Mongabay.co.id

Du Anyam, Giatkan Perempuan Menganyam dengan Bahan Alami

Anyaman daun lontar dari para perajin di Flores. Foto:Yayasan Kehati

 

 

 

 

Maria Imakulata Antonia Sasi Wotan, perempuan 27 tahun ini belum terbiasa menganyam. Di Desa Wulublolong, Solor Timur, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, kebanyakan orang-orangtua perempuan (mama-mama) yang bisa menganyam. Anak-anak muda, biasa hanya melanjutkan anyaman setengah jadi, bahkan ada sama sekali tidak bisa.

Padahal, menganyam merupakan tradisi nenek moyang yang turun temurun diwariskan ke anak cucu di Flores Timur.

Serat anyaman, antara lain pakai daun lontar. Daun lontar merupakan serat alami yang tumbuh liar. Biasa serat daun lontar untuk anyaman acara adat, dinding maupun atap rumah.

“Saya punya mama itu pernah ajar anyam. Tapi cara ajar mama ke saya itu kan kalau tidak paham dengan cubitan. Ah, malas sudah dulu,” cerita Ima.

Pada 2016, Du Anyam datang ke desa untuk memberikan pelatihan kepada para kader perempuan desa di Desa Wulublolong. Saat itulah, Ima mulai bergabung dan belajar menganyam dan keterampilan sejenisnya.

Awalnya Ima ragu karena menganyam dianggap sesuatu yang biasa dalam kehidupan sehari-hari dan tidak memiliki nilai jual.

“Du Anyam masuk itu membuat anyaman kembali hidup di desa tidak hanya mama-mama saja, kearifan lokal yang hampir hilang bisa diteruskan kembali oleh anak-anak muda seperti angkatan saya,” kata ibu dua anak ini.

Ima pun kini mahir menganyam.

Hanna Keraf, Azalea Ayuningtyas, dan Melia Winata, merupakan perempuan-perempuan hebat di balik PT Karya Dua Anyam. Du Anyam lahir sejak 2013. Ia berawal dari keprihatinan para pendirinya terhadap kesehatan perempuan dan anak-anak di Flores Timur.

Setahun kemudian, ide pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan perempuan pun resmi berdiri di Jakarta, melalui Karya Dua Anyam. Mereka produksi dan pemasaran anyaman berbahan baku kulit kayu pohon waru dan pohon lontar.

 

Hasil anyaman para perajin di bawah dampingan Du Anyam. Foto:: Yayasan Kehati

 

Hanna Keraf, perempuan asli Flores, NTT meski lahir dan besar di Jakarta. Sejak pulang kuliah pada 2012 dari Jepang, dia memilih tinggal di Flores.

“Saat itulah ide muncul, kemudian dua partner saya datang ke NTT. Kita melihat bagaimana potensi di NTT itu cukup banyak dan besar,” cerita Hanna.

Produk serat alam dipilih karena menganyam bagi masyarakat Flores adalah kearifan lokal turun temurun. Lontar dan gebang itu sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat dan tidak sulit didapatkan.

“Melalui anyaman, kami bisa berharap memberikan pendapatan ekonomi bagi perempuan,” katanya.

Awalnya, Du Anyam memulai dengan satu desa, di desa Dun Tana, Flores Timur dengan 16 perempuan. Desain produk mulai bikin sejak 2014. Mereka terus uji coba untuk menemukan produk yang tepat dan cocok bagi komunitas dan diterima pasar.

Pada 2015, produk mulai keluar dan masuk pasar. Hingga kini, Du Anyam telah melatih hampir 1.400 penganyam di 54 desa di tiga provinsi. Sekitar 800-1.000 perajin aktif kembali pada tradisi dan jadi pendapatan sampingan. Pemasukan utama warga kebanyakan dari pertanian.

Du Anyam memberikan pelatihan dalam peningkatan kualitas, desain dan nilai tambah juga akses pasar bagi para perempuan penganyam. Rata-rata serapan bisa 3.000-5.000 produk per bulan.

Upaya pemberdayaan ini pun dilakukan dengan peningkatan kapasitas para perempuan dalam memimpin dan mengkoordinasikan kegiatan di tingkat desa hingga antar desa. Juga memfasilitasi anak muda yang memiliki semangat memajukan ekonomi desa.

Du Anyam memperluas pemberdayaan kepada perempuan di Nabire, Papua dan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Meski berbeda komoditas setiap daerah, Du Anyam tetap menggunakan potensi serat alam lokal yang dimiliki di wilayah itu.

Masyarakat diajarkan tetap menerapkan sistem panen lestari. Artinya, panen hanya periode tertentu untuk memastikan pohon atau tumbuhan tetap tumbuh berkelanjutan.

Contoh di NTT ada daun lontar dan gebang, di Papua pakai kayu, dan di Hulu Sungai Utara dengan purun.

“Kami banyak belajar menganyam dari mereka, fokus kita lebih pada bagaimana design bisa lebih bagus, peningkatan kualitas dan kapasitas produksi. Saat bersamaan juga harus memastikan keberlanjutan bahan baku, yakni serat alam ini selalu ada.”

Du Anyam pun turut dalam upaya pelestarian bahan baku, misal, lontar dengan mengajak para ibu tidak membakar lontar di perkebunan. Tujuannya, bibit lontar yang tumbuh liar tidak terbakar.

