- Data hutan Jawa bagian Barat sulit diakses publik terutama informasi mengenai lahan kritis.
- Mongabay-Indonesia menelusuri beberapa laman informasi pengelola hutan oleh lembaga pemerintah di Jawa Barat tak menampilkan data terbaru menyoal kondisi hutan.
- Padahal Franz Wilhelm Junghuhn, botanis asal Belanda menulis empat jilid buku berjudul Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantengroei en Inwendige Bouw (Jawa, Wujudnya, Tumbuhannya, dan Struktur Dalamnya).
- Informasi Junghuhn masih relevan dibahas hingga saat ini. Kini 169 tahun setelah Junghuhn membuat catatannya, keadaan gunung dan hutan Jawa berbeda. Itu dibuktikan oleh data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menghitung sejak Januari hingga Agustus 2020 terjadi 1.039 bencana alam di Jawa Barat yang berdampak pada 768.319 jiwa.
Perhatian menyoal hutan acapkali muncul ketika bencana datang. Pada siklus hidrometelogi, misalnya, posisi hutan kerap menjadi titik fokus utama. Bencana longsor dan banjir atau bandang tak akan terjadi jika hutan dalam keadaan baik.
Lalu, bagaimana keadaan hutan di Jawa bagian Barat? Agaknya susah mencari tahu tentang itu. Untuk menemukan angka mutahir terkait berapa luas hutan yang rusak dan berapa luas hutan yang masih lestari begitu sulit. Adapun data yang tersaji masih menggunakan data lama.
Informasi itu tersaji di kanal informasi milik Dinas Kehutanan Jawa Barat. Disebutkan bahwa luas wilayah provinsi yang sedang diusulkan berganti nama ini mencapai 3.709.528 hektar. Untuk luas hutannya merujuk Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 seluas 816.603 hektar atau 22,01 persen dari luas wilayahnya.
Kini, bagaimana sesungguhnya kondisi hutan di Jawa bagian Barat ini? Hingga saat ini, data lahan kritis sulit diakses publik. Entah masih berupa hutan atau lenyap dibabat. Yang jelas, perubahannya kian kentara.
Mongabay-Indonesia menelusuri beberapa laman informasi pengelola hutan, di antaranya laman milik Perum Perhutani Regional Jabar-Banten. Di sana hanya tertuang data luasan areal hutan produksi dan lindung. Begitu juga di laman informasi Balai Besar Konservasi Alam (BBKSDA) Jabar tak ditemukan data lahan kritis.
baca : Legenda, Hutan dan Nasib Predator Terakhir Jawa
Data terakhir dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan yang menyebut luas lahan kritis di Jawa Barat mencapai 911.192 hektar. Rinciannya, lahan kritis dalam kawasan 183.883 hektar, sedangkan di luar kawasan 727.309 hektar. Dua istilah itu menunjukan lahan negara dan bukan lahan negara. Artinya milik perorangan.
Jika demikian, agaknya, hutan Jawa Barat sedang tidak baik-baik saja. Apalagi Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) mulai menghitung sejak Januari hingga Agustus 2020 terjadi 1.039 bencana alam di Jawa Barat yang berdampak pada 768.319 jiwa. Bencana alam yang paling dominan terjadi selama kurun itu merupakan bencana hidrologi.
Agaknya, kondisi itu perlu dicermati. Jargon, “kita jaga alam, alam jaga kita” mungkin patut diresapi dengan cinta. Seperti cintanya seorang warga negara Belanda terhadap hutan-hutan Jawa.
Mencintai Hutan
Medio 1809-1864, hutan di Jawa bagian Barat menancap di kening dan kenang Franz Wilhelm Junghuhn. Serba permai, tentram dan elok seperti tergambar dalam lukisan maupun foto usangnya yang kini mengisi dinding sebuah museum di Jakarta.
Junghuhn memang luput dari pelajaran sejarah di sekolah. Sekalipun dia merupakan orang pertama yang menanam pohon kina di daerah Lembang, menemukan pil kinine, dan mengembangkan obat malaria. Tetap saja ia dilupakan.
Tahun 1835-1848 ia bertugas sebagai dokter militer di Jawa, kemudian ditarik kembali ke negerinya karena sakit. Tetapi tahun 1855, Junghuhn kembali. Bertugas seperti biasa, menjadi botanikus, naturalis, dokter, vulkanolog dan geolog hingga wafat di Lembang pada 24 April 1864, pukul tiga dini hari.
baca juga : Menilik Arah Masa Depan Perhutanan Sosial di Indonesia
Kecintaannya terhadap hutan dan alam Jawa abadi. Terdokumentasikan dalam catatan perjalanan yang mulai disusun bulan November 1851, selama 9 tahun ia berada di Belanda. Catatan tersebut dimuat dalam buku Bergenweelde karya MR CW Wormser, terbitan Uitgave NV Mij Vorking Bandung, yang dicetak untuk keempat kalinya tahun 1935.
Ceritanya menyiratkan ia tak pernah merencanakan kepergian dengan susah. Tiba-tiba ingin pergi ke gunung, lembah, danau ataupun hutan, berangkatlah ia ke sana, tak peduli dengan kantong cekak. Toh gaji guldennya kerap ia dedikasikan demi sebuah penelitian. `
Selain sebagai ilmuwan, Junghuhn juga seorang pendaki gunung. Ia lihai menerangkan dengan detail adanya 30 gunung di Jawa yang memiliki ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut. Selain Semeru, gunung tertinggi di Jawa, khusus di daerah Jawa Barat disebutkan keberadaan Gunung Ciremai, Tangkuban Parahu, Galunggung, Patuha, Malabar dan Cikuray.
