Mongabay.co.id

Melihat Kesuksesan Sasi Gurita di Minahasa Utara

 

Dance Amenda memeragakan alat tangkap bernama ketang (kepiting), yang dia gunakan untuk mendapatkan gurita atau dalam bahasa lokal disebut boboca. Dance adalah nelayan desa Gangga Satu, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Dihadapannya ada nelayan dari Arubara, Ende Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), menyimak dengan saksama. Kegiatan itu merupakan bagian dari “Anjangsana Mitra: Kunjungan Saling Belajar dan Temu Mitra Yayasan Tananua Flores – Perkumpulan Yapeka.

Sejak awal dekade 1990, Dance telah menjalani profesi sebagai penangkap gurita. Secara teknis, dia pernah melakukan penangkapan dengan alat tangkap jubi. Namun, belakangan teknik itu telah dia tinggalkan. Kini, Dance lebih sering menggunakan ketang yang terbilang efektif digunakan menangkap gurita, tanpa harus menyelam.

Menurutnya, gurita merupakan produk perikanan yang relatif potensial. Dalam sekali melaut, dia bisa mendapat 10-15 kg. Bahkan, harga jual gurita sempat mencapai Rp.45ribu hingga Rp.50ribu per kilogram. Namun, turunnya permintaan pasar akibat pandemi COVID-19 terbilang mempengaruhi produktifitas nelayan. Kini mereka hanya menangkap sekadarnya untuk dijual ke pasar lokal.

“Kalau bicara hasil, hasil boboca (gurita) lebih terasa. Tahun lalu harga boboca lumayan naik. Jual ke penampung di sini, kemudian mereka jual ke Likupang. Sekarang penangkapan lagi turun, karena harganya lagi turun. Harga per kilogram sekarang Rp15 ribu, sempat Rp10ribu,” terang Dance ketika ditemui di pesisir Gangga Satu, Kamis (10/12/2020).

baca : Meski Eksportir Terbesar, Perikanan Gurita Indonesia Belum Berkelanjutan

 

Dance Amenda memeragakan penggunaan ketang, alat untuk menangkap gurita di desa Gangga Satu, Minahasa Utara, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Aswadi Sahari, mantan Kepala Desa Bulutui, sempat menyaksikan proses belajar nelayan setempat dalam memodifikasi alat tangkap. Proses belajar itu kemudian menghasilkan dua alat tangkap yang dikenal dengan nama ‘pocong’ dan ketang.

Pocong biasanya terbuat dari batu dan diikat dengan kain hingga berbentuk menyerupai gurita. Alat ini, terbagi atas 2 pancing, yang pertama berfungsi untuk menarik perhatian gurita, satunya lagi untuk mengaitnya. Sementara, ketang bisa dibuat sendiri dari bahan dasar kerang atau membeli pada pembuat alat tangkap.

“Kami di sini sering bereksperimentasi, bahan apa yang tepat untuk jadi alat tangkap. Bisa dari kayu, semen, bahkan kainnya bisa berganti-ganti warna. Karena tanpa praktik, tidak bisa jadi. Ternyata dari hari ke hari, masyarakat lebih suka yang warna orange atau merah,” ujar Aswadi.

baca juga : Jerit Hati Nelayan Gurita di Banggai, Tidak Punya Penghasilan Akibat Pandemi Corona

 

Alat tangkap ketang berwarna merah dan kuning yang digunakan nelayan Bulutui, Minahasa Utara, Sulut untuk menangkap gurita. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Kisah ‘Rumah Boboca’

Sejak November 2020 Gangga Satu telah menetapkan perairan wilayah pengelolaan penangkapan gurita yang dinamai ‘Rumah Boboca’ seluasnya 5,8 hektar. Pengelolaan penangkapan gurita dengan menerapkan rentang waktu penangkapan dan pelarangan penangkapan gurita seperti konsep ‘sasi’. Pada Januari 2021, wilayah itu akan dibuka. Begitu tenggat yang ditentukan tiba, dalam kurun 7 hari, warga diperbolehkan menangkap gurita.

Sebelumnya, Januari 2020, konsep pengelolaan wilayah gurita telah diterapkan lebih dulu oleh desa tetangganya, Bulutui, dengan luas 22,9 hektar yang terletak di salah satu lokasi penangkapan gurita yang dikenal dengan nama Napo Ila.

Moses Corneles, Kepala Desa Gangga Satu mengatakan, setelah kerja sama dengan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam (Yapeka), pihaknya mengkomunikasikan rencana itu pada warga desa. Respon positif masyarakat, kemudian mendorong ditetapkannya Peraturan Kepala Desa (Perkades). Hasilnya, selama 3 bulan di wilayah ‘Rumah Boboca’ tidak boleh ada aktifitas penangkapan gurita.

Sebagai penanda, pemerintah desa memasang pelampung di wilayah pengelolaan gurita. Jaraknya antara 100 meter. Ketentuan lain yang diatur dalam Perkades Gangga Satu adalah sanksi seperti teguran atau peringatan lisan, surat pernyataan bagi yang melanggar, penyitaan alat tangkap hingga larangan mengikuti panen atau masa pembukaan ‘Rumah Boboca’.

“Yang dilarang tangkap hanya boboca saja. Ikan lain boleh. Melintas juga boleh. Kalau kami larang penangkapan ikan otomatis mereka tidak setuju, tapi ini hanya boboca. Jadi mereka setuju dan ikut jaga,” jelas Moses.

perlu dibaca : Hari Gurita Internasional, Saatnya Nasib Nelayan Gurita di Indonesia Diperhatikan

 

Rumah Boboca yaitu perairan wilayah penangkapan gurita dengan papan penanda wilayah di Desa Bulutui, Minahasa Utara, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Aswadi Sahari, mantan Kepala Desa Bulutui menceritakan, penetapan wilayah ‘Rumah Boboca’ didasari oleh niat untuk memberi kesempatan perkembangbiakan gurita. Sebab, dia sempat menyaksikan, dari hari ke hari jumlah tangkapan gurita semakin berkurang.

