Mongabay.co.id

Bukan COVID-19, Infrastruktur Perikanan yang Jadi Kendala Nelayan Pulau Rhun, Maluku. Kenapa?

 

Selain terkenal dengan rempah-rempah, situs sejarah dan wisata baharinya, Kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku memiliki potensi perikanan berlimpah. Salah satunya di Desa Pulau Rhun, Kecamatan Banda. Pulau ini menjadi penghasil ikan terbanyak.

Armada kapal ikan di sana banyak, ada ketinting hingga jenis jaring bobo (mini purse seine). Data yang dihimpun, dalam sehari nelayan di Pulau Rhun bisa menghasilkan hingga belasan ton ikan. Paling sedikit 7 ton.

Asis Latora (40), Sekretaris Kelompok Nelayan Negeri Rhun mengatakan potensi pengelolaan perikanan di Pulau Rhun, luar biasa berlimpah, namun terkendala oleh daya tampung dan kondisi pemasaran serta fasilitas penampungan ikan yang tidak memadai. Akibatnya banyak ikan terpaksa dibuang ke laut.

“Kalau soal pemasaran, harganya yang murah. Perusahaan-perusahaan kapal di laut Pulau Rhun tidak memenuhi standar pemuatan yang baik,” ungkap Asis kepada Mongabay Indonesia, November lalu.

Sementara rata-rata hasil tangkapan nelayan jenis ikan layang (decapterus) dalam sehari itu, kata Asis, bisa mencapai 10 hingga 12 ton. Di sana terdapat enam sampai tujuh jaring besar menangkap layang. Sementara daya tampung hanya tiga ton per hari.

“Hasil tangkap nelayan tidak berbanding dengan sarana dan prasarana penampungan ikan,” katanya.

baca : Ironi di Kepulauan Kei : Kaya Potensi Perikanan, Tapi Miskin Pemanfaatan [1]

 

Para nelayan Pulau Rhun, Banda, Maluku Tengah, dengan puluhan ton ikan layang, hasil tangkap. Dalam sehari mereka bisa menghasilkan 10 hingga 12 ton ikan layang. Foto : Victor Fidelis

 

Dia menjelaskan biasanya nelayan Rhun menjual hasil tangkap  ke kapal milik Perusahaan Inti Mas, asal Bali. Ada juga yang dijual ke jibu-jibu (pengepul). Nelayan sudah menekankan masalah itu kepada Pemerintah Kecamatan Banda, termasuk kendala jembatan perikanan.

“Saya bersama 60 orang nelayan datang ke sana untuk bicarakan berbagai masalah terkait potensi perikanan dan kendala yang dihadapi,” katanya.

Mereka juga memohon ditambahkan kapal penampung ikan kepada pemerintah lewat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan telah didatangkan dua bulan kemarin.

 

Kendala Nelayan

Kendala lain yang dihadapi nelayan yakni bahan pengawet seperti es batu. Di Pulau Rhun tidak ada PLN. Ada pemasok listrik milik swasta dengan kapasitas dan daya terbatas sehingga warga tidak menggunakan freezer dan kulkas untuk menyimpan dan menghasilkan es. Sehingga kebutuhan es dibeli di Neira, Kota Kecamatan. Distribusinya bisa sampai  tiga ton.

“Harga es per batang Rp.15 ribu jika dibeli dari perusahaan yang punya stok. Itu pun perusahaan yang bisa diajak kompromi. Tapi kalau tidak, hanya bisa beli es batangan biasa,” katanya.

Supardi Sulai, Nelayan Tuna Pulau Ay juga merasakan banyak kendala selama jadi nelayan, seperti biaya BBM dan umpan ikan tuna, serta terutama menyangkut pemasaran.

Untuk mengejar tuna, mereka harus menghabiskan 260 liter BBM. Ratusan liter itu kadang habis dalam sehari. Sementara tuna yang dijual ke kapal hanya seharga Rp26.000/kg.

