Mongabay.co.id

Habitat Loss, Kehilangan Yang Tak Pernah Dihitung

 

Habitat loss atau kehilang habitat menjadi fenomena kedua setelah merosotnya populasi satwa seperti macan tutul Jawa. Hilangnya ruang hidup bagi penguasa gunung-gunung di Pulau Jawa ini berpotensi menggerek kepunahan lebih cepat terjadi.

Laporan WWF menyebutkan, dalam kurun waktu 50 tahun terakhir nyaris angka populasi satwa di dunia tak menunjukan tanda-tanda membaik. Dan itu memperlihatkan, betapa dominasi manusia merusak hutan melampaui bayangan yang belum terbayangkan sebelumnya.

Di Jawa Barat, kebutuhan lahan untuk pangan dan energi dianggap pemicunya. Sekalipun, hal itu sebuah keniscayaan demi menunjang kebutuhan umat manusia. Namun, buruknya regulasi kerapkali membikin situasi tak berimbang. Sebab, alasan konservasi selalu kalah untung dengan perhitungan ekonomi.

Peneliti Gunung Institut, Pepep, menemukan kenyataan buruk itu. Sejak 2012 mengumpulkan data perihal kondisi hutan di seputar Jawa Barat, ia menemukan fakta bahwa nyaris separuh hutan dalam kondisi rusak parah. Barometer itu tampak dari degradasi dan fragmentasi.

“Di Garut bahkan ada kawasan konservasi setingkat cagar alam malah ditambang,” tutur Pepep belum lama ini.

baca : Kondisi Hutan Jawa Bagian Barat Kini, dan Bandingan Masa Lalu Zaman Junghuhn

 

Petani menggarap lahan holtikultura dan palawija di Kawasan hulu DAS Cimanuk, Kawasan Darajat, Kabupaten Garut, Jabar. Kawasan pertanian di DAS hulu Cimanuk menyebabkan sedimentasi pada aliran sungai. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

“Jual beli” sumber daya alam di kawasan konservasi jelas melanggar aturan yang berlaku. Terlebih Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mendefinisikan bahwa perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya.

Kendati begitu, Pepep menaruh curiga. Lantaran pelanggaran itu telah terjadi selama bertahun-tahun, “Seperti ada indikasi pembiaran,” katanya.

Alih-alih melakukan pengamanan sekaligus pemulihan kawasan. Cagar alam di Garut justru diturunkan status kawasannya. Entah apa pertimbangannya, yang jelas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah mengeluarkan surat keputusan dengan nomor SK.25/MENLHK/SETJEN/PLA2/1/2018 tentang penurunan status kawasan Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Diputuskan luasan kawasan yang diturunkan statusnya yaitu Kamojang 2.391 hektare dan Papandayan seluas 1.991 hektare.

Pepep heran. Menurutnya, jika kawasan tersebut diturunkan ibarat membuka pintu bagi pemodal mengeksploitasi sumber daya alam. Sehubungan dengan itu, konsep food estate di hutan lindung yang belakangan menjadi kontroversi karena berpotensi meningkatkan deforestasi kian menegaskan posisi hutan kian terdesak.

“Momennya seperti sengaja dibiarkan rusak lalu diturunkan demi peruntukan lain,” kata Pepep. Penurunan status dikhawatirkan membikin angka alih fungsi kian menganga. Apalagi, banjir bandang makin sering melanda Garut. “Selain mengancam kehidupan manusia, penurunan status berdampak pada keanekeragaman hayati baik yang ada.”

baca juga : Belajar dari Banjir Bandang Garut dan Kerusakan DAS Cimanuk

 

Menurut Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Jawa Barat, Sungai Cimanuk adalah sungai yang Koefisien Regim Sungai (KRS) paling buruk secara nasional. Ketika musim kemarau, KRS Cimanuk nilainya 1, tapi saat musim hujan nilainya 771. Ini menjadi penyebab banjir bandang di Garut, Jabar pada Selasa (20/09/2016). Foto : Dony Iqbal

 

Di kawasan yang sama, hasil survei Conservation International Indonesia dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat sepanjang 2016-2018, berhasil merekam 83 gambar Macan Tutul Jawa di Blok Guntur, Kamojang, Darajat, dan Papandayan.

Didentifikasi macan tutul Jawa berdasarkan ukuran tubuh, jenis kelamin dan pola totol yakni 3 jantan dewasan dan 7 jantan betina. Total ada 10 individu dalam populasi kecil areal seluas 120 kilometer persegi.

Lanskap di sana dianggap penting bagi kawasan prioritas konservasi di Jawa Barat yang berisi keanekaragaman flora dan rumah bagi beberapa spesies satwa unik dan terancam punah seperti Owa jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), Elang jawa (Nisaetus bartelsi), dan Jawa kukang (Nycticebus javanicus). Yang statusnya pun berada di tubir kepunahan.

“Sayangnya, regulasi kerap mengabaikan itu,” ungkap Pepep.

perlu dibaca : Hutan Kampung yang Menyelamatkan Kuta

 

Macan tutul jawa yang terekam kamera jebak di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Foto: Conservation International/TNGHS

 

Perubahan Lahan

Peneliti Bidang Zoologi dari Puslit Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cahyo Rahmadi mengatakan, hampir semua satwa endemik sudah mengalami habitat loss terutama di Jawa. Hal ini muncul dalam Dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) dimana salah satu ancaman kepunahan di Indonesia salah satunya adalah perubahan lahan.

“Kita sudah melihat di gunung-gunung di Jawa sudah berubah menjadi perkebunan. Habitat ideal hanya tersisa di kawasan konservasi itupun sudah terfragmentasi,” paparnya.

