Mongabay.co.id

Erupsi Gunung Api Ile Lewotolok di Lembata. Bagaimana Mitigasi dan Dampaknya?

 

Bencana erupsi Gunung Api Ile Lewotolok di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak pertama terjadi Jumat (27/11/2020) menyebabkan ribuan orang mengungsi.

Warga dari kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur dievakuasi ke posko pengungsian yang disiapkan pemerintah di Kota Lewoleba serta banyak yang mengungsi secara mandiri.

Sejak Kamis, 3 Desember 2020, atas Instruksi Presiden Republik Indonesia kepada Bupati Lembata melalui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tanggal 2 Desember 2020, ditetapkan desa-desa yang masuk zona merah dan zona merah muda.

Desa yang masuk zona merah meliputi Desa Waowala, Tanjung Batu, Amakaka, Lamawara, Bungamuda, Napasabok, Lamagute, Waimatan, Aulesa, Lamaau, Baolaliduli, Lamawolo, Jontona dan Todanara.

Desa yang masuk zona merah muda meliputi Desa Watodiri, Muruona, Laranwutun, Kolontobo, Petuntawa, Riang Bao, Beutaran, Tagawiti, Dulitukan, Kewakatehak dan Kolipadan.

Pada zona merah, semua kepala desa diinstruksikan untuk mendata dan mengevakuasi warga ke posko induk dibantu oleh TNI. Sementara pada zona merah muda dilakukan pendataan dan masyarakat dihimbau tetap waspada dan siaga sebab apabila kondisi memburuk akan dilakukan evakuasi

Data BPS Kabupaten Lembata tahun 2019 menyebutkan jumlah penduduk Kecamatan Ile Ape sebanyak 12.460 orang dan Ile Ape Timur 5.039 orang.

baca : Letusan Gunung Berapi Purba Picu Kepunahan Massal di Bumi

 

Kondisi Gunung Api Ile Lewotolok di Kabupaten Lembata,NTT saat erupsi di malam hari. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Terpecah Pemahaman

Kepala Desa Waimatan, Kecamatan Ile Ape Timur, Onesimus Sili Betekeneng kepada Mongabay Indonesia, Rabu (2/12/2020) malam di posko pengungsian bekas kantor Bupati Lembata bercerita saat erupsi Jumat (27/11/2020) terjadi hujan pasir di desanya. Konsentrasi warga terbelah dan timbul dua opsi di masyarakat. Anak-anak muda meminta warga harus waspada namun orang tua mengatakan ini Muo istilah adat yang mengatakan ini pertanda akan ada hasil panen melimpah.

“Malamnya terjadi  gemuruh namun karena musim hujan warga  berpikir bunyi guntur. Situasi di kampung, Sabtu (28/11/2020) sunyi sekali, situasi mencekam,” ungkapnya.

Usai mengikuti ibadat di geraja pada Minggu (29/11/2020) pagi, terdengar letusan besar. Dirinya meminta warga berlindung di bawah atap agar tidak terkena lontaran material abu maupun kerikil.

Onesimus mengakui anak-anak muda yang belum pernah mengalami situasi ini meminta agar warga segera mengungsi. Mereka takutkan gunung Ile Lewotolok akan meletus. Sementara orang tua menganggap ini hal biasa.

Tak lama berselang, camat Ile Ape Timur tiba dan meminta warga berkumpul karena akan dilakukan evakuasi. Meski situasi mencekam, beberapa warga mencari telur ayam dan meminta tetua adat membuat ritual.

“Kami meminta tetua adat untuk membuat ritual adat. Sebab jika ada erupsi dan kami mengungsi maka leluhur pun ikut dengan kami ke lokasi pengungsian dan menjaga kami karena kami hanya pergi sementara waktu dan akan kembali lagi,” ucapnya.

Onesimus melanjutkan, Senin (30/11/2020) dirinya kembali ke kampung dan meminta tetua adat kembali membuat ritual adat. Babi pun disembelih guna memberi persembahan kepada alam dan leluhur.

baca juga : Letusan Gunung Api Bawah Laut ini Ungkap Fenomena Alam

 

Kondisi Gunung Api Ile Lewotolok di Kabupaten Lembata, NTT saat erupsi awal Desember 2020. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ia menyebutkan setelah membuat ritual adat, warga desa mengaku ada kekuatan dan entah kenapa letusan pun mulai sedikit reda. Saat ke pantai pihaknya melihat ikan-ikan merapat ke pesisir pantai. Mereka pun menebar jaring dan mendapatkan 3 ember besar ikan.

Dirinya mengaku, pihak LSM dan pemerintah memang selalu melakukan sosialisasi dan edukasi soal bencana erupsi gunung api dan dampaknya termasuk adanya tsunami.

Dalam sosialisasi dikatakan kalau tsunami warga harus lari ke gunung. Sementara saat erupsi warga harus lari ke pantai dan berlindung di bawah bangunan agar tidak terkena lontaran material hasil erupsi.

“Makanya warga juga bingung saat terjadi erupsi kemarin. Mau lari ke laut takut terjadi tsunami, mau lari ke gunung takut terkena material letusan. Saya juga jadinya serba salah sehingga mengumpukan warga di gereja agar bisa dievakuasi,” ucapnya.