“Ada beberapa tempat (diusulkan untuk pengelolaan gurita), tapi Napo Ila yang disetujui masyarakat. Di sana memang ada sedikit rintangan dari nelayan yang bukan penangkap boboca, jadi kami sampaikan yang dilarang hanya khusus boboca,” ujar Aswadi.

Menurut dia, setelah penetapan Perkades tahun 2019 di desa Bulutui, perlu ditindaklanjuti dengan mengkomunikasikan pada desa-desa tetangga. Sebab, selain memberi informasi tentang pengelolaan kawasan, warga desa lain juga dipandang perlu mengetahui adanya sanksi bagi pihak yang melanggar.

“Saya kira, ‘Rumah Boboca’ akan efektif (mengelola gurita) tapi perlu kesadaran masyarakat,” kata Aswadi.

Efra Wantah, Koordinator Program Yapeka di Sulut menjelaskan, temporary closure atau konsep buka-tutup beranjak dari ide dan pengalaman Blue Venture yang sudah diuji coba di Banggai Laut dan Wakatobi. Selain itu, dia menilai, program pengelolaan wilayah tangkap gurita ini didorong oleh penilaian perannya dalam peningkatan ekonomi masyarakat.

Dari sisi penangkapan, alat yang digunakan nelayan terbilang ramah lingkungan. Kemudian, berdasarkan informasi biologisnya, pembesaran gurita terbilang cepat, bertelur dalam jumlah banyak dan area jelajahnya cenderung kecil. Ditambah lagi, pada tahun 2018, harganya yang stabil dan tinggi sempat menginspirasi nelayan di tempat lain menangkap gurita.

“Di Bulutui sempat pembukaan (penangkapan gurita) dan ada peningkatan berat dan ukuran dari gurita yang ditangkap. Tapi dari data, sedikit lebih banyak dibanding sebelum penutupan. Karena ada hambatan di masa pandemi, yang menyebabkan nelayan beristirahat dari penangkapan gurita,” kata Efra.

baca juga : Meski Harga Gurita Merosot Tajam, Nelayan Ende Tetap Melaut

 

Pengumpul memperlihatkan gurita hasil penangkapan nelayan dari desa Gangga Satu, Minahasa Utara, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Saling Berbagi Pengetahuan

Muhamad Isnaini, penangkap gurita dari Arubara, NTT, mengatakan, meski memiliki kemiripan namun secara operasionalnya terdapat perbedaan cara menggunakan alat tangkap gurita. Di Ende, selain menggunakan alat pancing nelayan juga menggunakan gancu dari besi yang dibentuk seperti mata pancing. Setelah itu, mereka harus menyelam untuk menangkap ikan.

“Saya mendapat pengetahuan dari masyarakat dan nelayan, terkait pengelolaan rumah boboca dan alat penangkapannya. Saya berharap, ide-ide yang kami pelajari bisa diterapkan di Ende juga, termasuk membuat (konsep pengelolaan gurita seperti) rumah boboca,” kata Isnaini.

Metty Wasa, Manajer Program Yayasan Tananua Flores menambahkan, hasil pembelajaran ini akan menjadi pendorong pengembangan proses dan mekanisme serupa di tempatnya. Saat ini pihaknya telah memiliki data dari masing-masing perairan wilayah penangkapan yang akan jadi pertimbangan bagi wilayah pengelolaan gurita.

“Pada dasarnya situasi penangkapan gurita antara nelayan di Ende dengan di sini hampir sama. Yang membedakan dari sisi pengorganisasian saja, proeses menghadirkan mereka dalam pertemuan dan kegiatan-kegiatan. Jadi tidak puas dengan tangkap dan jual ikan saja. Itu yang harus kami tingkatkan lagi,” tambah Metty.

Erwin Sipahutar, Partnership & Network Manager Blue Venture menjabarkan, anjangsana itu merupakan ajang saling tukar pengetahuan antara nelayan dan penangkap lobster dari tempat berbeda. Meski fokus utama terbilang sama, namun perspektif yang diterapkan akan berbeda di masing-masing tempat.

“Kalau sekarang, mereka ingin belajar tentang ‘Rumah Boboca’. Sementara Yayasan Tananua dulunya banyak mengorganisir petani, jadi mereka lihat perbedaan mengorganisir petani dengan nelayan. Nanti ketika mereka pulang, mereka punya inspirasi baru yang bisa diterapkan di daerah masing-masing,” ujar Erwin.

Anjangsana dilaksanakan di tiga lokasi yaitu Manado, Desa Bulutui dan Desa Gangga Satu, Minahasa Utara pada pada 8-11 Desember 2020. Dalam kurun waktu itu, penyelenggara kegiatan menerapkan protokol kesehatan untuk meminimalisir potensi penularan virus. Peserta diwajibkan menjaga jarak, menggunakan masker dan mencuci tangan. Bahkan, peserta dari Manado harus mengikuti rapid test.

“Kami harus memastikan tiap peserta yang hadir harus dalam keadaan sehat. Kami juga membatasi jumlah peserta seminim mungkin, jaga jarak, cuci tangan dan lain sebagainya. Kami ingin pastikan tingkat penularannya rendah. Jadi protokol kesehatan akan diterapkan sampai tiba di rumah masing-masing,” pungkas Erwin.

 

Ilustrasi. Dedy, seorang nelayan tradisional penangkap gurita di perairan Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Sulut. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version