Mongabay.co.id

Babak Baru Polemik Cantrang

Nelayan memperbaiki jaring yang rusak. Jaring ini digunakan untuk tangkapan ikan tongkol. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Selain bening benih Lobster (BBL) yang menjadi polemik dan membuat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), polemik lain juga muncul belakangan ini berkaitan dengan penggunaan alat penangkapan ikan (API) untuk kapal perikanan.

Polemik tersebut muncul, setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 18 November 2020 menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.59/2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan Laut Lepas.

Penerbitan peraturan tersebut dilakukan untuk menggantikan peraturan lama, yakni Permen KP No.71/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Tak hanya menggantikan Permen KP No.71/2016, Permen KP 59/2020 juga di saat yang sama sekaligus menganulir Permen KP No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (sein net).

baca : Pelegalan Cantrang Jadi Bukti Negara Berpihak kepada Investor

 

Sebuah kapal yang menangkap ikan dengan jaring super trawl (pukat hela). Foto : Greenpeace

 

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai, Permen yang baru memicu polemik baru tentang API, karena Cantrang resmi dikeluarkan dari kategori API yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan. Aturan tersebut termaktub dalam pasal 36 permen tersebut.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, dalam pasal 36 disebut bahwa API yang masuk kategori melanggar dan merusak adalah pair sein, lampara dasar, pukat hela dasar berpalang (beam trawl), dan pukat hela kembar berpapan (twin bottom otter trawl).

Kemudian, pukat hela dasar dua kapal (bottom pair trawl), pukat hela pertengahan dua kapal (midwater pair trawl), perangkap ikan peloncat (aerial trap), dan muro ami (drive-in net). Seluruh alat tangkap tersebut masuk kategori mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan.

Susan mempertanyakan penerbitan Permen KP No.59/2020 yang dilakukan saat mantan Menteri KP Edhy Prabowo masih menjabat. Menurutnya, aturan pelegalan Cantrang tidak disertai dengan kajian ilmiah yang jelas dan tegas.

“Sungguh aneh KKP menerbitkan Permen ini pada tahun 2020, dua tahun setelah dokumen Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2018 dipublikasikan,” ucap dia belum lama ini.

Dalam Permen KP yang baru diterbitkan itu, ada sejumlah persoalan serius yang seharusnya tidak muncul. Pertama, Permen sudah mengabaikan temuan KKP yang dipublikasikan dalam dokumen Statistik Sumber daya Laut dan Pesisir yang terbit pada 2018.

Sesuai dokumen tersebut, Cantrang disebut memiliki dampak negatif yang memicu dorongan untuk menangkap ikan yang tidak efektif dan bersifat eksploitatif, menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah ikan, memicu konflik sosial-ekonomi nelayan di tingkat akar rumput.

baca juga : Edhy Prabowo Harus Batalkan Rencana Revisi Pelarangan Cantrang, Kenapa?

 

Sebuah kapal penangkap ikan dengan jaring pukat hela (trawl). Foto : awionline.org

 

Dampak Negatif

Persoalan serius kedua, adalah Permen KP 59/2020 melayani pengusaha besar dalam sektor perikanan. Indikator hal tersebut, adalah izin penggunaan Cantrang diberikan kepada kapal penangkap ikan dengan ukuran tonase 10 hingga 30 gros ton (GT).

Padahal, di mata Susan, KKP seharusnya belajar dari Permen KP 12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Permen tersebut juga melayani pengusaha besar pada sektor perikanan.

“Artinya, dengan memperhatikan ukuran kapal yang diberi izin menggunakan cantrang, kapal-kapal pengusaha perikanan skala besarlah yang dilayani oleh Permen 59/2020 ini,” terang dia.

Persoalan serius terakhir dalam Permen KP 59/2020 akan muncul, karena jika ada izin penggunaan Cantrang diberikan kepada kapal perikanan yang beroperasi di WPP 712 yang mencakup wilayah perairan laut Jawa, maka itu sama saja KKP mendorong eksploitasi sumber daya ikan di kawasan itu.

“Itu sama saja memanjakan para pengusaha perikanan skala besar yang rerata berada di kawasan utara Pulau Jawa,” tambah dia.

Tak cukup di situ, penerbitan Permen KP 59/2020 juga menjadi penanda bahwa KKP tidak lagi mempertimbangkan keberadaan 470.020 nelayan skala kecil yang wilayah operasionalnya mencakup sepanjang pantai Utara pulau Jawa dan bergantung pada sumber daya ikan untuk bertahan hidup.

Di mata Susan, kehadiran Permen KP 59/2020 hanya akan memperberat ancaman kehidupan nelayan skala kecil yang berada di kawasan Utara pulau Jawa. Sebelumnya, mereka harus berhadapan dengan dampak buruk krisis iklim dan ekspansi proyek reklamasi, dan juga proyek tambang pasir.

