Mongabay.co.id

Kondisi Miris Buruh Perempuan di Kebun Sawit

Perempuan memanen sawit di Baribi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Dia bilang, kalau kau tak kasih badanmu itu, aku potong lehermu pakai kapak ini. Dibukanya semua bajuku. Ditariknya lagi, ditidurinya aku. Baru diludah-ludahi aku.” Begitu cerita perempuan buruh di perkebunan sawit yang menjadi korban pemerkosaan dalam video VOA dalam Kisah Pemerkosaan, Eksploitasi Perempuan di Kebun Sawit.

Cerita dalam video itu adalah satu dari begitu banyak kekerasan yang dialami para buruh perempuan di perkebunan sawit. Buruh perempuan biasa tangani bagian perawatan kebun sawit. Mereka bekerja menyemprot pestisida tanpa alat pelindung, mengumpulkan biji-bijian sawit lepas, dan membersihkan semak belukar.

Mereka harus membawa beban berat, seperti penyemprotan pupuk, hasil tandan buah segar sawit yang menyebabkan mereka keguguran bahkan tidak menerima upah. Para buruh perempuan ini bekerja dalam kondisi tak aman, dari beban kerja begitu berat, perlakuan diskriminasi, kekerasan fisik, sampai kekerasan seksual. Para buruh perempuan banyak mengalami eksploitasi dalam industri sawit.

Begitu antara lain bahasan dalam diskusi Kondisi Kerja Buruh Perempuan Perkebunan Sawit, “Memutus Rantai Kekerasan yang Membelenggu” yang diadakan Perempuan Mahardhika, awal Desember lalu.

Nurhaimah Purba, Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (Serbundo) mengatakan, banyak permasalahan seputar buruh perempuan di perkebunan sawit. Banyak perempuan buruh di perkebunan sawit bekerja seringkali tidak terdaftar di Dinas Tenaga Kerja.

“Keberadaan mereka tidak diakui hingga jadi tantangan besar dan kendala dalam perlindungan buruh perempuan itu sendiri saat hendak melaporkan kekerasan dan pelecehan yang terjadi,” katanya.

Kondisi buruh perempuan, katanya, banyak menjadi buruh harian lepas atau bahkan hanya membantu kerja suami. Dia bilang, istri membantu suami yang bekerja di perkebunan sawit dan tak mendapatkan perlakuan adil sebagai pekerja.

“Berbicara devisa negara sangat besar disumbangkan oleh sektor sawit ini dan sangat dibanggakan oleh negara kita. Buruh perempuan sangat besar perannya tapi yang diterima tidak setara, terutama buruh harian lepas.”

 

Sawit, komoditas andalam dengan beragam maslaah, termasuk eksploitasi sampai kekerasan terhadap para buruh perempuan di kebun sawit. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Meski tak dipungkiri, ada sebagian perusahaan jalankan praktik baik dalam memperlakukan buruh perempuan, seperti fasilitas penitipan anak, prosedur aman dalam pemberian pupuk, pendidikan anak dan lain-lain.

Kondisi miris buruh perempuan di perkebunan sawit skala besar tak hanya terjadi di Indonesia, juga buruh perempuan di luar negeri atau buruh migran.

Dari laporan Solidaritas Perempuan Anging Mammiri pada 2020, ada 19 kasus buruh migran perempuan Indonesia di perkebunan sawit, 18 kasus pelaku migran dipaksa dideportasi, sisanya hilang kontak.

Musdalifah Jamal, Ketua Solidaritas Perempuan Anging Mammiri mengatakan, kekerasan ataupun intimidasi buruh perempuan seringkali pelaku adalah mereka yang memiliki kuasa, dengan berbagai pola dan cara. Banyak pekerja migran melapor ke SPAM ini mengalami pelecehan seksual dengan pelaku mandor atau keluarga terdekat.

Kondisi buruh perempuan di Malaysia, katanya, alami kesulitan mengakses tim medis, bantuan pangan dan pemenuhan pangan sehari-hari.

Sedang situasi di Indonesia dalam menangani buruh migran memperlihatkan, pemerintah tak memiliki persiapan mengantisipasi gelombang deportasi dari Sabah.