 

Dampak Material Vulkanik

Staf  Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung, Ugan Boyson Saing saat ditemui Mongabay Indonesia di pos pemantau Gunung Api Ile Lewotolok memaparkan situasi gunung berapi tersebut.

Uga mengatakan bulan September 2017 terjadi peningkatan kegempaan sejak pertengahan hingga awal Oktober 2020. Kondisi ini berujung dinaikan statusnya dari level normal menjadi waspada tanggal 7 Oktober 2020. Kurun waktu 3 tahun terakhir, kegempaan relatif menurun dan cukup stabil di posisi rendah.

“Tanggal 26 November 2020, malam hari ada gempa vulkanik yang beruntun dan tidak lama setelah itu (Jumat) 27 November pukul 05.57 WITA terjadi erupsi pembuka. Karena sudah lama tidak terjadi erupsi sehingga ada semacam sumbatan di kawah dan dibuka saat erupsi awal ini dengan ketinggian sekitar 500 meter di atas puncak,” terangnya.

Uga melanjutkan, setelah itu kegempaan meningkat cukup drastis dan energinya dilepaskan saat terjadi erupsi besar tanggal (Minggu) 29 November pukul 09.45 WITA. Dengan durasi sekitar 10 menit dengan ketinggian kolom erupsi sekitar 4.000 meter di atas puncak.

Menarik dibaca : Bagaimana Jika Kawah Gunung Berapi Jadi Tempat Membakar Sampah?

 

Kondisi Gunung Api Ile Lewotolok pada bulan Mei 2019 dilihat dari Desa Lamatokan, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Ia menyebutkan erupsi besar ini mengakibatkan lontaran material vulkanik berupa pasir, abu dan kerikil kecil sejauh sekitar 4 km dari puncak gunung dan bisa dilihat di arah barat Desa Amakaka.

“Produk erupsi berupa abu dan pasir mengandung silika dimana sifatnya tajam seperti kaca sehingga untuk manusia bisa menyebabkan iritasi pada mata bila terpapar. Pada saluran pernapasan bisa menyebabkan gangguan saluran pernapasan,” terangnya.

Uga menekankan seharusnya pada saat terjadi erupsi dan ada abu di pemukiman, masyarakat harus menggunakan pelindung mata dan masker.

Menurutnya bila intensitas hujan yang semakin tinggi dapat mendinginkan material panas di bagian puncak sehingga radiasi panas di puncak bisa diredam.

Saat curah hujan tinggi, dikhawatirkan akan terjadi banjir lahar dari air hujan yang mengikis material letusan yang tersebar di tubuh gunung dan akan bermuara ke lembah atau sungai.

“Masyarakat dihimbau jangan menyeberangi kali atau sungai karena akan ada banjir lahar dingin. Produk erupsi yang dilontarkan akan kontak dengan air hujan sehingga terbawa air,” sebutnya.

Wakil Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday kepada Mongabay Indonesia juga mengaku pemerintah telah menghimbau masyarakat untuk menjauh dan dalam radius 4 km harus mengungsi.

Thomas mengatakan masyarakat juga dihimbau mengenakan kaca mata dan masker pelindung saat ke luar gedung atau rumah. Ia sebutkan meski sudah diungsikan masih ada beberapa warga terutama orang tua bertahan di kampung.

“Saat terjadi hujan batu, baru terjadi kepanikan yang luar biasa terutama di kalangan anak muda. Tetapi bagi orang-orang tua sudah dianggap hal biasa karena pernah mengalaminya,” ucapnya.

Thomas yang juga berasal dari Ile Ape menyebutkan masyarakat memang sangat menyatu dengan alam. Bahkan masyarakat masih membuat ritual adat di lereng gunung saat erupsi berlangsung.

Baca juga : 91 Gunung Api Ditemukan di Bawah Lapisan Es Antartika. Ini Kekhawatiran Ilmuwan

 

Banjir lahar dingin yang mengalir ke laut akibat hujan deras yang mengguyur kawah Gunung Api Ile Lewotolok, Kabupaten Lembata, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Mengandung Unsur Hara

Uga menjelaskan abu vulkanik mengandung banyak unsur hara namun butuh waktu masuk ke dalam tanah dan terurai. Butuh waktu untuk pelapukan agar unsur haranya bisa terurai  sehingga akar-akar tanaman bisa mengambil unsur haranya.

Abu vulkanik memang bisa terbawa jauh tergantung arah dan kecepatan angin namun umumnya butiran pasir sejauh 4 km.

Ia katakan kalau pohon sering menerima hujan abu akan membuat bagian daun gugur. Daun pun tidak bisa berfotosintesis karena tertutup debu tetapi kalau hanya sekali tidak terlalu berpengaruh karena bisa tertiup angin.

“Saat hujan abu masyarakat jangan ke luar rumah dan sumber-sumber air ditutup karena banyak unsur vulkanik yang berbahaya terhadap manusia. Warga jangan terpancing dengan isu-isu dan panik berlebihan serta mematuhi rekomendasi dari PVMBG,” sarannya.

Onesimus mengatakan saat mengungsi pihaknya hanya sempat menutup tiga sumur air di desanya yang biasa dipergunakan untuk minum. Sementara 2 sumur lainnya untuk mandi, mencuci dan lainnya tidak ditutup sehingga perlu dibersihkan sebelum dipergunakan kembali.

 

Exit mobile version