Mongabay.co.id

Sudah Saatnya Ada Pungutan Emisi Gas Buang

Pemerintah dan DPR telah mengesahkan Barang Kena Cukai (BKC) baru berupa kantong plastik, sehingga secara resmi komponen BKC di Indonesia saat ini terdiri dari plastik, rokok, etil alkohol dan minuman beralkohol. Penambahan BKC baru tersebut tentu didasari atas pertimbangan status darurat sampah nasional khususnya yang berasal dari konsumsi plastik di kehidupan sehari-hari. Sudah menjadi rahasia bersama jika kita begitu mudahnya mengkonsumsi dan membuang kantong plastik meski nyatanya dibutuhkan waktu hingga puluhan tahun bagi bumi untuk dapat mengurainya.

Tak heran jika sampai tahun 2016 saja konsumsi kantong plastik di Indonesia sudah mencapai 107.065.217 kg per tahun. Indonesia juga masuk kategori salah satu negara dengan konsumsi sampah plastik terbesar di dunia. Upaya penanganan sudah didukung sepenuhnya oleh beberapa regulasi baik dari hulu hingga hilir. Dari sisi hilir misalnya sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut. Kebijakan ini sekaligus melengkapi beberapa ketentuan teknis yang sudah ada terlebih dahulu. Sebelumnya pemerintah sudah menerbitkan Perpres Nomor 97 tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jastranas). Ada juga Perpres Nomor Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Kelengkapan-kelengkapan regulasi tersebut menjadi bukti nyata keseriusan pemerintah mengatasi permasalahan sampah nasional sekaligus adanya perubahan paradigma cara pandang masyarakat dan pemerintah terhadap sampah menuju paradigma circular economy dari pemanfaatan daur ulang sampah. Yang perlu disadari dasar pemikiran dan tujuan dari masing-masing regulasi pemerintah berbeda namun saling melengkapi. Perpres Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, diamanatkan di 12 daerah dengan filosofi mengatasi sampah existing yang tidak terkelola sekaligus mendapatkan energi terbarukan sebagai bonus.

baca : Cara Indonesia Kurangi Sampah Plastik hingga 70 Persen

 

Warga membuang sampah di tepi sungai sodetan Bengawan Solo. Timbunan sampah di pantai dan kegiatan pembakaran sampah di tepi sungai tersebut memprihatinkan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Sementara Perpres Nomor 97 Tahun 2017 tentang Jastranas secara jelas menyasar penurunan timbulan sampah sejak dari awal sebesar 30% dari angka timbulan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga di tahun 2025. Selain itu juga diupayakan adanya penanganan sebesar 70% dari angka timbulan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sebelum adanya kebijakan. Dengan demikian semangat yang diusung oleh Jastranas ini adalah semangat daur ulang (3R) menuju terciptanya circular economy sebagaimana penjelasan di awal.

Mekanisme cukai sendiri sejatinya hanyalah menjadi pelengkap instrumen kebijakan yang paling memadai jika dikaitkan dengan isu eksternalitas negatif yang harus dikendalikan. Dalam keterangannya, DPR juga mengingatkan pemerintah untuk menyiapkan dengan segera road map penambahan jenis BKC lainnya sebagai salah satu cara dalam mengendalikan konsumsi berbagai barang yang memiliki dampak negatif terhadap kesehatan atau kelestarian lingkungan hidup jika dipakai secara berlebihan.

Salah satu jenis BKC yang mengemuka adalah gas buang kendaraan bermotor sebagai hasil pembakaran BBM yang digunakan. Secara personal, penulis merasa tertarik untuk menganalisis lebih dalam wacana tersebut mengingat konteksnya sesuai dengan kualitas udara di beberapa kota besar di Indonesia yang akhir-akhir ini sedang menghadapi banyak kendala. Menurut penelitian WHO, banyak kota-kota besar di dunia, termasuk di Indonesia yang memiliki tingkat polusi PM10 rata-rata per tahun yang jauh melebihi batas aman yang ditetapkan organisasi kesehatan dunia ini.

Berdasarkan laporan yang dirilis WHO misalnya, dari 5 kota di Indonesia yang diamati, hanya Kota Pekanbaru yang memiliki standar polusi rata-rata per tahun di bawah standar WHO sebesar 20 mikrogram per meter kubik (20 µg/m3). Dari data yang diambil WHO pada 2008 saja, tingkat polusi  PM10 Pekanbaru sebesar 11 mikrogram per meter kubik (11 µg/m3). Kota-kota besar lain di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan, memiliki tingkat polusi yang jauh di atas batas aman WHO.

Jakarta misalnya, standar polusi udara yang dicatat WHO di tahun 2008 sudah mencapai 43 µg/m3 – 200% di atas standar aman WHO. Angka ini meningkat pada 2009 menjadi 68,5 µg/m3 atau lebih dari 300% dari standar aman WHO. Tahun 2010 angka ini diklaim turun walaupun masih 200% di atas standar WHO menjadi 48,5 µg/m3 sebagian karena efek diselenggarakannya program bebas kendaraan bermotor di Jakarta (Jakarta Car Free Day).

Masih berdasar laporan yang sama, Kota Surabaya, Bandung dan Medan justru memiliki kualitas udara yang lebih parah dari Jakarta. Standar polusi PM10 di Kota Kembang mencapai rata-rata 51 µg/m3 per tahun, sementara di Surabaya nilainya mencapai 69 µg/m3, dan Medan mencapai 111 µg/m3 per tahun. Angka-angka di atas memberikan gambaran nyata betapa buruknya tingkat polusi udara di kota-kota besar di Tanah Air.

baca juga : Standard Emisi Kendaraan di Indonesia, Sejauh Apa Penerapannya?