Kondisi ini, katanya, karena koordinasi antar instansi lemah, baik Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Sosial dan antar pemerintah daerah.

“Bahkan, karena kesulitan akses medis karena lokasi terpencil menyebabkan satu anak perempuan buruh migran yang baru lahir meninggal dunia dalam situasi pandemi ini,” katanya.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan terhadap buruh sawit, katanya, karena relasi kuasa timpang, kelas ekonomi menengah ke bawah, iming-iming kehidupan lebih baik, dan belum ada aturan yang menjamin perlidungan dan pemenuhan hak buruh perempuan migran.

Dia bilang, di tengah situasi pandemi ini mendapatkan laporan beberapa kasus seperti, intimidasi, diskiriminasi maupun pelecehan terhadap buruh perempuan migran di kebun sawit, terutama di Malaysia.

Menurut dia, banyak buruh migran perempuan berangkat tanpa dokumen legal. Kondisi ini, katanya, menyebabkan rentan terjadi pelecehan seksual karena dari prosedur awal sudah tak menjamin keamanan kerja bagi perempuan termasuk anak. Terlebih, katanya, mereka banyak tinggal di tempat tidak layak, upah rendah padahal beban kerja sama dengan laki-laki serta tidak ada jaminan perlindungan kerja.

 

 

Data dan regulasi tak memadai

Inda Fatinaware, Direktur Sawit Watch mengatakan, kebanggaan sawit sebagai penyokong devisa negara tak diiringi perbaikan tata kelola perkebunan sawit, hingga antara lain berimbas pada kondisi buruh perempuan.

Menurut Inda, jangankan meminta perlindungan buruh sawit di Indonesia, luas perkebunan sawit dan jumlah buruh pun, pemerintah belum ada data jelas. Kondisi ini, katanya, menyebabkan kesalahan dalam pengambilan kebijakan tata kelola sawit.

Dia bilang, di Indonesia, belum ada aturan spesifik untuk memberikan perlindungan terhadap buruh sawit.

Sapariah Saturi, editor Mongabay Indonesia menceritakan, hasil rekaman media terhadap kasus kekerasan terhadap buruh perempuan di kebun sawit. Dari liputan lapangan, ada temuan, antara lain, buruh perempuan, terutama buruh harian lepas punya beban kerja berat dan berbahaya di bagian perawatan dari membersihkan kebun sawit sampai penyemprotan pestisida.

Mereka ada yang alami luka atau lecet tangan karena bersihkan kebun sampai anggota tubuh gatal-gatal diduga terkena zat kimia saat menyemprot tanpa alat pelindung diri.

Kasus perkosaan buruh sawit seperti dalam liputan VOA tadi, katanya, bisa jadi banyak terjadi tetapi tak banyak terungkap. Buruh perempuan yang jadi korban kekerasan seksual, katanya, tak bicara atau melapor bisa karena  ada ancaman  pelaku. Perempuan korban pelecahan seksual atau perkosaan, katanya,  juga alami trauma hingga tak mudah menceritakan kejadian yang menimpa mereka.

Dalam meliput kekerasan buruh perempuan di kebun sawit ini, katanya, wartawan atau media, kadang alami kendala antara lain, lokasi perkebunan di daerah terpencil hingga sulit terjangkau. Belum lagi, untuk masuk ke kebun sawit perusahaan, dalam meliput dengan leluasa bukan bukan hal mudah.

Dalam berita Mongabay sebelumnya, Sumarjono Saragih, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Gabungan Asosiasi Pengusaha Sawit Indonesia mengatakan, selama lima tahun terakhir, Gapki banyak bikin inisiatif bidang tenaga kerja.

Gapki, katanya, bekerjasama dengan banyak pihak, banyak serikat pekerja, termasuk dengan ILO (International Labour Organisation).

Dia berpendapat, buruh perempuan banyak yang tidak mau jadi karyawan tetap karena terikat jam kerja.

“Pekerja lepas membuat buruh perempuan mempunyai keleluasaan waktu, hingga dapat menyesuaikan dengan rutinitas sehari-hari,” katanya.

 

 

***** Keterangan foto utama: Ilustrasi: Buruh perempuan, para pahlawan di kebun sawit yang masih alami kekerasan dan perlakuan tak adil . Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version