Mongabay.co.id

Pemecah Gelombang Dibangun di Kota Maumere. Kenapa Abrasi Masih Terjadi?

 

Tanggal 12 Desember 1992, selalu dikenang masyarakat wilayah pantai utara Pulau Flores, NTT, karena gempa dan tsunami memporakporandakan wilayah ini. Gempa berkekuatan 7,8 SR pada pukul 13.29 WITA tersebut disusul tsunami dengan ketinggian 36 m.

Kejadian ini mengakibatkan 2.100 orang meninggal dunia, 500 orang hilang, 447 orang luka-luka dan 5.000 orang mengungsi. Dampak lainnya, 18 ribu rumah, 113 sekolah, 90 tempat ibadah dan sedikitnya 65 bangunan lain mengalami kerusakan. Sedikitnya 4 kabupaten yakni Sikka, Flores Timur, Ngada dan Ende terdampak parah.

Selain musibah ini, hampir setiap tahun wilayah pantura mengalami abrasi. Kerusakan parah terlihat di sepanjang sisi timur pantai selepas run way Bandara Frans Seda. Abrasi menyebabkan sedikitnya 30 cm daratan tergerus abrasi saban tahun.

Abrasi mulai mengancam ketika memasuki bulan Desember hingga Maret saat gelombang tinggi yang dipicu angin kencang melanda wilayah pantura.

  

Dampak Pembangunan Turap

Persis di hari gempa dan tsunami Flores, gelombang tinggi masih menerjang. Warga yang bermukim di pesisir pantai utara Flores tepatnya wilayah timur Kota Maumere di Kecamatan Kangae dan Kewapante  tak bisa tertidur pulas.

Malam itu, Sabtu (12/12/2020) ± pukul 21.00 WITA Ignasius Kassar, pemilik Blue Ocean Eco Cottage anda Restaurant terbangun. Terdengar bunyi reruntuhan. Dirinya menduga bangunan villa dan restorannya ambruk diterjang gelombang.

Benar saja, paginya Ignas sapaannya melihat bangunan villa mengalami kerusakan parah. Sebagian bangunan rubuh tersapu abrasi. Restoran bambu pun bernasib serupa. Pondasinya ikut tergerus, hanya menyisakan tiang penopang dari bambu yang tergantung.

“Ini akibat dari pembangunan break water  oleh pemerintah yang tidak tuntas pengerjaannya,” kata Ignas meradang saat ditemui Mongabay Indonesia, Minggu (13/12/2020).

baca : Pesisir Okaba Alami Abrasi Parah

 

Pepohonan kelapa di sepanjang pantai utara Flores, Desa Habi dan Watuliwung,Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, NTT yang tumbang akibat abrasi. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Ignas meminta pemerintah harus bertanggungjawab mengganti kerugian. Pemerintah juga diminta cari solusi agar tidak terjadi kerusakan bagi warga di pesisir pantai bila musim badai bulan Januari hingga Maret.

Ia menegaskan, break water yang dibangun perencanaan awal sepanjang 1.160 meter dengan dana DAK Rp10 miliar lebih. Pembangunan dimulai bulan Juli namun bulan Oktober, Gubernur NTT keluarkan Pergub kenaikan galian C.

“Kenaikan pajak galian C mengakibatkan volume berkurang 100 meter menjadi 1.060 meter. Dana sebesar sekitar Rp630 juta masuk ke kas PAD NTT ,” sesalnya.

Ignas menyebutkan, nasib serupa pernah dialaminya tahun 2017. Saat itu turap pengaman pantai dibangun dari Pelabuhan Laurens Say hingga ke pantai dekat ujung landasan run way Bandara Frans Seda.

Saat musim badai, abrasi menyebabkan sebuah rumah miliknya rubuh. Ignas beralasan, akibat pembangunan turap, tekanan air mengalir ke wilayah timur yang belum dibangun turap pengaman.

“Sejak ada pembangunan turap pengaman pantai tahun 2017, selalu terjadi abrasi hingga daratan tergerus sejauh sekitar 30 sentimeter. Kelapa di pinggir pantai sejak dari Desa Habi dalam setahun sekitar 30 pohon tumbang,” ucapnya.

baca juga : Abrasi Parah, Kampung Mampie dan Penyelamatan Penyu Terancam

 

Bangunan villa di Blue Ocean Eco Cottage dan Restaurant di Desa Watuliwung, Kecamatan Kangae, Kabupaten Sikka, NTT yang rusak berat akibat terkena abrasi. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Mengatasi Abrasi

Saat sosialisasi di Cafe Central, Lokaria, Desa Habi, Kecamatan Kangae, Sabtu (25/7/2020) dikatakan panjang pemecah gelombang 5 km. Kenyataannya, dana yang diusulkan Rp60 miliar dipangkas BNPB sehinga tersisa ± Rp10 miliar.

Ditemui Mongabay Indonesia di kantornya, Jumat (18/12/2020), Kepala BPBD Sikka, Muhammad Daeng Bakir menjelaskan, proses pembangunan break water sesuai usulan dari BPBD Sikka sejak tahun 2017.

Bakir mengatakan usulan disetujui namun dampak pandemi COVID-19 menyebabkan ada pemangkasan dana. Pekerjaan pun baru bisa terlaksana Juli 2020 dengan kontraktor pelaksana PT. Prima Subur Maumere.

