Mongabay.co.id

Menimbang Dampak UU Omnibus Law terhadap Masyarakat Adat

 

Undang-undang No.11/2020 tentang  Cipta Kerja alias omnibus law yang disahkan beberapa waktu lalu menjadi ancaman berbagai sektor termasuk bagi masyarakat adat. Beberapa aturan dalam undang-undang itu dianggap lebih mementingkan investasi dan di sisi lain tidak memberi ruang bagi masyarakat adat. Belum lagi ketidakpastian UU ini yang terus berubah-ubah sejak ditetapkan.

“Kecurigaan beberapa draf sebelumnya itu tentang pembatasan penerapan kearifan tradisional dalam berladang dengan cara membakar misalnya, ternyata di draf sebelumnya hilang sekarang masih ada, tidak dihilangkan. Secara umum saya melihat bahwa omnibus law itu mempermudah investasi, tetapi di sisi lain masih mengamini suatu prosedur yang sulit untuk penetapan hak masyarakat adat,” ungkap Erasmus Cahyadi, Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam diskusi daring yang dilaksanakan oleh the Society of Environmental Journalists (SIEJ) simpul Kalimantan Barat, Sabtu (21/11/2020).

Erasmus juga menilai omnibus law melanggengkan kriminalisasi, kekerasan dan perampasan wilayah adat.

“Ada gagasan utamanya adalah diskriminasi perlakuan terhadap investasi dan masyarakat adat. Investasi dimudahkan sementara pengakuan hak masyarakat adat sulit. Kalau kita melihat case UU omnibus law, misalnya pasal 19 ayat 2, sektor kehutanan itu, persetujuan DPR itu dihapus. Berimplikasi pada tidak ada lagi ruang bagi masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berpengaruh luas terhadap kehidupan mereka,” tambahnya.

Erasmus lalu menyoroti pasal 67 ayat 2 undang-undang ini terkait pengaturan pengakuan masyarakat adat melalui peraturan daerah yang tak diubah dari sebelumnya.

“Ini bermasalah, karena selama ini pasal inilah yang menyulitkan proses-proses pengakuan masyarakat adat itu. Jadi ada suatu persepsi di kalangan birokrat bahwa yang membuat masyarakat adat itu adalah peraturan daerah, jadi kalau tidak ada peraturan daerah maka tidak ada masyarakat adat.”

baca : Mengapa UU Cipta Kerja Berpotensi Timbulkan Masalah Agraria?

 

Maman Sajao, Kuncen Adat Kampung, mengatar para penziarah masuk kawasan hutan karamat (keramat) di Kampung Adat Kuta, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, awal Juli 2020. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ia juga menilai pengakuan melalui Perda adalah suatu proses politik yang tidak sungguh-sungguh mencerminkan realitas faktual di lapangan.

“Masyarakatnya boleh ada memenuhi semua kriteria tapi belum tentu dikukuhkan karena pertimbangan politik ekonomi yang menjadi dasar dalam penyusunan perda,” katanya.

Pasal lain yang disoroti adalah pasal 29 terkait pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan dengan perhutanan sosial.

“Ini kelihatan baik, bisa dibuat perhutanan sosial di sana. Tetapi untuk konteks masyarakat adat ini sebetulnya berisiko karena pertanyaan dasarnya bagaimana itu disebut wilayah adat karena proses sebelumnya boleh diakui, dan di atasnya kemudian ditaruh pemanfaatan hutan lindung namun dengan terma perhutanan sosial.”

Menurutnya, ide perhutanan sosial bukan hal yang radikal karena ide ini menerima asumsi bahwa semua tanah itu adalah tanah penguasaan negara. Sementara Putusan MK No.35/2012 mengatakan bahwa putusan Negara atas ruang hidup masyarakat adat yang disebut dengan sebutan adat itu ilegal.

“Hubungannya di situ. Bedanya dengan hutan adat adalah pengakuan hak sementara perhutanan adalah pemberian hak. Jadi itu hak negara.”

Sorotan lain terkait pasal 50 terkait pelanggaran tinggal di kawasan hutan paling singkat lima tahun. Ini dinilai bermasalah bagi masyarakat adat, misalnya untuk Orang Rimba, yang bisa berpindah-pindah. Ketika mereka kembali ke lahan semula tak bisa menunjukkan bahwa mereka telah menguasai atau tinggal di situ selama 5 tahun berturut-turut.

“Ada banyak masyarakat adat yang menganut sistem perladangan berpindah akan dikenai dengan pasal ini,” tambahnya.

baca juga : Kala Organisasi Masyarakat Sipil Ramai-ramai Gugat UU Cipta Kerja

 

Masyarakat Adat Kaluppini di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan sedang mengadakan ritual adat. Di masyarakat adat tumbuh adat dan hukum-hukum adat yang semakin lemah seiring dengan masifnya kampanye hukum nasional. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Erasmus selanjutnya menilai pasal-pasal yang diatur dalam UU Cipta Kerja ini yang berangkat dari UU No.18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Lingkungan (P3H) masih meneruskan ide tentang kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

“Saya masih ingat persis ketika UU P3H ini dibuat kami berkonsultasi di DPR yang menjanjikan bahwa pasal-pasal ini sebetulnya ditujukan kepada kejahatan yang terorganisir. Tetapi faktanya tidak begitu. Sudah lebih 50 orang selama perjalanan UU ini yang dipenjara karena pasal karet ini.”

