Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Konflik dan Lunturnya Kearifan Masyarakat Terhadap Harimau Sumatera

Nama Malelang Jaya diberikan bersadarkan nama tempat harimau betina ini kena jerat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Ngoen gajah bek ta meu plung-plung, ngoen rimoeng bek ta meuseunda.

Ini adalah pantun nasehat masyarakat Aceh yang artinya, jangan berlari dengan gajah dan jangan bercanda dengan harimau.

Yang dimaksud jangan bercanda dengan harimau adalah bukan hanya bercanda langsung saat bertemu harimau di hutan, tapi juga pantangan menyebut nama harimau untuk hal tidak penting.

Itu semua merupakan penghormatan masyarakat Aceh terhadap harimau sumatera. Masyarakat menyakini, harimau tidak akan mengganggu manusia, jika manusia tidak berbuat salah yang bukan hanya kepada harimau, tapi juga kepada alam dan sesama manusia.

“Dulu, kalau harimau turun ke permukiman penduduk, artinya di kampung itu sedang ada masalah. Baik itu pemimpin yang melakukan kesalahan, atau masyarakat yang melanggar aturan,” sebut Syamsuar, masyarakat Pasie Lembang, Kecamatan Kluet Selatan, Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh, Kamis [17/12/2020].

Baca: Malelang Jaya Sudah Kembali ke Habitat Alaminya

 

Malelang Jaya, harimau sumatera yang telah dikembalikan ke habitat aslinya di hutan Terangun, Gayo Lues, Aceh, pada 9 November 2020. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Lelaki yang lahir pada April 1968 ini, punya banyak pengalaman dengan harimau sumatera. Selain karena tempat tinggalnya berbatasan langsung dengan hutan Leuser, dia juga bekerja pada isu penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]. Khususnya, di stasiun penelitian hutan rawa Suaq Belimbing, Kabupaten Aceh Selatan, dan hutan Soraya, Kota Subulussalam.

“Bagi nenek moyang masyarakat Aceh, khususnya masyarakat Aceh Selatan, harimau adalah pertanda. Harimau tidak akan mengganggu manusia, jika manusia tidak berbuat salah.”

Di hutan, sambung Syamsuar, harimau bisa menjadi kawan, selama manusia mampu membaca tanda-tanda keberadaannya, yang merupakan jalur jelajahnya.

“Nenek moyang masyarakat Aceh tidak pernah membunuh hewan yang tidak bisa dimakan, kecuali hewan tersebut sudah menggangu. Bahkan, ular yang masuk ke rumah dilarang dibunuh, hanya diusir atau dipindahkan.”

Dia mengatakan, tanda yang biasa diberikan harimau berupa cakaran kuku. Kalau cakarannya melintang kiri-kanan atau sebaliknya, artinya jalan itu tidak boleh dilewati karena ada harimau. Bila cakarannya mengukuti jalan, artinya boleh dilalui.

Syamsuar juga mengingatkan, di hutan, masyarakat dilarang bercanda. “Itu semua bentuk kearifan masyarakat Aceh untuk menghormati kehidupan sang raja hutan.”

Baca: Jerat Pemburu Kembali Lukai Harimau Sumatera

 

 

Saling menghormati

Hal senada dikatakan Rajuddin [60], warga Desa Bukit Juara, Kecamatan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur. Fungsi penting harimau adalah memangsa babi hutan yang dengan begitu keseimbangan ekosistem hutan seimbang.

Namun kini, setelah hutan perlahan berubah fungsi, babi sering merusak kebun. “Kadang, saat menjaga durian, saya rindu semasa kecil. Bersama kakek, dulu kadang kami mendengar suara harimau yang ternyata secara tidak langsung menjaga kebun kami.”

Tajuddin menambahkan, kakeknya dan masyarakat Aceh dulu, tidak pernah menganggap harimau sebagai ancaman atau terlebih sebagai satwa yang harus diburu.

“Nenek moyang masyarakat Aceh mengangap harimau sebagai sahabat, sebagai teman dan sangat menghormatinya.”

Kepala Desa Malelang Jaya, Kecamatan Terangun, Kabupaten Gayo Lues, Jasman mengatakan, masyarakat Gayo yang tinggal di dataran tinggi Aceh, menganggap harimau sebagai bagian kehidupan mereka.

