Mongabay.co.id

Refleksi 2020: Tahun Kekalahan Lingkungan

Seorang bocah berdiri diantara kobaran api. Kebakaran hutan juga bisa terjadi karena ulah masyarakat atau oknum korporasi. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Tahun 2020 hampir berakhir, tahun yang dianggap salah satu periode kelam dalam kehidupan berbangsa di Indonesia khususnya, maupun secara global. Pada tahun ini, secara gamblang kita bisa melihat dari kontestasi antara sistem ekologi, sistem ekonomi dan sistem sosial, ekonomi lah yang jadi pemenang.

Dalam situasi non krisis pun, sebenarnya ekonomi berbasis infrastruktur, hutang luar negeri, investasi, dan pertumbuhan telah menjadi panglima di periode rejim pemerintah saat ini. Krisis yang dialami tahun 2020 ternyata justru memberi justifikasi lebih besar bahwa ekonomi lah yang tetap harus diselamatkan. Banyak pernyataan elit baik pusat dan daerah menempatkan ekonomi adalah segala-galanya, mereka tetap menafikan momentum emas di mana persoalan lingkungan dan sosial seharusnya justru mendapat perhatian.

Namun apa yang kita temui, investasi..investasi..investasi.

Itu saja yang terus digaungkan sebagai resep kuno dan mantra kosong. Relasi antara krisis dan lingkungan tak dianggap di mata elit, seolah keduanya tak berhubungan dan hanya hantu yang diciptakan para utopis, atau para eco-fascist.

baca : Jane Goodall: COVID-19 adalah Produk Hubungan Tidak Selaras Manusia dengan Satwa dan Lingkungan

 

Kondisi hutan di Kalimantan akibat ekspansi kelapa sawit. Foto : Greenpeace

 

Terdapat beberapa poin besar yang dapat menjadi indikasi dalam setahun ini bagaimana lingkungan dikalahkan.

Pertama, sejak dilantik untuk peride kedua pada akhir tahun 2019, tak ada kata “lingkungan” yang muncul dalam pidato visi presiden Joko Widodo dan wakilnya untuk lima tahun ke depan. Term yang lebih sering muncul adalah “investasi” dan “infrastruktur” serta “pengembangan kapasitas sumber daya manusia”. Jadi sejak awal, tak ada agenda politik lingkungan yang hendak dilaksanakan oleh penguasa.

Kedua, tak ada satupun elit yang melihat bahwa pandemi ataupun krisis yang terjadi pada tahun 2020 ini berkorelasi dengan hancurnya lingkungan. Ketika pandemi COVID-19 melanda sejak awal tahun, banyak ulasan dari beragam ilmuwan yang menyatakan bahwa COVID-19 adalah hasil dari terbukanya portal dunia alami dan dunia buatan manusia secara paksa. Namun dalam tiap pernyataan elit nasional, tak satupun yang menggarisbawahi korelasi ini. Pengesampingan ini menyingkirkan opsi-opsi alternatif dalam pengelolaan lingkungan untuk mencegah krisis lebih jauh.

Ketiga, penyangkalan ini menghasilkan sesat pikir dan praktik yang lebih parah yakni justru melihat lingkungan dan sumber daya alam sebagai komoditas yang harus dieksploitasi agar negara lepas dari krisis. Penerbitan UU Minerba dan UU Cipta Karya di tahun ini, tak lain adalah manifestasi untuk memudahkan eksploitasi sumber daya alam, dan bukan dilandasi watak serta niat untuk melakukan konservasi.

Poin terakhir, selain lingkungan yang dijadikan pelampiasan krisis, para aktor yang selama ini mengadvokasi dan merepresentasi lingkungan justru mengalami kriminalisasi dan kekerasan. Aktivis lingkungan, masyarakat adat maupun masyarakat pedesaan yang selama ini hidupnya sangat terkait dengan pemanfaatan dan penyelamatan sumber daya alam justru seringkali ditindas oleh negara dan alat-alat keamanannya baik tentara dan polisi maupun sesama sipil yakni preman-preman.

baca juga : UU Cipta Kerja, Revisi UU Minerba, dan Terbukanya Gerbang Krisis Iklim

 

Petani mempersiapkan lahan dengan cara dibakar di Sendangharjo, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, seperti dilakukan petani atau oknum korporasi untuk pembukaan lahan. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Dari laporan yang disusun oleh Elsam dan Jakarta Feminist (2020) mencatat selama tahun ini terjadi 22 kasus kekerasan terkait dengan lingkungan di 10 provinsi dan 14 kota/kabupaten. Kasus ini melibatkan korban sebanyak 48 masyarakat adat, 20 petani, dan seorang jurnalis sementara pelakunya mayoritas adalah polisi dan perusahaan.

Kelompok masyarakat kecil pemanfaat dan pengelola lingkungan justru dihadapi dengan kekerasan baik oleh aparat (resmi) maupun kekuatan preman (tidak resmi) yang sama sekali tak punya kontribusi apapun pada penyelamatan dan pengelolaan lingkungan tempatan.

Masih segar di ingatan kita tentang kasus konflik antara PT Arta Prigel vs petani di Lahat yang berakhir dengan kematian dua petani (mongabay.co.id/25 Maret 2020), perampasan tanah petani oleh PT Sindoka di Luwu Timur (kpa.or.id/4 April 2020), pembakaran dan pengrusakan mangrove oleh perkebunan sawit di lahan kelola masyarakat di Langkat yang sudah mendapat ijin kelola dari KLHK (walhi.or.id/26 Maret 2020), pembakaran pondok tani oleh PT MAR Banyuasin (tanahkita.id/1 April 2020), penangkapan Efendi Buhing dari masyarakat adat Laman Kinipan Kalimantan Tengah (kompas.com/29 Agustus 2020), serta pembakaran dan pengusiran masyarakat adat Besipae Timor Tengah Selatan oleh polisi, aparat sipil, dan preman (CNN Indonesia/17 Oktober 2020) adalah sebagian berita yang mewarnai media pada tahun ini.

