Mongabay.co.id

Banjir di Banyumas dan Purbalingga Setelah 20 Tahun, Curah Hujan Tinggi atau Kerusakan Lingkungan?

 

Hujan deras yang mengguyur wilayah Banyumas dan Purbalingga, Jawa Tengah pada Rabu (2/12) hingga Kamis (3/12) dinihari mengakibatkan sejumlah sungai besar meluap. Sungai besar di Jateng bagian barat yakni Sungai Serayu yang memiliki hulu di dataran tinggi Dieng yang selama ini aman-aman saja, ternyata meluap. Tak hanya itu, salah satu sungai besar di Purbalingga yakni Sungai Klawing juga tak mampu menampung air.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banyumas mencatat ada ribuan rumah yang terendam di sejumlah kecamatan yang dilewati aliran Sungai Serayu. Sedangkan BPBD Purbalingga menginventarisasi ada ratusan rumah di enam desa yang berbatasan dengan Sungai Klawing juga kebanjiran.

“Kami cukup kaget juga, karena sudah lama tidak banjir di sini. Banjir mulai terjadi pada Rabu malam dan semakin membesar pada Kamis. Meski pada Jumat sudah mulai surut, namun kami tetap khawatir kemungkinan banjir datang lagi. Sebab, desa ini tak jauh dari Sungai Serayu,” ungkap Sugeng (46) salah seorang warga Desa Kedungguter, Kecamatan Banyumas.

Di desa setempat, yang berbatasan dengan Desa Sokawera, Kecamatan Somagede, memang paling parah dilanda banjir. Kepala Desa Sokawera Karman mengatakan bahwa sudah lama tidak terjadi banjir akibat luapan Sungai Serayu. Banjir besar sebelumnya terjadi pada tahun 2000 atau 20 tahun silam. “Kami juga terkejut, Sungai Serayu sebesar itu tidak mampu menampung air. Apalagi, banjir besar terakhir terjadi 20 tahun silam,” jelasnya.

Tak hanya di desa setempat, warga Desa Pejerukan, Kecamatan Kalibagor, Warsidi, 56, mengatakan banjir yang melanda desanya terjadi lagi setelah 20 tahun tidak ada banjir. “Banjir mulai masuk ke perkampungan pada Kamis dinihari. Sehingga kami secara mandiri melakukan evakuasi warga dan barang-barang lain,” ujarnya.

baca : La Nina Berpotensi Timbulkan Bencana Banjir dan Longsor, Bagaimana Antisipasinya?

 

Warga melintas jalan yang dilanda banjir di Desa Kedungguter, Kabupaten Banyumas, Jateng, pada Kamis (3/12/2020). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Tak hanya di Banyumas, ada enam desa di Kecamatan Kemangkon, Purbalingga yang dilanda banjir akibat luapan Sungai Klawing. Sungai Klawing memiliki hulu di lereng timur Gunung Slamet dan pegunungan juga tak mampu menampung air, sehingga meluap. “Desa-desa yang mengalami banjir sejauh ini sebetulnya aman. Mungkin karena curah hujan yang tinggi, sehingga air di Sungai Klawing dan Serayu meluap,”kata Kepala Pelaksana Harian BPBD Purbalingga Umar Fauzi.

Kepala Pelaksana Harian BPBD Banyumas Titik Puji Astuti menambahkan, di Banyumas ada 1.000 lebih rumah yang terendam dan tersebar di beberapa kecamatan di antaranya adalah Somagede, Banyumas, Sokaraja, Patikraja dan Rawalo.

“Terus terang, banjir ini di luar dugaan. Biasanya banjir itu di wilayah tenggara Banyumas seperti di Sumpiuh, Tambak dan Kemranjen. Tetapi banjir pekan ini di wilayah-wilayah yang dilewati DAS Serayu. Banjir ini salah satu pemicunya adalah hujan deras. Peristiwa banjir yang terjadi di wilayah-wilayah tersebut sudah lama sekali tidak terjadi. Dari penuturan warga, banjir terakhir terjadi pada tahun 2000 atau 20 tahun silam,”kata dia.

