Mongabay.co.id

Habis Pandemi Terbitlah One Health

Kelelawar, satwa yang diduga awal pembawa virus corona. Penelitian intensif harus dilakukan untuk menyibak kebenarannya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Hampir setahun kita mengalami masa pandemi. Ini momen yang tepat untuk merefleksikan kembali hubungan kita dengan sesama manusia, juga terhadap satwa liar dan alam sekitar.

Skala dan dampak pandemi COVID-19 sungguh nyata. Bukan hanya bagi kesehatan dan keselamatan jiwa, namun juga sosial dan ekonomi. Tanpa antisipasi memadai, peluang terjadinya kembali wabah global sangat terbuka. Oleh karena itu, selain fokus pada penanganan kondisi saat ini, kita juga perlu memikirkan dan mengambil tindakan pencegahan dan perbaikan.

Langkah menuju One Health, yakni kondisi kesehatan holistik bagi manusia, hewan, dan lingkungan yang harus diutamakan.

Baca: COVID-19 dan Hukum Lingkungan Era Antroposen

 

Kelelawar, satwa yang diduga awal pembawa virus corona. Penelitian mendalam harus dilakukan untuk menyibak tabir kebenarannya. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Potensi spillover

Sejak pandemi “Flu Spanyol” 1918 yang menginfeksi 500-an juta orang atau sepertiga penduduk bumi ketika itu, dan sepuluh persennya meninggal, setidaknya ada lima pandemi lain sebelum COVID-19 mewabah. Dari sekitar 1.7 juta virus yang diketahui hidup pada mamalia dan burung, sekitar 50% memiliki kemampuan dan berpotensi menginfeksi manusia.

Telaah dari Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services [IPBES] yang dipublikasi baru-baru ini, mengungkapkan hal tersebut.

Dari jutaan virus tersebut, SARS-Cov-2 penyebab COVID-19 tampaknya memiliki karakter sesuai untuk menyebar dengan cepat tahun ini.

Penyebabnya, jumlah, sebaran dan pergerakan serta perilaku manusia sekarang, membuat kita sangat ideal menjadi inang sekaligus “jembatan” dan “kendaraan” bagi virus. Kondisi dan pola hidup yang berkembang juga menyebabkan individu manusia moderen memiliki imunitas relatif rendah dan karenanya lebih rentan terserang kuman.

Tanpa perubahan kebiasaan, prediksi laporan IPBES sangat mungkin terjadi: pandemi berikutnya akan lebih sering, menyebar lebih cepat, dan menyebabkan dampak lebih parah dibandingkan COVID-19.

Selain berpeluang tertular dari negara lain, risiko terjadinya luapan/perpindahan kuman [spillover] dan penularan penyakit antara hewan dan manusia, atau sebaliknya [zoonosis] di Indonesia sejatinya juga sangat tinggi.

Spillover dan zoonosis berprasyarat interaksi manusia dan satwa yang intens. Ini sering terpenuhi di Afrika dan China, penduduknya yang banyak dan memiliki kebiasaan mengkonsumsi satwa liar. Kondisi yang juga ada di Indonesia.

Faktor risiko di perkotaan antara lain terpusat di peternakan, pasar hewan, dan pemelihara serta konsumen hewan yang belum menerapkan kebersihan dan protokol kesehatan memadai. Sementara itu, di wilayah habitat satwa liar atau kawasan penyangganya, risiko akan meningkat pada wilayah yang mengalami tekanan dari berbagai aktivitas manusia seperti pembukaan hutan, perburuan liar, dan sebagainya.

Baca: Virus Corona dan Kesehatan Mental Kita

 

Trenggiling, satwa liar yang tidak pernah berhenti diburu untuk diperdagangkan secara ilegal. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Lima langkah

Ada lima hal yang kita perlu lakukan, untuk mengantisipasi dan mencegah pandemi, sekaligus meningkatkan resiliensi dan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

Pertama, mengidentifikasi dan meminimalisir risiko spillover dan zoonosis. Beberapa jenis satwa, dalam kondisi tertentu memiliki risiko tinggi untuk menularkan virus kepada manusia, atau sebaliknya.

Mamalia, khususnya jenis-jenis monyet dan kera, kalong dan kelelawar, tikus, juga burung diketahui berpotensi sebagai penyimpan virus [reservoir] yang dapat menular kepada manusia. Program pemantauan penyakit perlu diperkuat khususnya pada kelompok tersebut.

Perlu diingat, perburuan apalagi pemusnahan jenis-jenis itu bukanlah cara yang tepat. Itu karena satwa tersebut memiliki peran yang amat penting bagi ekosistem, termasuk pada kehidupan manusia. Sebagai contoh, seperti diungkap oleh penelitian Sheherazade dan kawan-kawan, diterbitkan pada Jurnal Wiley Biotropica September 2019, kelelawar merupakan penyerbuk utama durian yang tidak tergantikan oleh spesies lain.

