi Bersih.

“Saya pun ketika melakukan instalasi di daerah mana pasti selalu lapor ke Dinas Energi, biarlah itu bisa di-claim mereka sebagai sebuah pencapaian,” kata Gung Kayon.

Ida Bagus Setiawan, Kepala Seksi Teknik Energi dan Ketenagalistrikan Disnaker Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bali, memasang memasang PV untuk mempermudah sosialisasi di kalangan pemerintahan dan masyarakat Bali secara luas.

Dia memanfaatkan skema kredit energi Amoghasiddhi dengan uang muka Rp20 juta, sisa pembayaran lain selama 36 bulan.

“Murah, dari sisi ekonomis. Karena saya cukup bayar Rp33.000 per hari selama 36 bulan,” katanya.

Bali, katanya, berencana memasang PV di kantor-kantor pemerintahan tetapi masih penyusunan rencana detil.

Skema kredit energi ini pun sudah dimanfaatkan oleh para arsitek peduli lingkungan hidup di Bali. Konsultan arsitektur yang bermarkas di Bali, Archimetriz, memanfaatkan kredit energi untuk menerapkan ideologi mereka mengenai kepedulian lingkungan hidup kepada tiap pelanggan.

I Putu Swantara Putra, pendiri Archimetriz mengatakan, selama ini Archimetriz berusaha tiap pelanggan gunakan PLTS atap sebagai sumber energi. Niatan ini kerap menemui jalan buntu karena biaya awal pemasangan awal tinggi awal.

Dengan ada kredit energi, banyak pelanggan tak memerlukan waktu lama memutuskan pakai PLTS atap. “Menurut kami, green is a must. Mengarahkan client ke arah green itu keharusan dan pekerjaan rumah bagi kami. Kredit energi ini membantu upaya itu.”

 

Solar atap di Griya Idola. Foto: Xurya

 

Dorong skala nasional

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) menyebutkan, kredit energi ini merupakan instrumen yang ditunggu masyarakat luas.

“Survei kami, sebenarnya calon konsumen itu sangat berharap ada skema-skema cicilan, jadi misal, saya tidak harus bayar Rp100 juta di depan, sekian tahun ada cicilan,” katanya.

Dia benarkan kalau biaya pemasangan surya atap, jadi kendala utama bagi masyarakat. Untuk itu, katanya, skema kredit begitu dinanti masyarakat.

Fabby bilang, mencicil selama 3-5 tahun untuk investasi Rp50 juta-Rp100 juta diakui responden survei tak memberatkan.

Skema kredit energi ini sebetulnya juga terdapat di Jawa Timur dengan satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang bertindak sebagai kreditor.

Untuk itu, contoh di Bali ataupun Jawa Timur ini seharusnya bisa diperluas secara nasional. “Dua tahun lalu kami sudah dorong bank-bank BUMN menyediakan pembiayaan seperti itu, nampaknya fokus mereka belum ke arah sana.”

Kalau pemerintah mau memberikan pembiayaan melalui bank BUMN dengan memberikan kredit bunga rendah bagi pemasangan solar panel, katanya, niatan mendorong implementasi energi terbarukan dan transisi energi bisa maksimal.

Berdasarkan kajian IESR, Indonesia memiliki potensi 194,1 GWp- 655 GWp PLTS atap.

“Kalau jutaan rumah pasang solar panel, bisa saja PLN akan kurangi pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Bisa seperti itu, maka butuh inisiatif finansial, karena yang mampu pasang (PV) sejauh ini baru rumah besar yang bisa investasi di awal,” kata Fabby.

 

Transisi energi belum maksimal

Selama dua tahun terakhir tren PV di Indonesia, kata Fabby, memang alami kenaikan. Berdasarkan kajian IESR, terjadi kenaikan empat kali lipat dari 351 pengguna pada 2017 jadi 1.435 pengguna dalam 2019. Kalau dihitung, kapasitas PV terpasang hingga 2019 mencapai 16,66 MW.

Berdasarkan catatan IESR, PV merupakan sumber energi terbarukan yang potensial di Indonesia. Secara keseluruhan sudah ada 152 MW PV terinstal hingga November 2019, baik skala rumahan, bisnis maupun pembangkit skala besar.

Sayangnya, jumlah ini baru sekitar 0,028% dari 536 GW potensial energi instalasi energi surya di seluruh Indonesia. Itulah sebabnya, sekalipun ada perkembangan instalasi PV dan energi terbarukan lain, transisi energi bersih di Indonesia masih belum dikatakan memuaskan.