Fondasi dari kekerasan dan konflik di atas juga tipikal yakni pemberian prioritas dan perlindungan pada pemilik modal oleh negara dan tiadanya keberpihakan terhadap masyarakat selaku pengelola lingkungan dalam setiap konflik tenurial. Prediksi ke depan pun masih menggelayut penuh rasa pesimis, tak lain karena negara pun melakukan hal yang sama yakni program yang ekspasionis di atas tapak-tapak alam yang selama ini dikelola masyarakat justru akan digenjot.

Rangkaian program strategis nasional seperti food estate (lumbung pangan), jalan tol lintas pulau dan proyek Bali Baru dinilai akan menjadi arena konflik baru namun kali ini wasitnya yang jadi pemain.

perlu dibaca : Menyasar dan Memenjarakan Para Peladang

 

Jenazah Suryadi di rumah keluarganya, sebelum dimakamkan. Suryadi warga Desa Pagar Batu, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, yang tewas diserang petugas keamanan perusahaan atau sekuriti sawit PT. Arta Prigel, Sabtu [21/03/2020]. Foto: Dok Walhi Sumsel

 

Ketiadaan perubahan dalam watak pemerintah dalam memandang dan mengelola lingkungan menggembungkan rasa pesimis bahwa tahun ke depan lingkungan hidup dan kehidupan para penjaganya (masyarakat pedesaan, nelayan, masyarakat adat serta penggiat lingkungan) akan lebih baik.

Kebijakan terakhir melalui UU Ciptakarya (serta turunannya nanti) adalah bentuk dan cara paling efektif (karena legal-bukan adil.pen) agar semua proyek investasi dan proyek-proyek skala besar besutan pemerintah tak akan terhalang, baik oleh regulasi sebelumnya maupun dari “gangguan” masalah tenurial, masalah adat, atau masih digarapnya lahan oleh petani.

Jika masalahnya tak bisa diselesaikan secara cepat, lebih baik ubah aturannya, gas terus, jangan terlalu banyak rem. Padahal lingkungan adalah rem bagi percepatan ekonomi, mekanisme keselamatan yang juga harus ada jika tak hendak celaka. Cara berpikir pragmatis ini seolah membuta terhadap kecenderungan bahwa kacamata kuda investasi tanpa moral terhadap lingkungan dan sosial hanya akan menumbuhkan kleptokrasi. Kasus korupsi pada tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan terkait ekspor benih lobster telah membuktikan itu.

Salah satu perintis kajian ekologi alam liar, Aldo Leopold dalam bukunya Sand County Almanac (1949) secara elegan menyatakan bahwa: “Health is the capacity of the land for self-renewal. Conservation is our effort to understand and preserve this capacity”. Namun apa yang terjadi setelah 7 dekade berlalu sejak Leopold, tekanan yang dialami lingkungan terus bertambah sementara upaya konservasi oleh masyarakat yang hanya sekedar “menyehatkan” kembali suatu kondisi alam terus menerus mendapat tantangan yang destruktif dan eksploitatif.

penting dibaca : Gurita Korupsi, Oligarki dan Tuna Empati di Masa Pandemi

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo memegang anakan lobster di di Tangerang, Sabtu (4/7/2020). Foto : KKP

 

Sistem yang dijalankan negara terus melakukan abstraksi atas ruang sejak dalam pikiran di mana alam dipandang adalah suatu objek yang dapat dibelah-belah sesuai kebutuhan. Interelasi fisik, biologis, biokimia, keanekaragaman hayati, maupun sosial dan kultural di dalam lanskap tersebut dinafikan yang pada akhirnya berujung pada fragmentasi lanskap, keterputusan antar entitas ekosistem, dan krisis ekologis yang serius.

Maka dalam pertarungan klasik segitiga antara developmentalist, conservationist, dan eco-populist pada tahun 2020 di Indonesia secara mutlak dimenangkan oleh kaum developmentalist. Di sudut sana para conservationist akan menangisi hancurnya lingkungan dan musnahnya keanekaragaman hayati, sementara di sudut yang lain para pendukung eco-populist harus menatap pilu melihat lapis demi lapis ekosistem hancur meninggalkan manusia gembel yang semakin jauh tenggelam dalam kemiskinan dan kesengsaraan.

Khususnya pada tahun 2020, momentum penting pandemi terlewat tanpa refleksi kritis terhadap dosa-dosa ekologis kita. Menyitir Enric Sala (2020), “…sesungguhnya sebuah ekosistem yang sehat merupakan antivirus terbaik” yang tentunya akan bermanfaat bagi umat manusia. Tapi nyatanya, ekosistem yang sehat tidak selalu yang diinginkan oleh penguasa, maka peran para pembela lingkungan adalah pengganggu dan biang onar, bahkan kadang dituduh eco-fascist, entah karena tak paham atau sekedar membangun image buruk saja terhadap penggiat dan pembela lingkungan.

 

*Yoppie Christian. Peneliti di Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor

 

***

 

Keterangan foto utama : Seorang bocah berdiri diantara kobaran api. Kebakaran hutan juga bisa terjadi karena ulah masyarakat atau oknum korporasi. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version