Dalam uraian yang ditulisnya, Junghuhn cukup berhasil memuat informasi yang pada waktu itu canggih. Ia menuliskan tentang topografi, deskripsi terhadap keindahan hutan dan kesan-kesan yang dirinya peroleh selama pengembaraannya.
“Masih jelas dalam ingatanku kesan pemandangan hutan-hutan Pulau Jawa yang tak putusnya diselubungi kehijau-hijauan alami yang memesona. Juga pada beribu-ribu bunga di dalamnya yang senantiasa menyebarkan wewangian dan aroma asli nan penuh nikmat,” demikian Junghuhn membuka catatannya.
Kata Junghuhn, jauh di dalam hutan terdengar tak henti-hentinya suara gemuruh jatuhnya air terjun dari lereng gunung yang terjal ke sungai yang berbatu-batu. Tentang penghuni hutan, Junghuhn dengan suka cita berkisah menemukan banyak flora dan fauna yang menarik.
Pada akhir catatannya, Junghuhn menulis, “Mengalami semua ini, aku sungguh-sungguh merasa seolah-olah kami sudah lama berkenalan, dan aku tak dapat berbuat lain selain menundukkan kepala dan berdoa, berterima kasih kepada Sang Pencipta. Timbul dalam hati sanubarinya, perasaan rindu dan hasrat kuat untuk kembali ke tempat itu, seraya memuja Hai gunung-gunung dan hutan- hutan, salam cinta dan terima kasih, sampai jumpa lagi!”
Junghuhn yang pernah menjabat sebagai Inspektur pembudidayaan tanaman kina di dataran tinggi Pengalengan dan Lembang itu juga menulis empat jilid buku berjudul Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantengroei en Inwendige Bouw (Jawa, Wujudnya, Tumbuhannya, dan Struktur Dalamnya). Bukunya yang lain tentang topografi dan pengetahuan alam.
perlu dibaca : Membukukan Laku Orang Rimba, Penjaga Hutan Nusantara
Kerusakan Hutan
Akan tetapi, kini 169 tahun setelah Junghuhn membuat catatannya. Keadaan gunung dan hutan Jawa berbeda. Keindahan gunung dan hutan yang Junghuhn gambarkan nyaris punah.
Pengerusakan hutan cenderung meningkat. Apalagi yang paling parah, cepat, dan tragis justru terjadi bersamaan dengan bergulirnya reformasi, setelah jatuhnya kekuasaan Orde Baru. Bukan hanya terjadi pada hutan-hutan produksi Perhutani, tetapi juga merambah ke hutan-hutan lindung. Bahkan juga ke hutan-hutan yang dinyatakan sebagai taman nasional oleh pemerintah.
Di Garut, misalnya, fragementasi hutan begitu nyata terjadi. Sekalipun, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat, wilayah seluas 306.519 hektare ini disiapkan sebagai kabupaten konservasi. Karena hampir 80 persen luasannya merupakan kawasan hutan.
Meski begitu, hal itu tak menjamin hutan menjadi baik. Mongabay-Indonesia berkesempatan mengikuti BNPB melakukan pantauan udara menggunakan helikopter. Hasilnya, beberapa titik koordinat ditemukan kawasan hutan yang kopong. Model perambahnnya jika dilihat dari ketinggian berbentuk bulat, persegi hingga tak beraturan.
Staf Khusus Kepala BNPB, Een Irawan Putra, menuturkan, pemantauan dilakukan untuk mengkaji kualitas daerah aliran sungai (DAS) Cikaso dan Cipalebuh. Kabupaten Garut, katanya, telah terjadi beberapa kali banjir bandang dan tanah longsor.
“Kami akan memberikan rekomendasi nantinya menyoal kondisi hutan dan bagaimana antipasinya. Terlebih banjir bandang di Garut cukup masif terjadi,” kata Een awal November lalu.
Sementara itu, Nurdin (52), warga Desa Bojong, Kecamatan Cisompet harap-harap cemas. Tak jauh tempat tinggalnya, arus Sungai Cikajang merobohkan tanggul dan juga beberapa rumah tetangganya. Nurdin gusar. Arus sungai acapkali deras ketika musim penghujan.
“Namun, musim kemarau debit sungai cenderung kecil, bahkan kering,” ujarnya.
Barangkali sikap dan tindakan Junghuhn, -orang asing yang terasa lebih mencintai hutan-hutan di Jawa daripada manusia setempat, perlu terus digaungkan.
Seandainya, data hutan mudah diakses publik dan dapat memberi gambaran mengenai perubahan-perubahan pada flora, fauna dan hutan, agaknya, manusia masa kini bisa memiliki cinta seperti Junghuhn. Atau setidaknya dapat memahami bahwa manusia masih membutuhkan hutan.
Dengan begitu barangkali musibah tanah longsor dan banjir bandang di Pameungpeuk, Garut, Cianjur maupun Sukabumi kemungkinan besar tak terjadi. Demikian juga bencana banjir musiman di Bandung selama 40 tahun yang diakibatkan terjadinya penggundulan hutan.