Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun : Perjuangan Masyarakat Pesisir Keluar dari Tekanan Pandemi COVID-19

 

Momen pergantian tahun hampir mendekat lagi. Tahun ini, masyarakat pesisir mendapat cobaan dengan bencana pandemi COVID-19 yang mematikan banyak peluang usaha. Kesulitan ekonomi menjadi cobaan yang harus dihadapi nelayan bersama keluarganya.

Akibat pandemi COVID-19, banyak di antara nelayan yang harus beralih profesi karena sepinya aktivitas sektor kelautan dan perikanan. Juga, karena hasil perikanan yang didapatkan dari kegiatan melaut, tidak bisa diserap dengan baik disebabkan daya beli yang anjlok.

Sejak dinyatakan sebagai pandemi COVID-19 pada Maret 2020, Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaksanakan berbagai program penanggulangan dampak pandemi pada sektor kelautan dan perikanan. Misalnya pada sub sektor perikanan tangkap diberlakukan protokol kesehatan untuk pelaku usaha dan produk perikanan yang dihasilkan.

Pemerintah juga mempercepat penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) untuk sektor kelautan dan perikanan, terutama perikanan tangkap. Juga memastikan akses transportasi antar propinsi dan suplai logistik untuk pangan perikanan bisa tetap berjalan dengan baik kepada seluruh masyarakat di 34 provinsi.

Pemerintah juga menyalurkan bantuan seperti bantuan langsung tunai kepada masyarakat pesisir seperti nelayan, pembudidaya ikan, pengolah/pemasar, dan petambak garam. Dan pada akhir November, pemerintah menggelar program padat karya sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk masyarakat pesisir berupa reboisasi 600 ribu hektare mangrove dan transplantasi terumbu karang di 34 provinsi.

baca : Padat Karya Penanaman 600 Ribu Hektare Mangrove di 34 Provinsi Dimulai

 

Penyerahan bantuan untuk pengendalian COVID-19 bagi nelayan, pembudidaya ikan, penjual ikan dan pelaku wisata di kawasan konservasi perairan nasional Kupang, NTT. Foto : BKKPN Kupang/Mongabay Indonesia

 

Harga Ikan Anjlok

Peneliti Bidang Humaniora Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dedi Supriadi Adhuri mengatakan, pada empat bulan pertama sejak pandemi, nelayan banyak yang mengalami frustasi. Hal itu bisa terjadi, karena pendapatan dari melaut hampir tidak ada sama sekali.

Selama masa awal pandemi di Indonesia yang dimulai sejak Maret 2020 itu, pemasaran hasil perikanan mengalami penurunan signifikan hingga 50 persen lebih. Penurunan itu, terlihat dengan penurunan harga yang sangat cepat sampai titik terendah.

“Berbagai macam usaha sudah dilakukan oleh nelayan itu sendiri. Ada kelompok nelayan perempuan yang menjual dengan cara online. Juga teman-teman nelayan yang berusaha dengan koneksikan diri dengan jaringan petani di daratan untuk menjual langsung hasil perikanan,” ungkap dia kepada Mongabay-Indonesia, Kamis (24/12/2020).

Upaya yang dilakukan tersebut, diketahui tetap tak bisa menghasilkan nilai yang maksimal. Bahkan, hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup keluarga nelayan saja, saat itu juga dirasakan masih sangat sulit. Semua itu berlangsung selama empat bulan.

Menurut Dedi, situasi mulai membaik setelah aktivitas kembali dibuka seperti biasa, meski ada pembatasan-pembatasan. Sejak saat itu, secara perlahan permintaan terhadap hasil perikanan juga mulai kembali naik dan harga produk perikanan juga mulai kembali ke harga normal.

Semua itu bisa terjadi, bukan karena campur tangan dari Pemerintah Indonesia, melainkan perjuangan yang keras dari para nelayan dan masyarakat pesisir itu sendiri. Mereka berjuang untuk keluar dari kesulitan, karena sadar bahwa COVID-19 akan terus menekan perekonomian.

