Mongabay.co.id

Piknik Asyik sambil Belajar Bertani di Sawahku

 

Hamparan lahan seluas 2,2 hektar itu dari depan tampak hanya rimbunan pohon. Namun semakin ke dalam, setelah melewati dua portal, kita akan menemukan sebuah ‘surga kecil’. Hamparan sawah dan kolam berpetak kecil dengan sungai kecil berbatuan di sekelilingnya. Terdengar kicauan burung di kejauhan.

Lokasi ini dinamai Sawahku, sebuah kawasan wisata literasi bagian dari Rumah Hijau Denassa (RHD). Terletak di Kelurahan Tamalayyang, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

Pemiliknya bernama Dermawan Daeng Nassa atau lebih dikenal dengan nama Denassa membawa saya berjalan-jalan menyusuri kawasan itu di suatu sore pertengahan November 2020 lalu.

Sebagaimana namanya Sawahku, kawasan itu memang awalnya ditujukan sebagai persawahan untuk kepentingan literasi lingkungan hidup. Meski kemudian di dalamnya mulai ditanami banyak jenis tumbuhan dan konservasi satwa tertentu.

Di bagian depan terbentang ungu hamparan tanaman bunga telang. Ada juga sejumlah tanaman lokal yang sengaja ditanam, termasuk sebuah tanaman yang disebut bauwwa. Buah atau bulu tanaman ini bisa menyebabkan gatal di sekujur tubuh.

Di bagian dalam terdapat beberapa petak kecil sawah yang dikitari sebuah gundukan tanah yang berfungsi sebagai dudukan.

“Ini tempat belajar menanam padi. Pengunjung duduk di gundukan itu seperti panggung, nanti di bagian bawah akan diajarkan cara menanam sebelum terjun langsung di sawah,” jelas Denassa.

baca : Belajar Mencintai Alam dari Rumah Hijau Denassa

 

Panggung belajar Sawahku, petak sawah yang digunakan untuk belajar cara menanam padi, sebelum pengunjung turun langsung ke sawah. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Di tempat ini, orang belajar tentang tanaman apa saja yang hidup di air, baik itu padi, papirus, alang-alang rawa dan tonjung atau teratai. Genangan serupa petakan sawah itu juga untuk pemijahan ikan.

Sungai-sungai kecil yang dipenuhi batu-batu gunung di sekeliling lokasi ternyata memiliki fungsi tersendiri, yaitu sebagai tempat berkumpul burung-burung mencari makan.

Sawahku memang belum terbangun secara utuh, meski dua tahun terakhir telah dikunjungi murid-murid sekolah atau mahasiswa. Konsep Sawahku sebagai wisata literasi adalah mendidik anak-anak sekolah agar dekat dengan alam dan memahami bagaimana proses produksi pangan.

“Tujuan pembelajaran agar mereka tidak membuang-buang makanan ketika makan karena proses produksi pangan tidak mudah. Bagaimana petani memulainya dari tahap semai, tanam hingga panen. Keyakinan orang dulu nasi yang tak dimakan akan menangis, ini yang ingin kami ajarkan kembali ke anak-anak sekolah,” jelas Denassa

Para murid yang datang berkunjung memang dibekali pengetahuan singkat tentang padi, sawah dan seluruh ekosistem terkait, sebelum akhirnya turun ke sawah menanam padi, memancing atau menangkap ikan.

Pembelajaran lain adalah mengenali tanaman pangan lokal beserta manfaatnya bagi kesehatan. Sejumlah pangan lokal seperti umbi-umbian lebih sehat dikonsumsi. Misalnya tanaman ganyo yang bagus dikonsumsi untuk anak usia 2 sampai 5 tahun sebagai pendamping ASI.

“Ganyo sejenis umbi dari bunga tasbih, tanaman lokal dijadikan tepung yang lembut, bagus untuk anak-anak karena komposisinya lengkap. Cuma kan orang tidak paham.”

Tanaman lain seperti Porang, Tire atau bunga bangkai (Amorphophallus) yang bisa dikembangkan sebagai obat atau sumber pangan. Ada juga kecunda dan jali yang buahnya berbentuk berbiji bisa sebagai pengganti beras, biasa tumbuh di daerah-daerah kritis.

baca juga : Asyiknya Belajar Sains Lingkungan di Rumah Hijau Denassa

 

Denassa tengah membangun sungai buatan yang ditujukan untuk konservasi ekosistem sungai dari tumbuhan hingga satwa tertentu, sekaligus sebagai tempat wisata sungai. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Di salah satu kawasan itu terdapat beberapa bangunan kayu yang belum selesai pembangunannya. Tempat itu dirancang sebagai Pasar Lontara, yang nantinya buka tiap hari Sabtu-Minggu.

“Di pasar ini kita jual pangan lokal dimana pembeli bisa ikut terlibat dalam proses produksi. Kalau orang masuk akan tukar uang dengan daun lontara, satu daun lontara senilai Rp5 ribu, bisa beli banyak macam makanan lokal.”