Baca: Riset Membuktikan, Tanpa Satwa Ini Durian Tidak akan Berbuah Lebat

 

Satwa liar yang dipelihara dalam kandang yang seharusnya hidup di hutan. Foto: Sunarto

 

Kedua, menekan risiko spillover dan zoonosis. Mengkonsumsi dan memelihara satwa untuk kesenangan sangat berisiko, sebaiknya dihindari, khususnya individu liar yang jenis serta karakter patogennya minim diketahui.

Khusus masyarakat perkotaan, biasanya kondisi ini melibatkan perburuan, perdagangan, dan transportasi. Dalam proses tersebut, satwa biasanya mengalami stres – kondisi ideal untuk berkembangnya virus dan patogen.

Proses semacam itulah yang diyakini memicu meluapnya virus SARS-Cov-2 dari satwa. Dugaannya, kelelawar dan trenggiling yang banyak dikonsumsi di China, ke manusia.

Berpindahnya virus lain dari satwa ke manusia juga sangat mungkin terjadi. Terutama dari jenis-jenis satwa liar yang diperdagangkan atau dipelihara masyarakat, tanpa pengawasan memadai di Indonesia.

Tata kelola terkait konsumsi dan pemeliharaan satwa, sangat mendesak untuk diperbaiki. Dalam konteks zoonosis, pengaturan tidak cukup hanya untuk satwa yang masuk kategori dilindungi, tetapi juga untuk satwa liar keseluruhan, khususnya yang berpotensi sebagai reservoir.

Dalam Buku Atlas Burung Indonesia, terbit pertengahan Desember 2020, disebutkan bahwa 30% rumah tangga di Jawa memelihara burung, dengan total peliharaan mencapai 75 juta ekor.

Dari jumlah tersebut, 70% merupakan jenis lokal yang ditangkap di alam. Tak heran, banyak hutan dan pekarangan kita kini jadi sunyi. Menurut hitungan Harry Marshall, peneliti dari Universitas Manchester Metropolitan, jumlah burung kicauan yang dipelihara di sangkar kini melebihi jumlah yang hidup di alam.

Baca juga: Cetak Sejarah, Citizen Science Indonesia Terbitkan Atlas Burung

 

Lembar peta yang menggambarkan sebaran jenis burung di Indonesia dalam Buku Atlas Burung Indonesia. Foto : Tim Atlas Burung Indonesia

 

Ketiga, memastikan higienitas yang tepat namun tidak berlebihan dalam penggunaan bahan kimia, terkait pengelolaan hewan, baik satwa liar maupun ternak.

Keempat, menjaga alam sebagai penyangga. Alam yang terjaga sangat diperlukan untuk kesehatan masyarakat keseluruhan. Kesehatan dan imunitas, bahkan kecerdasan dan kebahagiaan kita sangat tergantung dari kondisi alam yang baik.

Pemandangan indah untuk rekreasi, udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan makanan yang kita konsumsi semuanya memerlukan kondisi alam yang terawat. Flora-fauna adalah perawat utamanya. Peran dan kelestariannya di alam perlu kita perhatikan dan hargai, dengan selayaknya.

Kelima, membangun budaya hidup sehat dan peka pada alam. Pola hidup manusia moderen yang cenderung malas gerak, dalam ruang tertutup, dan mengandalkan teknologi, telah berkontribusi pada kerentanan terhadap berbagai penyakit.

Kita perlu memperkuat imunitas tubuh dan resiliensi dengan lebih banyak bergerak, dekat alam, serta cukup asupan makanan sehat.

 

Pemeliharaan satwa liar dalam kandang sempit dan minim pengawasan adalah pemandangan umum di sekitar kita yang sangat rawan terjadinya zoonosis. Foto: Sunarto

 

Semua itu, sesungguhnya tertuang dalam konsep, pendekatan, dan program One Health yang diusung Organisasi Kesehatan Dunia [WHO], Organisasi Pangan Sedunia [FAO], dan Organisasi Kesehatan Hewan [OIE]. Di Indonesia, pelaksanaan program ini melibatkan tiga kementerian terkait yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Keberhasilan program ini memerlukan pengelolaan menyeluruh antara kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, dan kesehatan lingkungan serta ekosistem. Kesadaran dan aksi bersama untuk merawat lingkungan termasuk flora-fauna, dan sinergi antar-sektor menjadi kunci utama untuk kita membangun hidup yang lebih sehat, lebih resilien, dan lebih aman dari ancaman pandemi.

 

* Sunarto, Ekolog Satwa & Relawan One Health, Yayasan WWF Indonesia. Artikel ini pendapat pribadi penulis.

 

 

Exit mobile version