“Kalau lontar habis atau purun habis, nanti menganyam bagaimana? Jadi, menganyam seperti insentif ekonomi dalam melestarikan bahan baku serat alam.”

Berkat aksi ini, pada akhir November lalu, Du Anyam mendapatkan Kehati Award 2020, untuk kategori Inovasi Kehati. Du Anyam, satu dari enam penerima Kehati Award 2020 ini.

“Yayasan Kehati sangat bangga dapat menampilkan para pejuang keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup di ajang Kehati Award 2020 ini. Sesuai dengan visi Kehati, atas jasa merekalah alam Indonesia bisa lestari, tidak hanya bagi manusia kini, juga masa depan anak negeri,” kata Riki Frindos, Direktur Eksekutif Yayasan Kehati.

 

Daun lontar tumbuh liar sebagai bahan anyaman di Flores. Foto: Yayasan Kehati

 

 

***

Du Anyam berasal dari kata Du’ bahasa dari Sika, Maumere yang berarti Ibu. Du Anyam berarti ibu menganyam.

Kegiatan social enterpreneurship ini memiliki tiga pilar yang menjadi kekuatan dalam kegiatannya, yakni, pemberdayaan perempuan, peningkatan taraf hidup dan mempromosikan budaya anyaman dengan serat alami Indonesia.

Ima merupakan satu dari 91 perempuan lebih di desanya yang mendapatkan manfaat ekonomi melalui menganyam. Mereka tak pernah menyangka, anyaman daun lontar bisa dijual dan disukai orang-orang di luar Pulau Solor.

“Awalnya, banyak becandaan dari para mama, emang ada yang mau beli anyaman dari Flores, ini kan anyaman hanya untuk acara adat,” kata Hanna kalau sedang panen membawa daun lontar. Saat itu, masyarakat tidak pernah tahu bahwa anyaman itu bisa memberikan manfaat ekonomi.

Menganyam biasa dilakukan para perempuan saat waktu luang tidak ke kebun. Kegiatan ini juga ramai dilakukan saat mereka perlu uang tunai, seperti uang sekolah, uang listrik atau beli lauk yang tak ada di kampung.

Ada harapan melalui kegiatan ini perempuan lebih berdaya, makin berdaya mereka, maka yang akan mendapatkan manfaat satu keluarga, terutama kepada anak. Biasanya, kata Hanna, kalau ada pendapatan dari laki-laki lebih teralokasi pada aset dan keperluan adat. Untuk pemasukan perempuan, bisa untuk makanan, seperti telur, tempe, tahu dan ikan dan lain-lain.

Dalam satu bulan, pendapatan sampingan ibu biasa Rp200.000-Rp350.000 dari sebelumnya mereka tidak memiliki penghasilan sampingan. Besaran tergantung dari keaktifan mereka menganyam.

Hal terpenting dalam gerakan social enterpreneurship ini, katanya, pada bercerita dan akses pasar. Du Anyam memegang akses pasar bagi penganyam hingga penting memastikan mulai dari bahan baku sampai produksi secara kualitas konsisten. Bahan baku bagus, tak berjamur atau kutuan.

Selanjutnya, memastikan rantai pasok agar permintaan konsumen terpenuhi. Dia akui ada tantangan dalam membuat anyaman seragam sangatlah sulit. Mereka pun menetapkan standar kualiatas dalam tiga tingkatan: grade A, B dan C, yang ditentukan warga dan Du Anyam.

“Ini adalah the beauty of enterprise, kita tidak akan pernah monoton mengerjakan sesuatu dan akan berbeda dan berubah.”

Du Anyam pun memiliki strategi agar perajin membuat produk dengan kualitas konsisten: grade A, aktif menganyam dan pengiriman tepat waktu. Dengan begitu, katanya, selain pendapatan lebih besar, bagi yang memiliki anak berprestasi di sekolah akan mendapatkan beasiswa dalam tabungan Simpanan Pelajar selama satu tahun. Ada sekitar 250 pelajar mendapatkan fasilitas beasiswa ini.

“Insentif ini agar ibu-ibu tidak terlalu terburu-buru menganyam karena butuh uang.”

Setiap tahun, Du Anyam evaluasi kegiatan secara dua arah. Langkah ini, kata Hanna, untuk melihat kendala atau kebutuhan masyarakat. Dia contohkan, pada 2018 Du Anyam membagikan kacamata plus untuk ibu-ibu karena mereka perlu untuk menganyam.

“Kepercayaan dan komunikasi penting untuk terus menjaga kegiatan ini terus berjalan.”

Ima senang dengan peluang dari Du Anyam ini. Tak hanya memberikan peningkatan keterampilan, juga pendapatan warga sekaligus melestarikan lingkungan.

“Sekarang bisa menabung, bisa beli beras untuk dicampur dengan jagung hasil dari kebun. Sebelumnya, pengeluaran selalu ada tapi pemasukan bingung mau kerja apa itu tidak tahu,” kata Ima.

 

 

Produk-produk anyaman dan para perajin di Flores. Foto: Du Anyam/Yayasan Kehati

 

***** Keterangan foto utama:  Anyaman daun lontar dari para perajin di Flores. Foto:Yayasan Kehati

Exit mobile version