Mongabay.co.id

Kumpulan Puisi-Cerpen-Essay Ekologi: Ketika Masyarakat Menjadi Subjek Persoalan Batubara

 

Buku         : Kumpulan Karya Lomba Puisi-Cerpen-Essay Ekologi

Penerbit     : AEER [Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat]

Tebal        : 235 halaman          

Tahun Terbit : Desember 2020

Media patner : Mongabay Indonesia, Wong Kito

**

 

Aktivitas ekonomi ekstraktif di Indonesia, seperti penambangan batubara, bukan hanya menjadi sumber pemanasan global, juga menimbulkan berbagai persoalan bagi masyarakat. Tapi selama ini, mereka hanya menjadi objek dari kampanye, baik melalui aksi unjuk rasa, upaya hukum, pemberitaan atau melalui karya seni seperti sastra, seni rupa dan pertunjukan.

Bagaimana jika masyarakat yang menjadi subjek, langsung menyuarakan berbagai persoalan akibat penambangan batubara tersebut?

Banyak kejutan yang saya rasakan, ketika membaca sejumlah puisi dan cerita pendek [cerpen] yang terhimpun dalam buku digital “Kumpulan Karya Peserta Lomba Puisi-Cerpen-Essay Ekologi” yang diterbitkan AEER [Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat] pada pekan pertama Desember 2020.

 

Batubara yang hingga saat ini menyisakan banyak persoalan lingkungan, mulai dari lubang bekas tambang hingga tumpahannya yang mencemari lingkungan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Buku ini merupakan kumpulan karya para pemenang lomba penulisan puisi, cerpen dan essay yang digelar AEER dan Teater Potlot, didukung Mongabay Indonesia dan Wong Kito sebagai media partner sejak Juli-Oktober 2020.

Para peserta lomba karya sastra ini diprioritaskan bagi pelajar [SD, SMP dan SMA] di Kabupaten Muara Enim serta kabupaten dan kota sekitarnya seperti Lahat, PALI [Penukal Abab Lematang Ilir] Prabumulih, termasuk Palembang, Sumatera Selatan.

Akan tetapi, target utama lomba adalah, khusus para pelajar yang berada di Kabupaten Muara Enim. Kabupaten ini merupakan wilayah yang cukup tinggi aktivitas penambangan batubara, baik legal maupun ilegal, serta adanya dua PLTU [Pembangkit Listrik Tenaga Uap] yang tengah dibangun. Muara Enim memiliki cadangan batubara sekitar 9,78 miliar ton dengan luas konsesi sekitar 77.931,70 hektar. Luasan ini di luar lahan penambangan batubara ilegal yang cukup marak.

Buku ini menampilkan empat puisi pemenang kategori sekolah dasar [SD], usia 7-13 tahun, yang dimasukan dalam buku ini. Yakni “Kembalikan Ladang Kami”, “Sepedah, Ikan dan Batubara’, “Jikalau Ia Bernarasi” dan “Emas Hitam!”

Kemudian puisi kategori SMP dan SMA yakni “Napas Yang Terbunuh”, “Suara”, “Cerita Dari Talang”, “Rintihan Hati”, “Duniaku”, “Suci”, “Biasa”, “Si Hitam yang Jahat”, “Jumantara, Kala Itu”, “Akibat Batubara dan PLTU”, “Mutiara Hitam”, “Rintihan Kalbu”, “Bayangan Kelabu”, “Kembalikan” dan “Secuil Debu”.

Cerpen kategori SD menampilkan “Air Mata Annisa”. Lalu kategori SMP dan SMA yakni “Lorong Bisu”, “Futur Laskar”, “Polusi dan Amarah”, “Pertambangan Batubara”, “Derita di Lingkar Tambang”, “Belajar Demi Indonesia”, “Jalan-Jalan dan Batubara”, “Hijau Menjadi Kelabu”, “Ketika Panas dan Kering Menerpa”, “Senja di Hati Yasa”, “Aku Pembunuh”, “Lukisan Asap”, “Live In”, dan “Di Sebuah Surga yang Gersang”.