Denassa juga akan membuat sungai melingkari Sawahku sepanjang 2 km. Lebarnya sekitar 4 meter. Sungai ini akan digunakan sebagai kawasan konservasi ikan-ikan, burung dan tanaman endemik Sulawesi.

Meski masih dalam tahap pengerukan, di sekitar sungai sudah banyak ditemukan burung endemik, seperti Kacamata Makassar, Kacamata Sulawesi, dll. Di sekitar sungai akan ditanami aren, bambu ori atau bulu totoa dan kayu sappang. Program konservasi ini mendapat dukungan dari Pertamina melalui Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Hasanuddin MOR VII.

Bambu ori sendiri dulu banyak tumbuh di sekitar daerah Gowa dan Takalar dan digunakan sebagai bahan baku pabrik kertas Gowa. Dulunya banyak tumbuh sepanjang dataran tinggi Manuju, Patalassang dan Bungaya, Kabupaten Gowa.

Ketika pabrik itu gulung tikar sekitar tahun 1990-an, bambu-bambu mulai ditebang dan dimusnahkan karena dianggap tidak punya nilai ekonomis dan mengganggu tanaman lain di sekitarnya. Padahal keberadaan bambu di dataran tinggi justru penting untuk mencegah terjadinya longsoran tanah.

“Makanya beberapa tahun lalu terjadi banyak longsor di Gowa karena hilangnya bambu-bambu ini yang memiliki fungsi penahan air,” tambahnya.

Denassa berharap penanaman bambu ini sebagai langkah awal yang akan diikuti di tempat lain. Targetnya, sungai konservasi ini sudah bisa selesai penggaliannya dalam dua tahun mendatang.

Selain ikan-ikan endemik, sungai ini juga akan dijadikan sebagai tempat budidaya ikan konsumsi, seperti ikan nilam, yang hasilnya bisa dinikmati warga sekitar. “Nanti akan ditempatkan di lokasi terpisah agar tidak saling memangsa. Ada jaring-jaring pembatas,” katanya.

perlu dibaca : Pesona Bunga Bangkai di Rumah Hijau Denassa

 

Dermawan Daeng Nassa atau Denassa membangun RHD sejak 2011 sebagai kawasan konservasi mini dan wisata literasi lingkungan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Koleksi Tumbuhan dan Satwa RHD

RHD sendiri adalah sebuah hutan mini seluas 3 hektar lebih, yang dibangun di kawasan pemukiman warga sejak 2011 silam. Sawahku adalah pengembangan RHD yang berjarak sekitar 400 meter dari lokasi RHD.

Sebagai kawasan konservasi ini, RHD telah mengoleksi sekitar 530 spesies tumbuhan dari berbagai daerah. Termasuk bunga bangkai atau Amorphophallus yang bunganya mekar di waktu tertentu.

RHD juga memiliki sejumlah jenis tumbuhan yang hanya dikenal dari nama lokalnya seperti buah coppeng– mirip anggur– biasa juga disebut jamblang (Syzygium cumini). Ada juga buah bunne atau buni (Antidesma bunius (L.) Spreng.). Juga ada lobe-lobe, sappang, biraeng atau ara, gonrong-gonrong (Chromolaena odorata), kalumpang, baji (markisa besar), gamasi (sukun berbiji), bambu kolasa dan katangka.

“Paling langka saat ini adalah pohon katangka. Jumlahnya di alam sudah sangat sedikit karena habis ditebang untuk pembangunan rumah, memang jenis kayu bagus. Di sini ada sekitar 7 individu, cuma susah tumbuh dengan baik karena lahan terbatas.”

 

Koleksi benih Denassa dari bermacam-macam tanaman, khusus yang sudah jarang ditemui di daerahnya. Terdapat 300 koleksi tanaman yang dimiliki Denassa, baik ditanam langsung maupun benih yang disimpan di wadah khusus. Foto: Wahyu Chandra

 

Di RHD juga bisa ditemui beberapa jenis burung endemik, seperti burung Madu Sulawesi, Kacamata Makassar, Kacamata Sulawesi, Pelanduk Sulawesi, Pelatuk Sulawesi, Cilek Sulawesi dan Nuri kecil Sulawesi.

RHD juga mengoleksi cecak terbang atau cekibar, sejenis reptil termasuk keluarga Agamidae, dikenal dengan nama ilmiah Draco volans linnaeus. Untuk mempertahankan spesies ini, Denassa awalnya menangkar empat pasang. Dia memperkirakan, kini sudah mencapai ribuan.

Di kawasan ini bisa ditemui kupu-kupu Troides helena dan beberapa jenis Parantos. Kehadiran jenis kupu-kupu ini karena keberadaan pakan melimpah baik berupa nektar dan madu ataupun jenis makanan ulatnya berupa sirih hutan.

Untuk reptil, selain cekibar, juga terdapat beberapa individu biawak, ular daun hijau dan hijau bintik-bintik coklat. yang muncul karena adanya kodok sebagai bagian dari ekosistemnya.

 

 

Exit mobile version