“Kita juga jual ke pengepulBiasanya kalau rezeki bisa dapat 7 hingga 8 ekor. Kami berharap harga ikan bisa naik. Karena sekali operasi, BBM bisa sampai sejuta rupiah lebih,” katanya.

baca juga : Kaya Tapi Miskin, Potret Potensi Perikanan Maluku yang Belum Optimal, Kenapa?

 

Bongkar muat ikan cakalang dari kapal ikan ke mobil pick up, di Pelabuhan Tulehu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay Indonesia

 

Fadli Minggu, nelayan lain mengatakan, November adalah musim tuna, namun aktivitas melaut saat ini belum bisa dilakukan karena terkendala cuaca.  “Di waktu timur banyak ikan tuna. Namun harganya turun akibat COVID-19. Banyak nelayan kini malas melaut,” katanya.

Nelayan di sana juga pakai rumpon, katanya, meski dilarang oleh lembaga-lembaga konservasi. Sehingga mereka membuat rumpon ramah lingkungan.

 

Kewenangan

Ramlan Tuasikal, Kepala Seksi Sarana dan Prasarana (Sarpras) Tangkap, Dinas Perikanan Kabupaten Maluku Tengah mengaku, potensi perikanan di Kepulauan Banda memang sangat berlimpah, namun pemkab/pemkot tidak memiliki kewenangan penuh atas potensi laut di sana.

Sejak adanya Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan pengelolaan pesisir dari nol km ke darat menjadi hak pemkab/pemkot. Sebaliknya pengelolaan laut dari nol mil ke arah laut sepenuhnya kewenangan pemerintah provinsi.

“Bahkan tambatan perahu yang dulunya ditangani Dinas Perikanan, kini jadi kewenangan Dinas Perhubungan,” katanya.

Menyinggung penyuluh perikanan dalam mendorong dan membantu akses kesejahteraan kepada para nelayan di Kepulauan Banda, Ramlan mengaku, pada semua level kecamatan ditempatkan penyuluh perikanan.

“Penyuluh langsung dibentuk Pemerintah Pusat, dengan tugas membentuk dan membina para nelayan,” katanya.

perlu dibaca : Jemput LIN, Maluku Harus Siapkan SDM, Etos Kerja dan Bicara Anggaran

 

Warga Pulau Rhun saat memancing menggunakan perahu tradisional di perairan Pulau Rhun, Banda, Maluku Tengah. Foto: Victor Fidelis

 

Senada, Lin Hehamahua, Kepala Seksi Sarpras Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Dinas Perikanan Kabupaten Maluku Tengah mengaku, memang kendala di Kepulauan Banda, termasuk di Pulau Rhun itu adalah daya tampung perikanan dan cold storage.

“Kami tidak punya wewenang atas itu. Jika mengeluhnya masyarakat itu soal tempat penampungan, karena hasil tangkap di sana berlimpah, maka mereka harus membuat proposal pengadaan,” katanya kepada Mongabay, Kamis (3/12/2020).

Pembuatan proposal, ditujukan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, dan tembusan ke kabupaten. Proposal tersebut nantinya dilanjutkan DKP Provinsi ke Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Jadi tembusannya nanti ke kabupaten. Karena teritorial milik kabupaten,” katanya.

Di Banda, katanya, ada dua cold storage masing-masing milik Pemerintah Kabupaten dan Provinsi. Sejauh ini, perikanan tangkap di Kepulaun Banda diperhatikan oleh pemerintah, namun regulasi membatasi ruang gerak Dinas Perikanan Kabupaten/Kota.