 

Cover Buku Kumpulan Karya Lomba Puisi-Cerpen-Essay Ekologi. Ilustrasi: AEER [Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat] – Teater Potlot

 

Essay [esai] yang diikuti mahasiswa yakni “Dampak Pertambangan Batubara dan Upaya Alternatif Berkelanjutan Bagi Lingkungan Sekitar Pertambangan Batubara di Sumatera Selatan”, “Pertambangan dan Ekosida: Mengapa Indonesia Harus Segera Meninggalkan Industri Pertambangan”, “Nasib Ibu Bumi di Tengah Kepungan Tambang”, “Terapkan Teori Ekologi dalam Praktik Pertambangan di Indonesia”, “Daya Rusak Pertambangan Batubara dan PLTU Bagi Kehidupan”, “Dampak Pertambangan Batubara dengan Pengaruh Perkembangan PLTU di Sekitarku dan Solusi yang Dapat Kita Terapkan”, “Green Mining di Sumatera Selatan Bukan Sebatas Wacana”, dan “Dampak Negatif Pertambangan Batubara dan PLTU Bagi Kehidupan di Provinsi Sumatera Selatan”.

Sementara esai kategori umum yakni “Batubara Menggubur Lahat yang Indah”, “Lumbung Energi Membawa Bencana”, “Setelah Satu Abad Batubara di Sumsel”, “Ancaman Tambang Batubara dan Beroperasinya PLTU Bagi Kehidupan”, “Ketika Perut Bumi Dikeruk dan Dagingnya Terus Dibakar”, “Kuantifikasi Dampak Penggalian Batubara Terhadap Keseimbangan Ekologis di Sumatera Selatan”, “Dampak PLTU, Seganti Setungguan, dan Perempuan”, “Dampak Eksploitasi Tambang Batubara Terhadap Lingkungan”, “Bagai (Batu) Bara dalam Sekam”, dan “Cerita di Balik Tambang”.

***

 

Bentang alam di wilayah Sumatera Selatan yang dulunya hutan dan perkebunan rakyat kini menjadi danau pasca-aktivitas pertambangan batubara. Foto: David Herman/INFIS

 

Saya tertarik dengan puisi dan cerpen yang ditulis para pelajar ini. Sebab, banyak pemahaman yang melampaui pengetahuan anak-anak seusianya. Bahkan pilihan diksi, tipologi penulisan, sangat mengejutkan atau dapat dikatakan seperti karya mereka yang sudah terbiasa menulis puisi atau cerpen.

Namun terlepas adanya kemungkinan “intervensi” dari guru, saudara, keluarga dalam proses penulisan tersebut, proses kreatif itu sendiri akhirnya membangun kesadaran mereka akan dampak pertambangan batubara.

Retak, menjalar ke mana mana 
Tanah Sriwijaya menangis. 
Mungkinkah luka ini teramat 
parah, karena tak tampak lagi 
bambu dan padi, kembang 
ilalang jua pergi

Puisi yang ditulis Sintia Bella Anggraini, anak SDN 21 Talang Ubi, sangat luar biasa. Sebagai seorang pelajar SD, dia mampu menggambarkan kondisi lahan akibat penambangan batubara, “Retak, menjalar ke mana-mana”. Kondisi ini dia benturkan dengan sentimen Sriwijaya, “Tanah Sriwijaya menangis”. Ini menunjukan sang pelajar sangat memahami sejarah Sriwijaya yang selama ini menjadi narasi pemerintahan di Sumatera Selatan saat menjalankan pembangunan.

 

Lubang tambang batubara ilegal hasil investigasi PINUS, HaKI dan Harian Tribun di Muara Enim, Sumatera Selatan. Foto: Dok. PINUS

 

Aku tidak dapat sepeda dari 
Pak Jokowi, karena tidak bisa
menjawab nama-nama ikan. 
Dari kecil tak kujumpai tilapnya lagi. 
Padahal kata bapak di sungai 
enim banyak ikan.
Aku mau sepeda. 
Tapi bapak tidak membelinya. 
Kebun karet bapak sudah jadi tambang.

Puisi berjudul “Sepedah, Ikan dan Batubara” yang ditulis Wahyu Hendrawan, pelajar SDN 204 Palembang, juga sangat mengejutkan. Seorang pelajar di Palembang, yang jaraknya puluhan kilometer dari lokasi penambangan batubara, mampu membenturkan persoalan batubara dengan tradisi Pak Jokowi [Presiden Joko Widodo] yang suka memberikan hadiah sepeda kepada pelajar yang mampu menjawab pertanyaan darinya, ketika kunjungan kerja.

Wahyu pun mampu membayangkan dirinya sebagai anak seorang petani karet yang kebunnya sudah dijual atau digusur sebagai tambang [batubara].

 

Kondisi jalan di lokasi tambang batubara ilegal di Sumatera Selatan. Foto: Najib Asmani

 

Jikalau ia dapat bicara
apakah ia akan menyuarakan
lukanya? 

Apakah yang ia rasa? 
Akankah ia berteriak 
meronta-ronta? 