“Sebenarnya rencananya 1.160 meter namun ada kenaikan item pajak galian C maka terjadi pengurangan volume menjadi 1.060 meter. Kemungkinan yang dikerjakan 1.100 meter sebab ada sisa dana tender untuk tambah 20 meter dan kontraktor menambah lagi 20 meter,” terangnya.

Bakir membantah dampak abrasi di Desa Watuliwung akibat dari pembangunan break water. Justru pembangunan ini untuk melindungi pesisir pantai sepanjang Kecamatan Kangae dari abrasi.

Pihaknya pun sedang mengusulkan adanya penambahan pengerjaan lagi mengingat warga di wilayah timur break water masih terdampak abrasi. Namun dirinya tidak bisa memastikan usulan tersebut cepat disetujui.

“Kalau ada komplain dari siapapun kami tidak bisa menambah volume pekerjaan karena pembangunan sudah sesuai anggaran dan perencanaan. Kami usulkan pembangunan tambahan, tapi kapan akan dibangun lagi tentunya melalui proses,” ucapnya.

Bakir beralasan seharusnya warga yang tinggal di pesisir pantai harus mematuhi aturan mengenai garis sepadan pantai. Jarak bangunan minimal 100 meter dari pasang tertinggi.

Kalau menuntut ganti rugi ia tegaskan, tentu tidak bisa karena ini hal itu bencana alam. Pemerintah ada dana tanggap darurat yang bisa dipakai untuk membangun turap pengaman pantai.

“Bupati sudah kunjungan ke lokasi bencana dan akan dibangun turap pengaman pantai. Saat ini sedang dilakukan pengukuran dan mudah-mudahan bisa segera dibangun,” tuturnya.

perlu dibaca : Saat Abrasi Makin Ancam Permukiman di Pesisir Pantai Pasuruan

 

Tanggul pemecah gelombang yang dibangun BPBD Sikka, NTT untuk mengatasi abrasi di sepanjang pantai utara Flores wilayah timur Kota Maumere. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Bakir mengatakan, break water sudah selesai dikerjakan. Break water mempunyai lebar bawah 10 m, lebar atas 3 m dan tinggi 3 m. Ada 5 pintu untuk memudahkan air laut masuk dan keluar termasuk perahu nelayan.

Jarak break water dengan pantai sejauh ± 30 m sehingga ada ruang untuk dijadikan kolam labuh. Perahu nelayan dapat berlindung saat terjadi badai dan kolam labuh ini pun bisa dijadikan sebagai wisata bahari.

“Hanya beberapa titik saja yang ada karang dan yang lainnya hanya pasir. Pembangunan break water ini bisa menjadi solusi mengatasi abrasi di pesisir pantai utara yang kian parah setiap tahunnya,” pungkasnya. 

 

Menimbun Pasir

Untuk mengatasi terjadinya abrasi yang kian parah dan merusak bangunan Blue Ocean Eco Cottage and Restaurant, puluhan pelaku wisata dan anggota komunitas turun tangan.

Ada anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maumere Diver Community (MDC) dan Komunitas Jalan Kaki (KJK) Maumere bahu membahu mengatasi terjangan ombak.

“Kami membuat penahan ombak dengan meletakan karung berisi pasir dan menimbun bebatuan di sekitar pantai. Semoga bisa mencegah terjadinya abrasi yang kian parah,” sebut Maria Yasinta Nenti, anggota HPI Sikka.

Selama dua hari sejak Selasa (15/12/2020) kata Nenti, pihaknya bergotong royong membantu sebisanya. Menurutnya, apa yang dilakukan merupakan solidaritas sesama pelaku wisata yang terkena dampak abrasi. Apalagi di masa pandemi Corona, pelaku wisata kehilangan pendapatan.

Namun segala jerih payah seolah tak berarti. Malam hari, Jumat (18/12/2020) gelombang pasang kembali menerjang bangunan restoran sehingga kerusakannya semakin parah.

baca juga : Pesona Pantai Sembilan di Tengah Ancaman Abrasi Gili Genting

 

Pelaku wisata dan anggota komunitas menimbun batu dan pasir di pesisir pantai Eco Cottage and Restaurant, Desa Watuliwung, Kecamatan kangae, Kabupaten Sikka, NTT untuk menghadang abrasi. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Nikodemus Plaron, warga Dusun Wairhubing yang lokasi rumahnya tak jauh dari ujung tanggul break water pun terkena dampak. Abrasi setiap tahun membuat puluhan pohon kelapa miliknya tumbang.

Bahkan kandang babi bersama sebuah pondok di dekatnya rusak berat tersapu gelombang. Nikodemus pun kaget saat pagi kandang rusak dan seekor babi miliknya hilang entah kemana.

“Kami masyarakat kecil hanya pasrah saja. Saya juga tidak tahu kenapa abrasi lima tahun terakhir ini kian parah. Kalau tanggul yang dibangun melewati tempat saya tentu saya bisa terlindungi,” ucapnya.

Sejauh satu kilometer arah timur sejak pesisir pantai sebelah timur run way Bandara Frans Seda terlihat sisa-sisa pohon kelapa yang tumbang. Satu dua pohon bakau dan waru pun terlihat rubuh tersapu abrasi.

 

Exit mobile version