Para ilmuwan yakin, sesuatu yang aneh telah terjadi ketika mereka mendapat laporan mengenai sebuah batu apung yang mengambang dekat perairan Selandia Baru, 2012 lalu. Saat itu, para peneliti menyimpulkan batu tersebut berasal dari material letusan gunung berapi bawah laut.
Batu tersebut akhirnya tumbuh hingga 240 kilometer persegi, yang mengingatkan kita akan sisa-sisa letusan gunung berapi bawah laut terbesar abad ke-20 atau ke-21, yang bahkan lebih besar dari Gunung St. Helens, di Amerika.
Letusan tersebut bersumber dari Gunung Havre, gunung bawah laut. Gunung yang lokasinya berada di White Island, Selandia Baru, ini ditemukan pertama kali pada 2002. Letaknya 1.600 meter di bawah permukaan laut.
Letusannya pada 2012 adalah yang terbesar dalam sejarah moderen, dan satu dari sedikit ledakan bawah laut yang tercatat, melibatkan magma riolit. Tanda ini dikenali dari bebatuan bekas letusan yang mengapung di laut, terpantau dari citra satelit. Namun, kompleksitas kejadiannya tersembunyi.
Ketika peneliti benar-benar mengunjungi Havre, yang mereka temukan tidak seperti harapan awal. Alih-alih berupa letusan seperti letusan Krakatau, yang mereka dapati adalah tanda-tanda arus lava bergerak lambat. Tim riset kemudian menyadari bahwa data-data gunung api bahwa laut, menjadi tak sepenuhnya benar.
“Ini sering terjadi pada pekerjaan di laut dalam,” kata penulis studi Adam Soule dari Woods Hole Oceanographic Institution sebagaimana dilansir dari Gizmodo. “Kami telah memiliki data-data untuk penelitian tentang apa yang akan kami temukan, tapi ketika kami lihat sendiri gunung tersebut, kami merasakan apa yang telah terjadi.”
Sebenarnya, tidak banyak data tentang gunung berapi bawah laut ini, terutama informasi yang diambil setelah letusan terjadi. Kuantitas batu mengambang itu, atau batu apung, menyiratkan adanya ledakan di masa lalu. Tim peneliti dari Australia, Selandia Baru, dan AS, yang dipimpin oleh Rebecca Carey dari Universitas Tasmania di Australia, mengirim robot bawah laut Sentry dan Jason untuk memetakan daerah tersebut. Pengoperasiannya dari jarak jauh, untuk mengamati dan mengumpulkan bahan vulkanik.
Ketika keduanya tiba di lokasi, mereka melihat tanda-tanda lava yang mengalir, begitu pula kubah magma yang menumpuk di sekitar tanda-tanda erupsi yang tidak eksplosif. “Kemungkinan besar, ini adalah letusan yang terjadi pada tekanan tinggi di di bawah laut dalam,” kata Soule.
Peneliti menemukan, letusan tersebut berasal dari pecahan besar dan aliran lava berasal dari 14 lubang berbeda. Mereka juga menemukan area gunung api tersebut terdiri dari bagian yang mulus dan kasar. Batuan-batuan juga ditemukan tersebar di dalam kaldera ukuran besar. Batuan tersebut tersusun rapi seperti menara.
Hasil penelitian ini membuktikan, ada banyak hal yang tidak kita ketahui tentang gunung berapi laut, yang mengalirkan 70 persen magma bumi ke luar. Penjelasan ini sebagaimana yang ditulis dalam Jurnal Science Advances terbitan 10 Januari 2018.
“Kami tahu, erupsi Gunung Havre ini memiliki skala besar, terbesar yang pernah kami lihat di daratan selama abad ke-20,” jelas vulkanolog dari Universitas Tasmania Australia, Rebecca Carey, dikutip dari situs Stuff.
Carey mengatakan, 80 persen gunung api berada di dasar laut. Penelitian mengenai erupsinya sangat jarang dan sulit ditemukan karena material yang dikeluarkan terbawa arus laut. Tidak banyak yang kembali ke lokasi gunung api.
Inilah satu-satunya penelitian yang dilakukan tak lama setelah sebuah letusan terjadi. Bahkan, dengan pengamatan terakhir ini, kita disuguhkan tambahan-tambahan pertanyaan. Mengapa beberapa batuan sisa ledakan mengambang di lautan, dan yang lainnya tenggelam? Bagaimana kedalaman air mempengaruhi perilaku gunung berapi bawah laut?
Dalam jurnal tersebut juga disebutkan kemungkinan letusan gunung berapi bawah laut yang eksplosif. Namun, ledakannya berbeda dari yang selama ini kita lihat di daratan. Dengan semua sains dan misteri yang dikumpulkan para ilmuwan tetap saja terkesan. “Ini benar-benar luar biasa,” jelas Soule. (Berbagai sumber)