Sama seperti dua puisi sebelumnya, puisi berjudul “Jikalau Ia Bernarasi” yang ditulis Maycel Victor Valensya, SDN Talang Mandung, juga luar biasa. Pilihan diksi, tipologi, dan kedalaman penghayatan sungguh mengagumkan.

 

Sebanyak 11 pekerja tewas tertimbun di lokasi penambangan batubara liar, di Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, 21 Oktober 2020 lalu. Foto: Dok. Polsek Tanjung Agung, Muara Enim, Sumsel

 

Kemampuan penulisan puisi para pelajar SD ini mungkin di atas atau sebanding dengan puisi yang ditulis pelajar SMP dan SMA yang mengikuti lomba.

Ada sebuah rasa yang tersirat
Di dalam jiwa, 
Entah kenapa pikiranku tertuju 
pada satu titik.

Puisi berjudul “Rintihan Hati” oleh Fitriah SMKN 1 Gelumbang sangat sederhana. Sebagai seorang pelajar SMA dia masih berkutat dengan rasanya sebagai seorang anak, yang menyaksikan berbagai persoalan lingkungan seperti penambangan batubara.

Terlepas apakah puisi-puisi ini ditulis adanya campur tangan orang lain atau siapa pun yang menulisnya, puisi-puisi ini menunjukan bagi masyarakat Sumatera Selatan, khususnya di kabupaten dan kota yang terdampak penambangan batubara, aktivitas ekonomi ekstraktif tersebut sangat merugikan. Baik secara sosial maupun lingkungan.

Persoalan hilangnya ladang, rusaknya sungai, identitas, merupakan fakta yang dirasakan masyarakat sebagai akibat penambangan batubara.

Ini juga membuktikan tidak semua masyarakat bahagia dengan kehadiran penambangan batubara tersebut, karena dampak ekonominya, yang dijanjikan membuat mereka hidup makmur.

Kejutan juga saya rasakan pada cerpen yang ditulis pelajar SD. Cerpen berjudul “Air Mata Annisa” yang ditulis Alya Khairunnisa, sungguh membuat saya terkagum. Seorang pelajar SD mampu merekam dan menggambarkan konflik tentang seorang pelajar yang menjadi korban kekerasan saat memperjuangkan sekolahnya dari penggusuran perusahaan batubara. Dia bukan hanya mengenal sosok wali kota, presiden, juga aktivis.

***

 

Tagboat yang setiap hari menarik tongkang yang mengangkut batubara di Sungai Musi. Foto: Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Terlepas dari semua itu, upaya AEER pantas untuk diapresiasi. Seperti dinyatakan Pius Ginting, Koordinator Perkumpulan AEER dalam buku ini, “Urusan sastra adalah mengungkap hubungan antara manusia dan lingkungannya. Mengutip penyataan DH Lawrence, penulis Inggris berasal dari kawasan tambang batubara Inggris, “Seni adalah mengungkap hubungan antara manusia dan alam”.

Pius menuturkan, pengungkapan hubungan manusia dan lingkungan yang terdampak batubara ini telah dimulai dari perserta yang mengirimkan karyanya. “Semoga karya sastra dan esai bisa terus menjadi bagian dari penyelesaian persoalan lingkungan yang ada.”

Nila Ertina, juri penulisan puisi, menyampaikan pesannya. “Orisinalitas karya tulis menjadi catatan penting dalam setiap produk yang dihasilkan, karena itu adalah modal bagi penulis untuk terus berkarya dengan mengedepankan kejujuran dan empati yang tinggi, terhadap permasalahan yang diangkatnya.”

Sementara Okky Madasari, juri penulisan sastra lainnya mengatakan, bagi dirinya yang juga mengejutkan adalah bagaimana baiknya kualitas rata-rata cerita yang masuk. Mereka semua adalah pelajar sekolah menengah dan jauh dari sebutan penulis profesional.

“Bahkan pemenang lomba ini adalah pelajar tingkat SMP. Penjelasan baiknya, mutu karya-karya yang masuk hanya satu: mereka bercerita jujur karena mengalami sendiri penderitaan ini. Tidak ada kisah yang bisa mengalahkan cerita yang dikisahkan langsung dari hati.”

Harapannya, seperti dikatakan Sapariah Saturi, juri penulisan esai, mudah-mudahan tulisan para peserta tak terhenti di lomba. Semoga, mereka terus menulis.

“Menceritakan, merekam, atau memotret kondisi dan fakta lapangan, kesulitan warga, kerusakan lingkungan hidup, dampak operasi tambang batubara dan PLTU ini, harus terus berlanjut.”

 

 

Exit mobile version