“Selama ini kami hidup berdampingan dengan satwa liar. Kami menyakini harimau tidak akan menyakiti jika kami tidak mengganggu.”

Jasman menambahkan, terkadang ada harimau datang ke dekat kebun masyarakat. Namun, yang diburu hanya anjing maupun babi hutan, tidak menyerang warga.

Masyarakat Malelang Jaya juga tidak pernah berburu harimau karena satwa terancam punah ini merupakan kekayaan hutan Terangun dan Malelang Jaya.

“Ini kekayaan hutan kami, tidak boleh diganggu. Bahkan, ketika ada harimau terluka, kami melapor ke pihak terkait,” ujarnya.

Dailani, masyarakat Malelang Jaya, Kabupaten Gayo Lues, menyebutkan hal serupa. Saat di hutan atau melakukan perjalanan, dia tidak pernah diganggu harimau.

Dailani masih ingat, saat remaja dia bersama orangtuanya berangkat ke Kabupaten Aceh Barat Daya berjalan kaki, melewati hutan.

“Malam hari, tempat kami istirahat, pernah dilalui harimau. Ayah saya mengatakan, harimau itu melindungi kami, keberadaannya diketahui dari suara dan jejaknya.”

Baca: 3 Tahun Penjara, Hukuman untuk Penjual Kulit Harimau Sumatera di Aceh Timur

 

Begini, kondisi sebelumnya harimau bernama Malelang Jaya yang kena jerat di Desa Malelang Jaya, Kecamatan Terangun, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Foto: Forum Konservasi Leuser

 

Kearifan lokal 

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh, Agus Irianto menuturkan budaya dan kearifan lokal masyarakat Aceh tentang hidup berdampingan dengan satwa liar dilindungi, khususnya harimau sumatera, harus dibangkitkan.

“Mulai terkikis.”

BKSDA Aceh berusaha mengembalikan kearifan lokal ini.

“Salah satu cara menghindari perburuan harimau sumatera adalah dengan mengembalikan budaya yang pernah ada. Yaitu, menjadikan harimau sebagai penanda kehidupan sosial,” ujarnya.

Data BKSDA Aceh menunjukkan, pada 2017 jumlah konflik harimau sumatera dengan manusia tercatat 10 kasus. Berikutnya, pada 2018 [8 kasus], 2019 [18 kasus], dan hingga Juni 2020 [10 kasus].

Daerah yang sering terjadi konflik adalah Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Barat, juga Kota Subulussalam. Umumnya, konflik terjadi akibat harimau memangsa ternak.

“Harimau memiliki jelajah luas dan mencari buruan yang mudah ditangkap. Terkait ternak, kami meminta masyarakat agar tidak lagi melepaskannya di hutan karena memancing hadirnya harimau.”

Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser [FKL] Dedi Yansyah mengatakan, beberapa bulan terakhir tahun 2020, konflik harimau dengan masyarakat meningkat di Kabupaten Aceh Selatan dan Kota Subulussalam.

“Saya melihatnya seperti siklus. Beberapa tahun sebelumnya ditemukan hal serupa, setelah itu turun lagi.”

Dedi mengatakan, jika dilihat usia harimau yang berkonflik, semuanya remaja dan betina. “Kemungkingan, sedang belajar berburu atau mencari wilayah baru yang tidak ada harimau lain.”

Baca juga: Harimau Sumatera Tetap Diburu Meski Statusnya Dilindungi

 

Jerat yang dibersihkan tim patroli FKL di hutan Kawasan Ekosistem Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Ipda Wahyudi, penyidik Subdit IV Tindak Pidana Tertentu Ditreskrimsus Polda Aceh, Senin [21/122020] mengatakan, tahun ini Polda Aceh menangani kasus perdagangan dan pembunuhan harimau.

“Dua kasus perdagangan dan satu kasus harimau mati di Kabupaten Aceh Selatan,” urainya saat konferensi pers Penanganan Tindak Pidana Tumbuhan dan Satwa Liar Dilindungi di Provinsi Aceh Tahun 2020, mewakili Wadir Reskrimsus Polda Aceh, AKBP Hairajadi.

Menurut Wahyudi, kasus perdagangan kulit harimau ditangani Ditreskrimsus Polda Aceh, sementara harimau mati oleh Polres Aceh Selatan. Pada 2019, Polda Aceh menangani dua kasus perdagangan kulit harimau.