“Dengan terbitnya Permen No.59/2020, semakin lengkaplah ancaman yang harus dihadapi oleh nelayan skala kecil yang tinggal di kawasan utara Pulau Jawa,” pungkas dia.

perlu dibaca : Susi : Cantrang Itu, Sekali Tangkap Bisa Buang Banyak Sumber Daya Ikan

 

Kearifan lokal menjaga laut dijalankan penuh nelayan Aceh dengan tidak menggunakan bom atau pukat harimau. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Inkonsistensi penerapan aturan API yang diperlihatkan KKP tersebut, menjadi kebijakan yang kontradiksi untuk sekarang. Hal itu, karena aturan tentang jaring pukat hela (Trawl) sudah lama dihapus oleh Presiden RI, tepatnya melalui Keputusan RI Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl.

Pernyataan tersebut diungkapkan Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan belum lama ini di Jakarta. Menurut dia, dengan terbitnya Permen KP 59/2020, maka alat tangkap seperti Cantrang, Dogol, Pukat Ikan, dan Pukat Hela Dasar Udang diizinkan beroperasi lagi.

Bagi dia, perubahan aturan API dalam lima tahun terakhir, menjelaskan bahwa tata kelola perikanan yang ada di Indonesia masih sangat buruk dan itu menegaskan bahwa selama itu telah berjalan inkonsisten kebijakan yang merugikan nelayan, dan pelaku usaha.

“Dan ancaman keberlanjutan sumber daya ikan,” tegas dia.

 

Amburadul

Buruknya tata kelola tersebut, menjelaskan bahwa KKP sedang kehilangan obyektivitas dan orisinalitas dalam merumuskan kebijakan tentang penggunaan alat tangkap. Jika terus dibiarkan, maka itu akan memperburuk tata kelola perikanan.

“Karena aturan bisa berubah 180 derajat tergantung siapa yang menjadi Menteri dan Menteri berteman dengan siapa,” tutur dia.

Menurut Abdi Suhufan, perubahan aturan bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu, terlebih karena sifat dinamis dari sumber daya ikan. Akan tetapi, perubahan tersebut perlu dilakukan secara hati-hati dengan pertimbangan teknis yang matang.

Indikasi tata kelola yang buruk, terlihat dari kebijakan yang ada dalam Permen KP 59/2020 dengan mengizinkan penggunaan API Cantrang oleh kapal perikanan dengan ukuran di bawah 30 GT yang beroperasi di jalur II WPP 712.

Kebijakan tersebut dinilai salah, karena WPP 712 yang mencakup wilayah perairan Laut Jawa status sumber daya ikannya saat ini sudah dalam pemanfaatan berlebih atau over exploited. Selain itu, kebijakan yang sama berlaku untuk zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) WPP RI 711 Laut Natuna.

Beleid tersebut juga membolehkan kapal Cantrang ukuran di atas 30 GT beroperasi di sana,” jelas dia.

baca : Peralihan Cantrang, Pilih Mengganti atau Berhenti Melaut?

 

 

Dalam penilaian Abdi Suhufan, kebijakan untuk ZEEI 711 juga bertolak belakang dengan hasil uji coba pengiriman kapal Cantrang yang dilaksanakan pada Mei 2020 lalu. Saat itu, uji coba berakhir gagal, karena karakteristik perairan Natuna dinilai tidak cocok dengan Cantrang.

Peneliti DFW Indonesia Muh Arifuddin menyatakan keraguannya atas upaya pengawasan dan penegakan hukum yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk pelaksanaan Permen KP 59/2020. Bagi dia, aparat penegak hukum di lapangan akan kebingungan menegakkan aturan.

“Karena kegiatan yang tadinya dilarang, kini dibolehkan,” sebut dia.

Menurut dia, masa transisi dan perubahan tersebut akan berpotensi menimbulkan ruang transaksi di tengah laut. Akibatnya, ekonomi biaya tinggi masih akan terus terjadi dan nelayan serta pelaku usaha yang akan menanggung akibatnya.

Selain itu, dia juga mensinyalir masih banyak kapal Cantrang di Pantura Jawa yang belum melakukan ukur ulang dan terindikasi melakukan mark down. Dengan kata lain, KKP masih berhutang untuk memastikan kapal Cantrang di Pantura Jawa telah melakukan ukur ulang.

Agar persoalan itu tidak semakin membesar, Arfi menyarankan agar Presiden RI Joko Widodo melakukan evaluasi terhadap Permen KP 59/2020 yang bertolak belakang dengan Keppres 39/1980. Sesuai Keppres tersebut, seharusnya penggunaan Trawls dan pukat tarik sebaiknya dihilangkan secara bertahap di laut Indonesia.

 

***

 

Keterangan foto utama : Nelayan memperbaiki jaring yang rusak. Jaring ini digunakan untuk tangkapan ikan tongkol. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version