Mongabay.co.id

Memantau Julang Sumba di Taman Nasional Matalawa

 

 

Cahaya pagi matahari masih samar, ketika waktu menunjukkan pukul 06.30 Wita. Bersama Denny Nguru, kawan saya di Komunitas Sumba Wildlife, kami berangkat dari camp menuju pohon sarang burung julang sumba [Rhyticeros everetti].

Lokasi ini, sebelumnya telah kami survei, yaitu di hutan Wara, salah satu blok hutan yang masuk kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwanggi Wanggameti [TN Matalawa], di selatan Pulau Sumba.

Pada kunjungan pertama, Oktober 2020, kami memantau pohon sarang yang digunakan satwa endemis Pulau Sumba ini.

Kedatangan kami yang kedua ini, awal Desember 2020, coba memahami perilaku berkembang biak burung yang memiliki ciri umum memiliki paruh kekuningan dengan kantung leher biru itu. Sekaligus memastikan prediksi, mengenai waktu sang betina menetaskan anaknya, lalu keluar dari pohon sarang tersebut.

Baca: Kharismatik dan Endemik, Burung Ini Penjaga Hutan Sumba

 

Burung julang sumba jantan. Foto: Muhammad Soleh/Sumba Wildlife

 

Kami bersembunyi di balik belukar, di sisi utara pohon sarang, sembari memantau gerak-gerik sang burung di lubang. Sekitar satu jam menanti, akhirnya suara sayap sepasang julang sumba terdengar, melintasi rimbunan pohon yang berada di sekitar kami, lalu bertengger.

Nampak keduanya datang, memantau pohon sarang itu. Tak lama berselang, kejadian luar biasa tampak di depan mata kami. Seekor anakan julang sumba mengeluarkan paruh kecilnya dari lubang sarang. Terlihat bulu di kepala berwarna cokelat, menandakan ia seekor jantan.

Dalam keadaan senyap saya bergegas memotret, coba mengabadikan momen langka tersebut.

“Dapat?” tanya Denny Nguru. Saya menganggukkan kepala dengan senyum sumringah. Baru kali ini saya menyaksikan langsung perawakan anak julang sumba.

Kami perkirakan, usianya baru tiga pekan. Sebab, kedatangan terakhir kami saat sang betina masih berada dalam sarangnya. Bahagia, generasi baru burung penabur biji hutan di Pulau Sumba bertambah.

Baca: Julang Sumba: Mengapa Jenis ini Ada di Kepulauan Nusa Tenggara?

 

Julang sumba jantan tengah memberi makan kepada anaknya yang berada di lubang sarang. Foto: Muhammad Soleh/Sumba Wildlife

 

Perilaku di pohon sarang

Pohon sarang yang menjadi objek pengamatan kami adalah jenis marra [Tetrameles nudiflora], dengan tinggi sekitar 18 meter. Pohon ini umumnya dapat ditemukan pada berbagai tipe hutan di Pulau Sumba. Namun saat ini, hanya di kawasan hutan TN Matalawa yang masih dalam kondisi baik, terlebih untuk dijadikan sarang julang sumba.

Fragmentasi hutan masa lalu, menyisakan sedikit tutupan hutan di Pulau Sumba. A. F. Sitompul et al dalam Size matters: the effects of forest fragmentation and resource availability on the endemic Sumba Hornbill [2004], menuliskan sejak 1927, hilangnya hutan di Sumba rata-rata 6.000 ha/tahun. Kondisi ini menyebabkan hilangnya lebih dari 60% tutupan hutan Sumba keseluruhan [halaman 24].

Baca: Kangkareng Sulawesi, Jenis Istimewa yang Hanya Ada di Indonesia

 

Betina julang sumba yang selama merawat anaknya ikut berada di lubang sarang. Foto: Muhammad Soleh/Sumba Wildlife

 

Bagi julang sumba, lubang alami pohon marra berfungsi sebagai rumah sementara bagi sang betina dan anaknya yang baru lahir, untuk menunggu hingga bisa terbang. Sang pejantan lah yang bertanggung jawab menyediakan pakan saat pasangan dan anaknya berada di sarang tersebut.

Oleh sebab itu, bila pejantan mati akibat diburu tentunya akan memutuskan suplai makanan, membahayakan siklus reproduksi pasangan julang sumba selama masa berkembang biak.

Ketika sang anak mulai tumbuh bulu, induknya akan keluar sarang, membantu pasanganya mencari pakan untuk anak mereka.

Foto: Rangkong, Burung Sakti Penebar Biji

 

Anakan julang sumba yang berada di lubang sarang, menanti makanan yang diberikan induknya. Muhammad Soleh/Sumba Wildlife

 

Kebutuhan pakan

Kantung di leher julang sumba berfungsi menyimpan makanan yang akan diberikan kepada sang anak. Pakan yang disajikan berupa buah, sebagian besar berasal dari keluarga Moraceae dan Meliaceae seperti manera [Aglia eusiderexylon] dan gondang putih atau kapulut [Ficus variegata].

Hasil monitoring yang kami lakukan di pohon sarang menunjukkan, selain buah, beberapa makanan tambahan yang diberikan sebagai santapan adalah lipan/kelabang [Chilopoda] dan katak pohon [Litoria everetti].

Ketersediaan pakan beserta kebutuhan pohon sarang untuk julang sumba tentu saja menjadi tantangan utama untuk proses berkembang biak. Mungkin saja, hanya satu atau dua pasang yang bisa berbiak di suatu periode musim kawin karena ketersediaan pohon sarang yang terbatas.

Belum lagi, jenis ini harus berkompetisi dengan burung-burung keluarga paruh bengkok [Psittacidae] yang menghuni Pulau Sumba dalam perebutan kebutuhan pohon sarang.

Untuk itu, sangatlah penting menjadikan julang sumba sebagai benteng terakhir upaya konservasi, mengingat perannya sebagai penebar biji di hutan.

Baca juga: Wallacea Adalah Sepenggal Surga di Bumi

 

epasang julang sumba bertengger di sebuah pohon. Burung ini penganut monogami alias setia pada pasangannya. Foto: Heri Andri/TN Matalawa]

 

Berdasarkan kriteria keterancaman global dari badan konservasi dunia, International Union for Conservation of Nature [IUCN], julang sumba berstatus Rentan [Vulnerable/VU]. Populasinya di alam saat ini diperkirakan sekitar 4 ribu individu dewasa yang mengalami penurunan.

Julang sumba merupakan satwa dilindungi di Indonesia berdasarkan Pemerintah melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Selain itu, berdasarkan Surat Keputusan Dirjen KSDAE Nomor: SK. 180/IV-KKH/2015 burung ini masuk dalam 25 Spesies terancam punah yang diprioritaskan meningkat populasinya sebesar 10 persen tahun 2019, sesuai kondisi biologis dan ketersediaan habitat.

 

* Muhammad Soleh, pegiat konservasi di komunitas Sumba Wildlife.

 

 

Exit mobile version