Mongabay.co.id

Bioplastik: Si Pencegah Mikroplastik Terkini

 

Ketergantungan manusia pada penggunaan bahan plastik dalam setiap aspek kehidupan, memicu terus meningkatnya produksi sampah plastik di darat dan berakhir di laut. Akibatnya, pada usus 90 persen burung laut dunia ditemukan sampah plastik yang akan membahayakan nyawa satwa tersebut.

Selain pada burung, ancaman sampah plastik yang ada di laut juga mengakibatkan satwa laut lainnya harus menerima akibatnya. Setidaknya, dari hasil penelitian juga diketahui kalau pada perut dari lebih setengah penyu dan biota laut lainnya, juga ditemukan diduga kuat tersimpan sampah plastik.

Kepala Badan Riset, Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP KKP) Sjarief Widjaja menjelaskan, penggunaan plastik pada masa sekarang akan sulit dihindari. Di semua aspek kehidupan, plastik selalu dibutuhkan penggunaannya.

“Selama setengah abad, plastik telah menjadi bahan yang paling umum digunakan untuk gelas, botol, dan wadah makanan. Namun demikian, penggunaannya telah menyebabkan masalah kesehatan dan lingkungan yang besar,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

baca : LIPI Teliti Limbah Tandan Sawit jadi Plastik Ramah Lingkungan

 

Contoh botol dari bioplastik. Foto : thedieline.com

 

Menurut dia, bahan kimia yang ditemukan pada banyak bahan plastik konvensional diketahui tidak hanya berbahaya bagi kesehatan manusia saja. Lebih dari itu, plastik juga membahayakan kesehatan hewan, terutama hewan liar yang memakan plastik.

Agar persoalan tersebut tidak terus bertambah parah, saat ini KKP sudah melaksanakan penelitian untuk mencari alternatif pengganti plastik konvensional yang sekarang ada. Bahan pengganti tersebut diketahui adalah bioplastik dan terbuat dari bahan yang aman dan ramah lingkungan.

Sjarief menjelaskan, dari hasil penelitian yang sudah dilakukan banyak ilmuwan dunia, bioplastik terbuat dari bahan biologi atau biomassa seperti minyak kedelai, tebu, tepung jagung, dan kentang. Pemilihan bahan baku tersebut, bertujuan untuk mengurangi penggunaan sumber energi terbarukan.

“Juga mengurangi emisi CO2 (karbondioksida) dan limbah plastik,” tutur dia.

Namun demikian, tidak semua bioplastik yang ada saat ini bisa terurai saat sudah menjadi sampah dan demikian pula tidak semua plastik yang bisa terurai itu adalah jenis bioplastik. Untuk bioplastik yang tidak mudah terurai, itu adalah yang dihasilkan secara kimiawi dengan plastik konvensional.

Selain itu, bioplastik dengan bahan baku dari sumber nabati juga menjadi tantangan tersendiri, karena akan memicu persaingan pemanfaatan dengan produksi pangan. Karenanya, untuk memecahkan persoalan tersebut, KKP memulai penelitian bioplastik dengan bahan baku dari biota laut.

Salah satu bahan baku yang dinilai tepat dari biota laut, adalah serat alami yang dibuat dari kelompok krustasea seperti rajungan atau udang, cangkang kepiting, agar-agar, dan karagenan yang dihasilkan oleh mikroalga laut.

“Itu semua merupakan sumber potensial bioplastik, namun masih sangat jarang dibahas,” jelas dia.

baca juga : Sampah Plastik, Harus Ada Inovasi Pemanfaatannya

 

Gelas bioplastik dari bahan chitosan. Foto : transmaterial.net

 

Bioplastik

Untuk mewujudkan pembuatan bioplastik, bahkan bisa dilaksanakan secara massal, dukungan dari Pemerintah Indonesia sangat dibutuhkan. Selain itu, dukungan dari industri dan ilmuwan juga sama pentingnya karena bisa mendorong penelitian dan pengembangan bioplastik dari biota laut.

Dukungan dari Pemerintah, menurut Sjarief akan datang dengan cepat, karena sudah ada komitmen untuk mengurangi sampah laut hingga 70 persen pada 2025 mendatang sesuai dengan rencana aksi nasional (RAN) pengurangan sampah plastik di laut.

Selain dari komitmen tersebut, Pemerintah juga fokus untuk mengurangi sampah plastik laut melalui kerja sama di tingkat nasional yang bertujuan untuk mengembangkan kebijakan pengurangan dan penanggulangan sampah plastik di laut.