Munculnya konflik satwa dengan manusia dipicu semakin tingginya tekanan terhadap satwa, semisal, dari aspek habitat, ketersedian mangsa, dan angka perburuan. Konflik juga diperkuat dengan semakin tingginya ruang “interaksi” karena manusia mendesak dengan berbagai aktifitas mulai dari berkebun hingga bermukim.

Direktur Sintas Indonesia, Hariyo T. Wibisono pernah membuat permodelan menyoal itu. Datanya menyimpulkan, sedikitnya ada 5 kasus konflik Panthera pardus melas setiap tahunnya. Sialnya, pasca konflik macan tutul kerap ditemukan mati terbunuh atau berakhir di kandang ex-situ dan tak kembali ke habitat alaminya.

Populasi macan tutul di beberapa lanskap pun terus terisolasi. Lembaga yang konsen terhadap top predator jawa ini mengkaji lanskap di 228 sampel. Lanskap yang diidentifikasi mencakup kurang lebih 1 juta hektar atau 9% dari luas pulau padat penduduk ini.

Dengan kondisi saat ini, kata Hariyo, macan tutul harus dikelola dengan pendekatan metapopulasi. Untuk yang masih ada habitat potensial dengan koridor fisik baik, mesti dipertahankan.

Habitat loss memang sudah lama terjadi. Kini habitat macan tutul yang tersisa tidak lebih dari 10% luas Pulau Jawa,” paparnya.

penting dibaca : Konflik Tak Berujung Si Macan Tutul

 

Devi, seekor macan tutul jawa di kandang karantina Taman Satwa Cikembulan Kabupaten Garut, Jawa Barat. Lembaga konservasi yang didirikan tahun 2009, kerap menampung satwa hasil konflik dengan manusia. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ornitolog Universitas Padjajaran, Johan Iskandar, juga merasakan kegalauan yang sama. Ia prihatin, hilangnya habitat makin serius menimpa satwa-satwa endemik.

Johan mengenang, kawasan hutan Cagar Alam Kamojang, Garut, pada era 1990-an cukup bagus dan lumayan luas. Tetapi, setelah dibangun PLTP Kamojang pembukaan lahan pertanian kian tak terkendali hingga kini.

Padahal di hutan itu masih ditemukan mamalia hingga burung langka. Pasalnya, flora fauna endemik memiliki penyebaran di alam terbatas dan karena penyebarannya terbatas maka jumlahnya tidak banyak.

Upaya penanggulangganya, diantaranya adalah dengan mengatur dan melaksanakan secara seksama dan konsekuen tentang tata ruang (RTRW) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sesuai peruntukannya, “Terutama kawasan hutan,” ucapnya. Hutan hilang, bencana datang.

Memulihkan ekosistem hutan dan manusia di sekitarnya bukanlah tidak mungkin. Kesejahteraan penduduk desa perlu juga ditingkatkan, “Masalahnya karena kerusakan lingkungan menyebabkan kemiskinan, dan akibat kemiskinan menyebabkan kerusakan lingkungan,” terang Johan.

baca juga : Konflik Manusia dengan Macan Tutul Jawa Belum Berakhir

 

Macan tutul pra-dewasa ditemukan mati di hutan produksi, Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Juli 2019 lalu. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Keberpihakan

Sebelumnya, Bupati Garut Rudy Gunawan mencanangkan penanaman sejuta pohon sebagai agenda penghijaun di wilayah administratifnya. Agenda itu sebagai upaya agar pemulihan hutan tetap mendapat perhatian. Dari 320 ribu hektare lahan, 56 ribu hektare di antaranya dalam kondisi kritis, katanya.

Meski begitu, Pemkab Garut belum sepenuh hati memperhatikan hutan. Dalam pemberitaan Mongabay (20/3/2020), minim perizinan Pemkab Garut sudah membangun Jalan Poros Tengah yang menerobos kawasan hutan lindung Gunung Cikuray. Di satu lain, KLHK mendukung proyek itu. Jalan itu bakal membentang sepanjang 8 kilometer demi memberikan akses lebih besar ke lokasi wisata di Garut selatan. Walaupun, saat ini proyek itu masih tertunda menunggu izin tiba.

Gunung dibelah untuk membuka jalan guna menggenapkan target produksi atau ceruk baru pendapatan ekonomi. Tapi, dengan ketentuan ini kelak, agaknya, Johan pun sudah bisa membayangkan apa yang terjadi dengan pohon-pohon dan macan tutul di sana.

Agaknya, mengorbankan lingkungan semacam ini jelas bukan rumus yang baik. Lingkungan sudah sangat jelas bagaimana manfaatnya. Pemerintah mungkin tak mempertimbangkan ketika mereka berdebat merumuskan pembangunan itu, ada banyak oksigen yang dihembus-hirupkan. Tapi, mungkin karena di gedung itu angin bukan datang dari sepoi pepohonan, tapi dari hembusan pendingin yang diputar.

perlu dibaca : Bisakah Manusia Berdamai dengan Macan Tutul Jawa?

 

Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) koleksi Kebun Binatang Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Penelusuran Mongabay-Indonesia membuktikan, hutan Garut tak seseram yang dibayangkan dan seganas cerita orang-orang tentang Patilasan Siliwangi. Ia tak lagi sehimpun pohon-pohon berdiameter besar sekalipun di kawasan berselimut mistis.

Namun demikian, manusia tidak bisa serta merta disalahkan karena ada kebutuhan hidup di sana, “Sehingga perlu jernih melihat permasalahan di lapangan,” kata Cahyo.

Mungkin juga iya, kehilangan habitat adalah kehilangan yang tak pernah diperhitungkan. Dan kepunahan sudah disepakati sebagai keniscayaan. Dan pada akhirnya, manusia juga yang ketimban akibatnya.

 

Exit mobile version