Mongabay.co.id

Aceh Banjir Lagi, Rusaknya Hutan Masih Jadi Sorotan

 

 

Banjir melanda sejumlah wilayah kabupaten/kota di Provinsi Aceh, sejak 2 Desember 2020. Dua daerah yang paling parah terdampak adalah Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Aceh [BPBA], di Kabupaten Aceh Timur banjir merendam 285 desa di 19 kecamatan. Ketinggian air mulai dari 30 sampai 200 sentimeter.

“Seorang remaja di Kecamatan Nurussalam, Kabupaten Aceh Timur, bernama Lia Rahmadani [14] meninggal dunia terseret air,” terang Kepala BPBA, Sunawardi, baru-baru ini.

Menurut BPBA, banjir di Aceh Timur yang terjadi sejak 2 Desember 2020, menyebabkan 21.397 masyarakat atau 6.969 kepala keluarga mengungsi. Masyarakat yang terdampak mencapai 86.724 jiwa [25.641 kepala keluarga].

“Sebanyak 16 rumah masyarakat dan 4 jembatan di Aceh Timur rusak berat. Saat ini air berangsur surut, sebagian masyarakat juga telah pulang ke rumah dari tempat pengungsian,” sebut Sunawardi.

Baca: Aceh Tengah Banjir Bandang, Walhi: Kembalikan Fungsi Hutan Sebagaimana Mestinya

 

Banjir yang terjadi di Aceh harus dilakukan antisipasi pencegahan, bukan baru direspon saat terjadi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sementara di Kabupaten Aceh Utara, banjir akibat curah hujan tinggi yang menyebabkan beberapa sungai meluap, menyebabkan empat masyarakat meninggal dunia, terseret air.

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Aceh Utara, Amir Hamzah mengatakan, banjir terjadi di 267 desa, di 26 kecamatan, dengan rumah yang terendam mencapai 21.600 unit.

Jumlah masyarakat mengungsi mencapai 61.064 jiwa atau 19.225 kepala keluarga. “Saat ini air berangsur surut dan sejumlah masyarakat sudah kembali ke rumahnya,” terang Amir.

Baca: Catatan Klimatologi untuk Banjir Besar di Banda Aceh

 

Banjir bandang yang melanda Aceh Tengah pada pertengahan Mei 2020. Foto: Istimewa/Badan Nasional Penanggulangan Bencana

 

Persoalan klasik

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh berpendapat, banjir di Aceh adalah persoalan klasik yang baru direspon saat kejadian. Sementara pencegahan sering diabaikan semua pihak.

“Banjir di Aceh Timur dan Aceh Utara akibat curah hujan tinggi dan sejumlah sungai meluap. Itu terjadi akibat perubahan dan alih fungsi hutan,” jelas Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur.

Alih fungsi hutan akibat illegal logging, perambahan untuk perkebunan, serta dijadikan areal pertambangan. “Aceh Timur, Aceh Utara serta Bener Meriah merupakan daerah yang tinggi alih fungsi hutannya. Terutama perambahan dan pembalakan.”

Baca: Banjir di Masa Pandemi, Antisipasi Diperlukan Sebelum Bencana Datang

 

Jalan tambang yang telah merusak kelestarian hutan Beutong, Nagan Raya, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Catatan Walhi Aceh, penyebab tingginya kegiatan ilegal kehutanan karena dibukanya akses ke hutan, seperti pembangunan jalan yang membelah kawasan hutan. “Ini adalah risiko yang harus ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah karena perilaku merusak hutan.”

Muhammad Nur mengajak semua pihak, jangan hanya merespon bencana saat terjadi, tapi mencegah yang jauh lebih penting.

“Luas tutupan hutan Aceh menyusut setiap tahun. Jika hal ini dibiarkan, masyarakat akan terus menerima dampaknya dan pemerintah harus mengeluarkan anggaran penanggulangan bencana, yang harusnya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lain.”

Hasil perhitungan tim Geographic Information System [GIS] Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] tahun 2019 menunjukkan, Kabupaten Aceh Utara kehilangan tutupan hutan mencapai 1.815 hektar. Berikutnya, Kabupaten Aceh Timur [1.547 hektar], Kabupaten Aceh Tengah [1.924 hektar], dan Bener Meriah mencapai 951 hektar.