Khusus untuk RAN yang sedang berjalan sekarang, Sjarief berharap bahwa itu bisa menyelesaikan persoalan sampah plastik di laut melalui lima langkah yang menjadi kunci. Di antaranya, adalah peningkatan pengelolaan sampah, mengurangi atau mengganti penggunaan plastik untuk mencegah konsumsi plastik satu juta ton per tahun.

“Mendesain ulang produk dan kemasan plastik untuk digunakan kembali dan didaur ulang, menggandakan tingkat pengumpulan sampah plastik, serta memperluas fasilitas pembuangan sampah,” papar dia.

Sjarief mengatakan, jika rencana yang sudah disebut di atas bisa berjalan dengan baik, maka kerja sama nasional dalam wadah National Plastic Action Partnership (NPAP) akan bisa menjadi representasi dari komitmen Pemerintah Indonesia.

Lewat NPAP, diharapkan pengurangan sampah plastik laut bisa berkurang hingga 70 persen pada 2025, dan kemudian mendekati nol persen pada 2040. Rencana tersebut diharapkan bisa terwujud, karena pada 2040 nanti sebanyak 16 juta ton sampah plastik akan dicegah masuk ke laut.

Bagi BRSDM KP dan KKP, komitmen nasional tersebut menjadi bagian tak terpisahkan. Karenanya, BRSDM KP berinisiatif untuk bergabung ke dalam proyek Plastic Innovation Hub, sebuah kemitraan antara Indonesia dengan Australia yang diinisiasi oleh Kementerian Riset dan Teknologi RI.

Plastic Innovation Hub sendiri direncanakan akan berjalan selama tiga tahun dan menciptakan kemitraan lintas sektor, serta menjadi proyek pertama di dunia untuk mendorong transisi menuju ekonomi nol persen sampah plastik di laut.

perlu dibaca : Bahaya Mikroplastik! Bukan Hanya Ikan, Manusia Juga Terpapar

 

sampah mikroplastik. Foto : legacy.4ocean.com

 

Mikroplastik

Kampanye untuk mengurangi sampah plastik agar tidak berakhir di laut, juga berkaitan erat dengan kampanye mikroplastik. Saat ini, partikel mini berukuran satu mikrometer (µm) hingga lima milimiter (mm) itu sangat berbahaya bagi ekosistem yang ada di laut.

Menurut Peneliti Pusat Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) Dede Falahudin, partikel plastik yang mencemari lingkungan ada beberapa tingkatan, yaitu nanoplastic, microplastic, mesoplastic, macroplastic, dan megaplastic.

Dia mengatakanm mikroplastik yang ada di laut berasal dari sumber primer ataupun sekunder. Untuk primer, itu bisa ditemukan pada microbeads yang ada pada produk lulur mandi, pasta gigi, sabun cuci muka, biji-biji plastik, dan serat-serat kain.

“Umumnya serat kain tekstil ada mikroplastiknya, kecuali 100 persen katun itu natural serat,” sebut dia.

Kemudian, untuk sumber sekunder, itu adalah hasil degradasi dari plastik yang berukuran besar berupa foam ataupun fragmen hasil dari fragmentasi. Contohnya, penggunaan plastik biodegradable saat berbelanja akan menghasilkan mikroplastik.

“Penelitian mikroplastik sangat tren saat ini, mengingat datanya sangat penting,” kata dia.

Data yang dimaksud, contohnya adalah saat mikroplastik digunakan dalam proses pengelolaan lingkungan, maka itu akan memerlukan qualilty control/quality assurance (QC/QA) dan data yang dihasilkan menjadi lebih valid serta terukur.

Dalam melaksanakan penelitian mikroplastik, penting untuk terjamin adanya mutu (QC/QA) agar memudahkan proses penelusuran sumber dan potensi kontaminasi yang bisa mengganggu hasil analisa. Selain itu, ada prosedur baku dan terstandar yang dapat diterapkan dalam penelitian mikroplastik.

“Misalnya pencemaran senyawa POPs (Polutan Organik Persisten), logam berat dan nutrien,” papar dia.

Lebih detail, Dede menerangkan bahwa mikroplastik memiliki beragam jenis polimer, senyawa aditif yang menyertai, sumber asal, ukuran, morfologi, warna dan senyawa pencemar yang dapat terserap dengan mikroplastik. Semua itu membuat proses analisa tidak bisa disederhanakan.

Dede menambahkan, langkah penelitian mikroplastik harus meliputi pengumpulan sampel (sample collection), persiapan sampel (sample preparation), analisa sampel (sample analysis), dan pelaporan data (data reporting).

 

Exit mobile version