 

Curah Hujan Tinggi

Berdasarkan pengukuran curah hujan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), curah hujan di wilayah-wilayah Jateng barat memang cukup tinggi. Menurut Kepala Stasiun Geofisika BMKG Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie mengungkapkan curah hujan tinggi di wilayah hulu Sungai Serayu memang tinggi. “Misalnya di Kecamatan Pejawaran pada 3 Desember tercatat 108 milimeter (mm). Kemudian Pandanarum 110 mm, Wanayasa mencapai 115 mm. Jelas, hal ini meningkatkan volume di Sungai Serayu,” jelasnya.

Wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah pegunungan yang di Banjarnegara yang merupakan wilayah hulu Sungai Serayu. Sedangkan di wilayah Purbalingga tercatat juga cukup tinggi curah hujannya. Salah satunya di Kecamatan Kaligondang yang mencapai 175 mm. Hujan di Kecamatan Kaligondang termasuk ekstrem karena lebih dari 150 mm dalam 24 jam. “Untuk kategori hujan antara 100-150 mm masuk status hujan sangat lebat, sementara di atas 150 mm merupakan hujan ekstrem,”katanya.

baca juga : Waktunya Mulai Mewaspadai Mega Bencana: Pandemi dan Banjir Puncak Musim Hujan

 

Banjir yang terjadi di Desa Pejerukan, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jateng, akibat luapan Sungai Serayu, Kamis (3/12/2020). Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Secara terpisah, Kepala Kelompok Teknisi Stasiun Meteorologi BMKG Tunggul Wulung Cilacap Teguh Wardoyo menambahkan salah satu peningkatan volume Sungai Klawing adalah hujan di wilayah Kecamatan Karanganyar. “Di titik Banjarkerto, Karanganyar curah hujan mencapai 251 mm, demikian juga di titik Karanganyar 130 mm dan Slinga Kaligesing mencapai 175 mm,” jelas Teguh.

Tak hanya di Purbalingga, curah hujan di Banyumas juga tinggi. Hujan yang ekstrem tercatat di Kecamatan Sumbang dengan 172 mm dalam 24 jam. Kemudian hujan sangat lebat di Arcawinangun 108 mm, Baturraden 126 mm dan Banyumas 133 mm. Makanya kemudian sejumlah sungai memiliki volume air yang tinggi. Salah satunya adalah di Sungai Serayu yang kemudian meluap. “Kami mengimbau kepada masyarakat di wilayah Jateng bagian barat dan selatan untuk terus waspada. Sebab, waktu-waktu ke depan, hujan deras dan cenderung ekstrem masih potensial terjadi,”katanya.

Volume air di Sungai Serayu yang sangat tinggi dibenarkan oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Bendung Gerak Serayu (BGS) Sugeng mengatakan bahwa curah hujan tinggi menyebabkan volume air di Sungai Serayu melonjak drastis. “Sebagai contoh, pada Kamis sore misalnya, debit air Sungai Serayu mencapai 2.179 meter kubik (m3) per detik. Volume itu sangat tinggi, karena dalam kondisi normal, debit Sungai Serayu mencapai 300-500 m3 per detik,”jelas Sugeng.

perlu dibaca : Banjir Pasuruan Tertinggi dalam Belasan Tahun, Perubahan Bentang Lahan Perlu Jadi Perhatian

 

Korban banjir di Kabupaten Banyumas, Jateng, Kamis (3/12/2020) dievakuasi oleh tim penolong. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Analisis Banjir

Dihubungi terpisah, doktor hidrologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Yanto, mengungkapkan bahwa banjir yang terjadi di Banyumas dan Cilacap lebih karena faktor curah hujan yang tinggi. Memang, katanya, ada faktor lainnya misalnya pengelolaan wilayah.