Baca juga: Aceh Kehilangan Tutupan Hutan, HAkA: Sehari 41 Hektar 

 

Penebangan liar di Lamteuba, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Fungsi penting pohon

Pakar bencana dan peneliti di Tsunami and Disaster Mitigation Research Center [TDMRC] Aceh yang juga Dosen Universitas Syiah Kuala, Ibnu Rusydy dalam catatannya menjelaskan, sistem hidrologi, hutan, dan bencana merupakan elemen yang saling berkaitan.

“Siklus hidrologi yang terjadi di bumi dimotori panasnya sinar matahari yang menyebabkan air di daratan dan laut menguap, naik ke atmosfer. Kemudian, menjadi awan jenuh dengan uap air yang kemudian jatuh balik ke bumi, berupa hujan dan salju.”

Menurut Ibnu Rusydy, hujan yang jatuh ke bumi di hutan, ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Sebagian mengalir di atas permukaan sebagai run-off dan sebagian lain hampir tidak meresap ke dalam tanah kerena segera diserap oleh akar-akar pohon. Sebagian lainnya masuk lebih dalam menjadi air tanah.

“Air yang mengalir sebagai run-off nantinya menuju sungai-sungai dan danau. Air yang ada di sungai dan danau kembali menguap karena pemanasan sinar matahari. Air yang sebelumnya diserapkan akar-akar pohon juga akan diuapkan kembali ke atmosfer oleh daun-daun dalam proses transpirasi.”

Siklus yang sungguh kompleks ini menjadi sebuah sistem hidrologi yang dijalankan sendiri oleh alam. “Pohon di hutan berfungsi sebagai pompa air raksasa alami yang ada di alam, bekerja 24 jam tanpa perlu dibayar dan tanpa harus diisi bahan bakar.”

Pohon juga berfungsi menahan tanah agar tidak tergerus air. Akar-akarnya menancap beberapa meter di dalam tanah, membuat pohon layak dikatakan sebagai paku-paku bukit yang menahan tanah.

“Alih fungsi hutan berakibat pada terganggunya sistem hidrologi yang selama ini ada,” ungkapnya.

Baca juga: Pembangunan PLTA Jambo Aye di Hutan Leuser Masih Bermasalah

 

Jalan Jantho – Lamno yang membelah hutan Ulu Masen wilayah Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Jaya, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hasil perhitungan yang pernah dilakukan, sambung Ibnu Rusydy, menunjukkan ketika satu pohon ditebang, akar pohon tersebut akan mati. Humus kehilangan penahan, lapisan tanah setebal 1-1,5 meter.

“Perhitungannya, apabila satu meter persegi hutan dihilangkan, dalam satu tahun akan ada 1.000 liter air mengalir bebas karena tidak diuapkan pohon. Banyangkan, apabila 55.000 hektar hutan dihilangkan atau dialihkanfungsikan, akan ada lebih-kurang 550 juta meter kubik  atau 550 miliar liter air mengalir bebas karena tidak lagi diserap akar dan diuapkan oleh daun-daun,” hitung Ibnu.

Kejadian lain akibat terganggunya sistem hidrologi adalah terkikisnya tanah-tanah di sepanjang lereng yang selanjutnya terbawa ke aliran sungai. Akibatnya, terjadi sedimentasi sungai yang menyebabkan pedangkalan sungai.

“Ketika sungai dangkal dan intensitas hujan meningkat, airnya akan meluap dan terjadilah banjir.”

Terkikisnya tanah di sepanjang lereng juga bisa menyebabkan bencana tanah longsor.

“Tanah di sepanjang lereng sudah jenuh air hujan, sehingga daya ikat antar-butir tanah berkurang dan berat tanah semakin bertambah. Ketika lereng sudah tidak sanggup menahan beban terjadilah longsor. Andai di sepanjang lereng masih ada pohon-pohon, tentunya lereng tetap stabil,” jelas pengajar Geologi itu.

 

 

Exit mobile version