“Banyak kendala saat penindakan hukum kasus kejahatan lingkungan, khusus perdagangan dan perburuan.”

Dia mencontohkan, salah satu kendala adalah ringannya hukuman yang tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Bahkan, Polda Aceh pernah menangkap orang yang sama terkait perdagangan kulit harimau.

“Kami menangkap seorang agen kulit harimau, setelah bebas dia kembali melakukan kegiatan serupa. Hukumannya juga dibawah tiga tahun,” sebutnya.

Sementara, BKSDA Aceh bersama lembaga pemerintah dan dibantu lembaga swadaya masyarakat [LSM] pada 2020, melakukan tiga translokasi harimau sumatera yang berkonflik dengan masyarakat.

“Di Kota Subulussalam, Kabupaten Aceh Selatan, dan Gayo Lues. Saat ini kami menangani konflik harimau di Kabupaten Aceh Singkil,” ujar Agus Irianto di kesempatan yang sama.

Harimau yang berkonflik di Kota Subulussalam dan Aceh Selatan dipindahkan ke kawasan hutan lain, namun masih di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL]. Sementara, harimau yang terperangkap jerat babi di Kecamatan Terangun, Kabupaten Gayo Lues, dilepaskan kembali ke habitatnya.

“Pelepasan ini bisa dijadikan contoh positif karena masyarakat tidak ingin harimau tersebut dipindahkan ke tempat lain. Mereka mau harimau dikembalikan ke habitat aslinya,” ungkapnya.

Baca juga: Melindungi Harimau Sumatera Harus Ada Strategi Komunikasi

 

Harimau betina ini ditemukan mati yang diduga keracunan usai memangsa kambing di Desa Kapa Sesak, Kecamatan Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, pada 29 Juni 2020. Foto: Forum Konservasi Leuser

 

Hidupkan kembali kearifan lokal

Ahli konservasi harimau sumatera, Hariyo Tabah Wibisono mengatakan, kearifan lokal masyarakat di sejumlah daerah tentang hidup berdampingan dengan harimau sumatera masih ada. Namun, nilai itu mulai luntur dan lebih melihat harimau sebagai masalah.

“Di Sumatera Barat dan Aceh, kearifan lokal masih dilaksanakan dan dipercaya. Namun begitu, sudah tidak semua komunitas masyarakat menganggap hal ini penting,” ujarnya, Minggu [20/12/2020].

Dia mengatakan, konflik harimau dengan manusia terjadi karena beberapa sebab. Terutama, habitat yang menyempit karena kegiatan manusia. Juga, habitat terfragmentasi atau terputus karena pembangunan infrastruktur seperti jalan, serta berkurangnya satwa buruan karena ulah manusia.

“Harimau memiliki daya jelajah luas, tapi sebagian besar berubah fungsi karena pembukaan lahan. Ini merupakan masalah yang harus diselesaikan atau dihentikan.”

Pembangunan infrastruktur, khususnya jalan dalam hutan yang merupakan habitat harimau, juga menjadi masalah yang menimbulkan konflik. “Awalnya jalan setapak, lalu diperlebar hingga akhirnya menjadi jalan kabupaten atau provinsi.”

 

alan tambang yang telah merusak kelestarian hutan Beutong, Nagan Raya, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Memang, pembangunan jalan dipahami untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Tapi, banyak jalan di hutan berdampak buruk terhadap satwa liar terancam punah. “Seharusnya, manusia bisa memanfaatkan teknologi sehingga hutan tidak lagi dirusak.”

Terkait berkurangnya hewan buruan seperti babi dan rusa, Hariyo megatakan, ini juga masalah serius. Hampir di semua daerah di Sumatera, makanan utama harimau dibunuh karena dianggap hama. Atau, diburu untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan.

“Misalnya babi, karena dianggap hama dibunuh mulai dari induk sampai anaknya. Akibatnya, harimau turun ke permukiman mencari buruan lain, seperti hewan ternak. Hal yang sama terjadi pada rusa yang diburu meski berstatus dilindungi.”

Sungguh malang nasib harimau.

“Habitatnya diganggu. Makananya juga diburu karena dianggap hama atau diburu untuk dikonsumsi manusia,” tutupnya.

 

 

Exit mobile version