“Adanya alih fungsi lahan dari tutupan vegetasi seperti hutan dan perkebunan menjadi daerah yang terbuka seperti sawah atau wilayah tertutup bahan kedap air, seperti pemukiman dan jalan akan meningkatkan potensi banjir. Air yang mengalir ke sungai akan lebih meningkat volumenya. Alih fungsi lahan juga menyebabkan sedimentasi yang besar pada sungai di daerah hilir. Ini membuat tampang sungai mengecil dan tidak mampu mengalirkan volume air yang meningkat,” kata Yanto.

Ia mengungkapkan ada beberapa hal yang perlu diantisipasi. Salah satunya adanya perubahan iklim akibat suhu bumi yang meningkat. Oleh karena itu, maka perlu menekan laju kenaikan suhu bumi dengan pengurangan gas emisi rumah kaca. “Secara lokal dapat dilakukan dengan mengubah pola hidup, misalnya mengurangi penggunaan AC, perencanaan transportasi publik yang lebih memadai serta memanfaatkan energi terbarukan seperti mikrohidro dan tenaga surya,”ujarnya.

Selain itu, lanjut Yanto, terkait pengelolaan wilayah, terutama daerah aliran sungai. Perlu ada perencanaan kota. Misalnya Kota Purwokerto yang mengalami mengalami pertumbuhan pembangunan signifikan dalam beberapa tahun belakangan.

“Di sini alih fungsi lahan berlangsung cukup cepat. Di Purbalingga juga cukup cepat, apalagi ada pembangunan Bandara Jenderal Besar Soedirman. Kedua pemerintah daerah perlu mengevaluasi rencana tata ruang dan wilayahnya dengan mendasarkan pada risiko banjir baik di Purwokerto dan Banyumas maupun Purbalingga,”kata dia.

baca juga : Banjir di Masa Pandemi, Antisipasi Diperlukan Sebelum Bencana Datang

 

Banjir yang terjadi di Kroya, Cilacap, Jateng, akibat curah hujan tinggi. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sementara Koordinator Bidang Bencana Geologi Pusat Mitigasi Unsoed Purwokerto Indra Permanajati menyoroti banjir khususnya di Purbalingga, tepatnya di sejumlah desa di Kecamatan Kemangkon akibat luapan Sungai Klawing.

“Selain tingginya curah hujan yang terjadi, banjir yang terjadi di wilayah tertentu tidak lepas dari topografi. Lansekap daerah yang banjir adalah suatu wilayah cekungan atau dataran banjir. Secara sederhana daerah genangan air (inundation area) disebabkan karena morfologi yang bisa menampung air seperti cekungan atau wilayah dataran dekat dengan sungai. Wilayah ini bisa terbentuk secara alamiah ataupun karena faktor manusia. Daerah ini bisa terkena dampak banjir kalau lokasinya dekat dengan sungai,” kata doktor geologi Unsoed tersebut.

Faktor lain yang memicu banjir, kata Indra, adalah alih fungsi lahan di wilayah DAS sungai baik dari hulu maupun hilir. “Bisa jadi ada perubahan dari kawasan hutan lindung menjadi daerah budidaya dimana fungsi tanaman sebagai media mempercepat infiltrasi tanah berkurang ataupun adanya kemungkinan pembalakan liar di daerah hulu,” jelasnya.

Untuk mengurangi dampak banjir, tidak dapat dikerjakan sendiri oleh pemerintah. “Semua elemen masyarakat harus bergerak baik itu pemkab, akademisi, media, stakeholder dan masyarakat sendiri harus bergerak secara masif melakukan aksi pengurangan banjir. Upaya yang sederhana misalnya  menjaga kebersihan lingkungan, pengecekan sumbatan-sumbatan diatas. Sedangkan untuk penanganan yang lebih besar adalah normalisasi sungai, atau mengurangi pembangunan perumahan di dekat sungai dan membuat simulasi untuk menentukan langkah jangka panjang dalam penanganan banjir,” paparnya.

 

Exit mobile version