“Kondisi membaik, karena pergerakan natural. Orang mulai bergerak lagi, karena tidak tahan lagi dengan tekanan COVID-19,” jelas peneliti yang fokus pada antropologi kelautan itu menerangkan.

baca juga : Nasib Nelayan Semakin Terpuruk di Saat Pandemi COVID-19

 

Penjual ikan melakukan transaksi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Lamongan, Jatim. Dampak yang ditimbulkan dari wabah virus COVID-19 ini yaitu harga ikan turun drastis. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Dengan menyebut kondisi tersebut alamiah, Dedi menegaskan bahwa perjuangan masyarakat pesisir untuk keluar dari kesulitan ekonomi murni dilakukan atas kemandirian mereka. Meskipun, di saat yang sama Pemerintah melaksanakan program pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Program PEN yang mencakup bantuan-bantuan sosial itu, dinilai tidak sampai dengan merata ke masyarakat pesisir. Walau ada yang mendapatkan bantuan sosial, namun tidak sedikit ada bagian masyarakat yang tidak mendapatkan sama sekali.

“Padahal dia termasuk golongan warga miskin,” tegas anggota Dewan Pakar Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia itu.

 

Kelompok Marjinal

Selain bantuan sosial, intervensi Pemerintah juga dinilai masih belum terlihat di masyarakat pesisir, karena hingga sekarang belum ada pemecahan masalah terkait persoalan bahan bakar minyak (BBM). Hampir setiap hari, nelayan kesulitan mendapatkan BBM dan harga yang didapat pun sangat tinggi.

Tanpa ada pandemi COVID-19, kesulitan sudah dirasakan masyarakat pesisir yang disebabkan banyak faktor. Kini, dengan adanya pandemi, masyarakat merasakan kesulitan semakin bertambah parah lagi. Semua itu, harus mendapatkan perhatian dari Negara dengan mencarikan solusi yang pas dan tepat.

Mengingat pandemi belum akan berakhir, untuk menghadapi 2021 mendatang, Pemerintah harus menetapkan masyarakat pesisir sebagai bagian utama dari penyaluran program bantuan. Setidaknya, 25 persen dari seluruh bantuan program harus disalurkan ke masyarakat pesisir.

“Itu karena seperempat penduduk miskin di Indonesia itu, adanya di kawasan pesisir, dan mereka itu adalah masyarakat pesisir yang profesi utamanya menjadi nelayan,” sebut dia.

perlu dibaca : Memetakan Dampak Positif dan Negatif Pandemi COVID-19 pada Kapal Ikan

 

Aktifitas jual beli ikan di TPI Alok Maumere Kabupaten Sikka, NTT yang tampak sepi dibanding sebelum merebaknya pandemi COVID-19. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Agar bisa membangkitkan kesejahteraan ekonomi di pesisir, kolaborasi antar instansi Pemerintah dan swasta sebaiknya dilakukan dengan baik. Dengan demikian, satu dengan yang lain akan bisa saling melengkapi dan menutup celah kekurangan yang bisa berpotensi memicu gejolak sosial.

Dedi Adhuri menambahkan, secara umum masyarakat pesisir memang masuk dalam kelompok marjinal dan itu bisa dilihat dari konteks pembangunan nasional yang hampir selalu melupakan mereka. Termasuk, dengan menutup akses untuk ruang hidup dan penghidupan nelayan di laut.

“Selama ini program yang dilaksanakan di pesisir konsepnya top down, atau dari atas ke bawah. Konsep itu menandakan bahwa masyarakat pesisir dianggap sebagai kelompok bodoh yang tidak bisa diajak komunikasi dua arah,” tegas dia.

Belajar dari pandemi COVID-19 yang masih akan berlangsung pada 2021, Dedi meminta Pemerintah Indonesia untuk bisa melaksanakan progam kerja yang bisa mengangkat derajat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Lambannya Pemerintah dalam mengantisipasi dampak dari pandemi COVID-19 pada sektor kelautan dan perikanan, juga diakui Koordinator Nasional Destructive Fishing (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan. Menurut dia, Pemerintah tidak cepat tanggap menyadari bahwa pandemi akan berlangsung lama.

“Beberapa program strategis seperti sistem logistik ikan dan sistem resi gudang tidak berjalan dengan baik sampai dengan akhir tahun ini,” jelas dia.