“Ya, Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah juga perhatikan nelayan di sana. Bahkan ada pabrik es milik kabupaten dan provinsi. Tempat penampungan juga ada,” katanya.

penting dibaca : Menteri KKP Berjanji Wujudkan Wacana Lama Lumbung Ikan Nasional di Maluku

 

Dua bocah menenteng ikan layang, hasil tangkap nelayan Pulau Rhun, Banda, Maluku Tengah. Foto : Victor Fidelis

 

Tata kelola Perikanan Tangkap

Menyikapi berbagai kendala di Pulau Rhun, Amrullah Usemahu, Wasekjen Masyarakat Perikanan Nusantara, mengajak para nelayan di wilayah setempat untuk melihat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.4/2014 tentang musim penangkapan ikan, termasuk di perairan Laut Banda. “Kalau saya tidak salah ingat itu, dari Oktober hingga Desember itu dilarang,” katanya.

Saat Menteri Susi Pudjiastuti menjabat, kapal-kapal transshipment, termasuk kapal eks asing dilarang beroperasi di laut Indonesia, termasuk di Kepulauan Banda.

Mengingat potensi perikanannya di Kepulauan Banda cukup signifikan. Untuk itu, nelayan di sana harus menata pengelolaan secara baik karena keterbatasan infrastruktur, terutama  cold storage.

Dulunya, ungkap Amrullah, rata-rata armada jenis mini purse seine yang menangkap ikan di Kepulauan Banda, sekitar 12 unit. Kondisi itu membuat para nelayan di sana menggunakan sistem trip penangkapan.

“Dulu itu diatur empat unit per hari, dengan skala tangkap terbatas. Agar ikan tidak menumpuk. Nah, sistem seperti ini yang harus dilakukan nelayan di Banda,” jelasnya.

Apalagi, mini purse seine adalah jenis alat untuk penangkapan pelagis kecil. Kalau pelagis kecilnya habis, tuna tidak lagi masuk ke Laut Banda. Sehingga semua elemen di Maluku harus bertanggung jawab mencari solusi mengatasi permasalahan di Pulau Rhun.

“Buat tata kelola penangkapan dan harus ada intervensi pemerintah. Agar kita tidak saling menyalahkan,” katanya.

 

Puluhan armada kapal ikan berlabuh di Pulau Rhun, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Foto : Nurdin Tubaka/Mongabay Indonesia

 

Dulu juga, lanjutnya, ada kapal-kapal penampung yang siap memobilisasi ikan-ikan ke Ambon dan daerah lain. Misalnya, kalau penampung di Banda penuh, nelayan di sana mengirim ikan lewat kapal penampung tersebut.

Sementara saat ini, jalur logistik antar pulau juga tidak jalan, sehingga tertumpuk di Banda, dan harus menunggu jadwal kapal untuk mengirim ikan-ikan itu. Jika kian hari tertumpuk, ikan akan terbuang percuma.

Dia mengatakan, beberapa kasus di lapangan, saat musim tangkap, nelayan mengambil semua jenis ikan, tanpa memperhitungkan industri di darat mampu menampung atau tidak.

Meminimalisir supaya ikan tidak terbuang percuma, dia menawarkan beberapa alternatif. Pertama, harus ada armada kapal pengangkut yang dapat memobilisasi logistik ke luar Banda. Kedua, jika industri sudah penuh maka dibangun industri pengolahan di darat seperti ikan pindang atau ikan asin untuk mengantisipasi hasil tangkap berlebih, agar tidak dibuang ke laut.

Solusi yang lain yakni harus membuat tata kelola penangkapan ikan. Artinya, semua kapal tangkap yang ada di Pulau Rhun harus diatur operasionalnya. Dengan begitu, daya tangkap akan terbatas dan bisa memenuhi standar industri yang ada di darat.

“Kita harus berfikir lebih agar nelayan tidak asal tangkap. Kan kasihan kalau dibuang, sedangkan sisi lain, sistem rantai makanan berjalan. Yang ditangkap pelagis-pelagis kecil, sementara dia umpan ikan besar,” katanya.

Dia menambahkan, sesuai data yang dimiliki jumlah alat tangkap nasional yang punya izin dari pemerintah pusat untuk  semua WPP per Februari 2019, mencapai 4006 kapal. Dan itu didominasi oleh purse seine, sekitar 1.500 lebih.

 

Exit mobile version