“Karena yang masih dominan pembangkit listrik adalah energi fosil, mencapai 87%. Energi terbarukan baru 13%,” kata Fabby.

Padahal, Indonesia dalam dokumen rencana umum energi nasional unya target 23% sumber energi nasional dari energi terbarukan pada 2025. Kalau mengikuti target ini, di sisa lima tahun ini harus terjadi 2 GW energi terbarukan setiap tahun.

“Perlu akselerasi untuk mencapai ini, tidak bisa dengan cara-cara biasa. Harus ada effort lebih.”

 

 

Nantikan payung hukum

Capaian yang perlu, kata Fabby, adalah regulasi jelas dari pemerintah supaya investor mau mengucurkan dana ke pembangkit energi terbarukan.

Kalau berkaca pada keperluan 2GW pembangkit per tahun untuk mencapai target pada 2025, perlu pendanaan US$3,5-4 miliar per tahun. Melihat angka ini, tidak bisa hanya mengandalkan PLN ataupun investor skala kecil.

“Karena itu kita butuh stabilitas regulasi, kebijakan harus stabil dan orang lihat regulasi transparan,” katanya.

Dalam regulasi itu, ucap Fabby, harus diatur bagaimana transparansi tarif. Supaya tarif dapat memenuhi ekspektasi keuntungan pengembang.

“Masalahnya dalam empat tahun ini renewable energy regulation itu memble.”

Selama beberapa tahun terakhir memang sudah keluar beberapa regulasi yang mengatur energi terbarukan dan investasi di Indonesia. Dia sebutkan, seperti Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 12/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Juga Permen ESDM Nomor 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Dari dunia bisnis, Edwin WIdjonarko, Director of Technology PT Xurya Daya Indonesia, sebuah startup energi terbarukan, menyuarakan hal sama. Menurut dia, payung hukum jadi hal yang ditunggu-tunggu dunia bisnis.

“Karena dulu obstacle buat kami para pebisnis adalah payung hukum yang belum ada.”

Dahaga akan regulasi ini sebenarnya bisa selesai asalkan Rancangan Undang-undang tentang Energi Terbarukan segera disahkan. RUU ini masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2020.

Kalau sudah sah, RUU ini akan memuat berbagai poin penting sebagai pendorong pengembangan energi bersih di Indonesia, termasuk soal tarif. Salah satu pasal dalam RUU ini tegas bilang, kalau pemerintah akan menetapkan harga energi terbarukan berdasarkan nilai ekonomi berkeadilan.

Pasal lain menyebut kalau pemerintah memiliki kewajiban memberikan pengembalian selisih harga energi terbarukan kalau harga listrik lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik. Andaikan RUU ini sah, penetapan harga akan diuraikan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

“Kami sangat menantikan UU ini, karena energi transisi yang jalan sangat tergantung dari peraturan ini,” kata Edwin.

Sejak berdiri pada 2018, sudah ada 20 pelaku bisnis dan industri memanfaatkan PV dari Xurya. Berdasarkan analisis mereka, penggunaan PV membuat pelanggan mengurangi 20%-60% konsumsi listrik.

“Tergantung dari client, beberapa ada yang bisa meningkatkan nilai jual karena menggunakan green energy.”

Griya Idola Industrial Park, satu pelanggan Xurya, menyatakan, kalau PV Xurya membuat mereka bisa mengurangi konsumsi listrik dari PLN. Adapun instalasi PV di kawasan ini berasal dari Xurya mencapai 25 KWp untuk menyuplai listrik di water treatment plan kawasan ini.

“Memang tidak 100% tenaga surya karena kami masih menggunakan listrik PLN, sejauh ini sangat membantu menyuplai kebutuhan 50% listrik di instalasi ini,” ucap Philips, Chief Engineering Griya Idola Industrial Park, dalam wawancara terpisah.

Pemasangan PV di gedung water treatment plan ini, kata Philips sebagai upaya implementasi green building. Dia bilang, ramah lingkungan bukan upaya mendongkrak pemasaran di sektor bisnis, tetapi sudah kewajiban.

Ke depan, kawasan ini akan mencoba melihat kemungkinan instalasi di gedung lain. “Memakai PV sebagai bentuk perwujudan green building bukan sekadar pencitraan, ini sudah menjadi kewajiban seluruh bisnis, maka kami coba mengakomodir di sini.”

 

Tulisan ini merupakan beasiswa program jurnalisme Thomson Reuters Foundation, untuk liputan mengenai transisi energi.

 

 

Keterangan foto utama: Dua orang tengah pasang instalasi PV di LeBaoh. Foto: dokumen Gung Kayon

 

 

 

Exit mobile version