Menurut Erasmus saat ini wilayah adat sebagai ruang hidup masyarakat adat hanya 20 persen yang dikuasai masyarakat adat, sementara sisanya dikuasai kawasan hutan dan investor.

Dari 20 juta hektar wilayah adat terdapat 11 juta hektar yang sudah diverifikasi keanggotaannya, yang berarti memenuhi kriteria sebagai masyarakat adat. Dari 11 juta ini kurang dari 20 persen penguasaan langsung oleh masyarakat. Sementara 80 persen dikuasai untuk berbagai peruntukan seperti kawasan hutan, berbagai macam investasi seperti perkebunan, tambang, HTI dan lain-lain.

Dari 11 juta hektar ini sebanyak 7,11 juta ha berada di dalam kawasan hutan, 24 persen dibebani izin HPH, HGU, HTI tambang dan lain-lain. Lalu terdapat 76 persen tidak berizin, tetapi dibebani penguasaan kawasan hutan, seperti hutan lindung dan semacamnya.

“Di luar kawasan hutan ada 2,160 ribu ha, 20 persen dibebani izin juga, HGU, HTI, tambang dan lain-lain. 80 persen yang tidak. Tetapi 80 persen ini pun itulah area-area yang menjadi ladang masyarakat, pemukiman dan lain-lain.”

perlu dibaca : Nasib Suram Hutan Negeri, Ada Omnibus Law, Makin Buram

 

Perempuan Suku Moi Kelim di Kabupaten Sorong, Papua Barat sedang menganyam dari bahan yang berada di hutan. Investasi tidak hanya berupa akumulasi modal, upaya masyarakat adat dengan menjaga hutannya dan mengembangkan kearifan lokal dan keserasian hidup itu juga sebuah investasi yang tak ternilai. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Di bagian lain Erasmus menyinggung lemahnya praktik hukum di masyarakat adat karena kampanye berlebihan akan penggunaan hukum nasional. Di sisi lain juga pengetahuan masyarakat dalam mengelola alam itu kadang-kadang dituding sebagai perusak lingkungan.

“Ketimpangan inilah yang kerap menimbulkan konflik, di mana terjadi upaya penguasaan wilayah adat oleh korporasi atau negara dilakukan dengan mengriminalisasi masyarakat adat. Jadi kekerasan terjadi, intimidasi terjadi, pelanggaran HAM terjadi.”

 

Watak Kapitalisme Hukum Negara

Hermansyah, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, menilai ketakberpihakan hukum nasional pada masyarakat adat tak terlepas dari watak kapitalisme yang melekat dalam hukum negara.

“Semua dinilai dengan uang, inilah yang menjadi watak negara ketika ‘bersenggama’ dengan nikmatnya kapitasme maka seperti itu menikmati betul, sehingga hukum yang dikeluarkan dieksploitasi saja, yang penting bisa untung. Cara berpikir watak hukum negara seperti ini saya lihat khusus untuk sumber daya alam,” katanya.

Menurutnya, watak hukum negara tersebut telah mengalienasi kesadaran warga negara, yang kemudian tidak mengerti apa yang dilakukan sehingga bertindak di luar kesadaran dan membuat kebingungan.

“Dalam renungan filosofis saya, sifat watak hukum negara seperti itulah yang sebenarnya mematikan subjektifitas, bagaimana individu memiliki kreativitas berpikir dan memiliki cara pandang sendiri merupakan refleksi dari hubungan yang sangat luas.”

baca juga : Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

 

Hutan adalah sumber kehidupan masyarakat adat Dayak Tomun yang harus dilestarikan. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

Menurutnya, dengan adanya UU ini warga negara tak lebih hanya mesin-mesin produksi saja, yang ketika terganggu akan mengancam akumulasi modal sehingga jalan satu-satunya adalah meredam ini melalui tindakan represif dan pidana.

“Investasi yang mereka pikirkan adakah bagaimana semua itu dilihat dalam perspektif keuntungan sehingga watak yang muncul adalah sebesar apapun mereka diberikan konsesi tetap saja masih kurang karena yang mereka pikirkan masih ada lagi di sana yang ada masyarakat adatnya.”

Ia menilai investasi seharusnya tidak hanya dilihat sebagai akumulasi modal semata.

“Apa yang dilakukan masyarakat adat dengan menjaga hutannya dan mengembangkan kearifan lokal dan keserasian hidup itu juga sebuah investasi yang tak ternilai. Inilah yang harus dijaga dengan baik.” pungkasnya.

 

Exit mobile version