Kondisi tersebut, berdampak negatif secara signifikan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di sana, masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan dan pembudidaya ikan skala kecil merasakan penurunan pendapatan akibat permintaan pasar yang anjlok.

baca juga : Ini Skema Jaring Pengaman Sosial untuk Nelayan dan Pekerja Perikanan

 

Seorang nelayan Pulau Langkai, Makassar, Sulsel yang pendapatannya menurun drastis terdampak pandemi COVID-19 Kini mereka bergantung pada pencarian ikan telur terbang yang hanya bisa diusahakan oleh nelayan berkapal besar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Dalam waktu sembilan bulan sejak pandemi COVID-19 berlangsung di Indonesia, sektor perikanan nasional langsung mengalami tekanan hebat. Hal itu ditandai dengan penurunan daya beli masyarakat yang mengakibatkan harga ikan anjlok dan produk perikanan tidak terserap di pasaran.

“Di Maumere, Nusa Tenggara Timur, harga ikan Cakalang turun dari Rp16 ribu per kilogram turun menjadi Rp12 ribu,” papar dia.

Sementara, di Kepulauan Riau, aktivitas ekspor ikan Kerapu ke Malaysia, Hongkong, dan Singapura juga harus terhenti akibat COVID-19. Akhirmya, Kerapu hanya terserap di pasar lokal dengan harga yang anjlok dari Rp120.000 per kg menjadi Rp50.000-Rp70.000 per kg.

 

Antisipasi Lambat

Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemaritiman untuk Kemanusiaan Abdul Halim menilai hal yang sama bahwa antisipasi dari Pemerintah terhadap dampak pandemi COVID-19 pada sektor kelautan dan perikanan sangatlah lambat.

Akibatnya, saat itu nelayan tidak bisa melaut karena informasi yang beredar di kalangan masyarakat pesisir tidak akurat. Saat itu, masyarakat kebingungan karena informasi tentang larangan ke luar rumah untuk menekan angka penularan COVID-19 masih simpang siur.

Saat kondisi tersebut berlangsung, nelayan skala kecil harus menerima kenyataan bahwa ekonomi mereka mengalami penyusutan dengan cepat. Akibatnya, untuk bisa tetap bertahan hidup, saat itu banyak diantara nelayan yang memilih untuk berhutang kepada mereka yang ekonominya stabil.

“Hutang kian menumpuk akibat usaha perikanan yang tidak bisa dijalankan. Ikan tangkapan yang mereka miliki tidak bisa dijual, karena konsumen khawatir menjadi sarana penularan virus COVID-19,” ucap dia.

Kesulitan ekonomi yang mendadak dialami masyarakat pesisir, kemudian menjadi semakin bertambah lagi, setelah Pemerintah menyalurkan bantuan sosial kepada mereka yang terdampak pandemi. Sayangnya, bansos tersebut berkualitas sangat buruk dan tidak layak konsumsi oleh manusia.

Situasi tersebut semakin menyulitkan, karena Pemerintah tidak memperlihatkan itikad untuk memperbaiki. Selama bansos disalurkan pada 2020, masyarakat masih menerima paket bantuan yang kuantitasnya hampir sama dengan kualitas yang juga buruk.

perlu dibaca : Perjuangan Industri Perikanan Tangkap Keluar dari Jurang COVID-19

 

Sejak pandemi COVID-19 dan penambangan pasir, Hamzah, nelayan Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan, hanya mendapatkan hasil paling banyak Rp.50 ribu. Foto : Nurdin Amir/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Ketua Umum Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia Effendy Wong belum lama ini mengatakan bahwa pandemi COVID-19 sudah menghantam para pembudidaya ikan yang ada di Indonesia. Salah satu komoditas yang terkena pukulan telak adalah Kerapu, karena pangsa pasar langsung menghilang.

“Sekarang dengan adanya COVID-19 ini, kita terpuruk. Saya harapkan pelaku-pelaku usaha budi daya tidak terlalu berpatah hati. Memang saja, saya sadari kita menghadapi ini sekarang. Tapi kita harus antusias kedepan ini harus bisa membaik,” harap dia.

Dengan program pemulihan ekonomi yang sedang dijalankan saat ini, Effendy berharap pangsa pasar lokal untuk Kerapu akan terbentuk dan tidak lagi mencari pasar. Bagi dia, pangsa pasar lokal masih sangat menjanjikan dan pantas untuk dikembangkan dari sekarang.

Agar bisa berkembang, yang harus diliakukan sekarang adalah bagaimana bisa melaksanakan budi daya tanpa menghabiskan biaya yang banyak, dan menjaga kualitas benih. Dari situ, dia optimis kalau pasar Kerapu akan kembali pulih, meski di awal akan sulit karena pasarnya adalah kalangan menengah ke atas.

 

Exit mobile version