 

Rasio volume kendaraan dengan panjang jalan di Jakarta yang sudah tidak lagi seimbang, membuat kemacetan menjadi keseharian. Jumlah kendaraan pribadi dan kemacetan menjadi faktor boronya konsumsi BBM di Indonesia. Foto : Jay Fajar / Mongabay Indonesia

 

Kondisi ini tentu saja menggambarkan trade off yang sangat rumit, mengingat sektor otomotif sering diklaim menjadi penyumbang utama memburuknya kualitas udara, sementara di sisi lain sektor otomotif juga menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional khususnya dari sektor konsumsi masyarakat. Harus diakui bahwa menggeliatnya pasar otomotif memang memberi dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Sayangnya, kenaikan laju sektor otomotif juga menuntut adanya respon optimal dari pemerintah dalam menyediakan berbagai sarana prasarana pendukung lainnya. Jika harapan ini tidak dapat diwujudkan, maka akan banyak kerugian yang ditimbulkan akibat terlepasnya berbagai zat beracun dalam kendaraan bermotor ke udara.

Secara umum dampak-dampak yang sering teridentifikasi adalah munculnya gangguang hipertensi akibat tekanan kerja jantung yang berlebihan untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh, munculnya penyakit gangguan mata, penurunan kecerdasan serta terganggunya perkembangan mental anak.

 

Pungutan Emisi Gas Buang

Hingga saat ini, Pemerintah sudah menerapkan standar pengaturan emisi gas buang sebagai prasyarat di dalam perpanjangan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) setiap tahunnya. Bahkan persyaratan mengenai emisi gas buang sudah menjadi aturan tersendiri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan. Dalam Pasal 64 paragraf 1 dikatakan bahwa emisi gas buang menjadi persyaratan laik jalan kendaraan bermotor. Pasal 65 juga menyebutkan bahwa emisi kendaraan bermotor harus diukur berdasarkan kandungan polutan yang dikeluarkan kendaraan bermotor serta wajib tidak melebihi ambang batas yang ditetapkan. Penetapan ambang batas tersebut diselenggarakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.

Berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh pengelolaan emisi gas buang, penulis menyarankan untuk mengkaji lebih dalam kemungkinan pengenaan cukai emisi gas buang berbarengan dengan pengenaan PKB setiap tahunnya. Dengan pengenaan cukai emisi gas buang, nantinya tidak akan menghilangkan kewajiban pembayaran berbagai jenis pajak kendaraan bermotor (PKB) lainnya, namun ada sedikit penyesuaian di dalam sistem pemungutannya. Cukai emisi gas buang juga akan mengadopsi mekanisme insentif dan dis-insentif pajak.

Untuk kendaraan bermotor yang melebihi ambang batas emisi gas buang akan dikenakan tarif PKB progresif, sebaliknya untuk kendaraan bermotor yang mampu mengelola emisi gas buang di bawah ambang batas akan memperoleh keringanan tarif PKB. Karena berupa cukai, maka seyogyanya pungutan ini di ear marking untuk dikembalikan lagi kepada pembangunan infrastruktur jalan, pemeliharaan jalan, infrastruktur transportasi umum, pengembangan bahan bakar alternatif, pengujian emisi serta upaya perbaikan kualitas udara yang tercemar. Pemda yang tidak menaati aturan penggunaan dapat dikenakan sanksi dan hukuman misalnya tidak mendapatkan alokasi dana untuk periode selanjutnya.

perlu dibaca : Mantap. Mahasiswa ini Mampu Manfaatkan Gas Buang Motor Jadi Listrik

 

Asap pekat dari bus kota di kota Jakarta. Foto : istimewa

 

Terkait ide tersebut, Indonesia dapat mencontoh Australia yang sudah terlebih dahulu menerapkan mekanisme pajak emisi gas buang. Meskipun awalnya menuai banyak protes khususnya dari para oposisi dan industriawan, pajak itu akan dikenakan pada polusi yang dihasilkan oleh korporasi. Sekitar 350 perusahaan ‘produsen’ polusi utama harus membayar sebesar 23 dolar Australia atau setara Rp220 ribu untuk setiap ton karbon yang mereka hasilkan. Dengan skema tersebut, Pemerintah Australia berharap tahun 2020, polusi karbon Australia setidaknya akan berkurang 159 juta ton/tahun dibandingkan dengan jika skema tidak diterapkan.

Dalam beberapa waktu ke depan, pemerintah sedianya juga akan segera merampungkan beleid khusus mengenai nilai ekonomi karbon (NEK) yang akan menjadi wadah bagi bekerjanya mekanisme pasar karbon nusantara. Kombinasi kebijakan pungutan emisi gas buang dalam bentuk cukai dan NEK jelas menjadi gula-gula yang begitu menggoda. Demi tujuan perbaikan bersama, rumusan di atas tentu bukan hal mutlak yang tidak dapat diperdebatkan. Justru berbagai masukan yang konstruktif sangat dibutuhkan. Namun semuanya harus bermuara pada satu tujuan bersama menciptakan Indonesia yang bersahabat dan bermartabat.

 

 

*Joko Tri Haryanto, Peneliti Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mencerminkan kebijakan institusi

 

Exit mobile version