Mongabay.co.id

Ulasan Tutup Tahun: Kala Perhutanan Sosial Tak Masuk Proyek Strategis Nasional

Sungai Utik airny bening. Air hijau zamrud menandakan sungai yang dalam. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

 

 

Pada 3 November lalu Presiden Joko Widodo mengadakan rapat terbatas dan meminta jajarannya menyelesaikan target perhutanan sosial. Program reforma agraria dan perhutanan sosial sudah memasuki tahun keenam. Pemerintahan Jokowi periode pertama menargetkan 12,7 juta hektar hutan untuk alokasi hutan rakyat. Sampai Desember 2020 ini, baru terealisasi sekitar 4,4 juta hektar.

Dalam ratas itu, Jokowi mengatakan, perhutanan sosial bukan sebatas pemberian izin atau mengeluarkan surat keputusan (SK) kepada masyarakat. Terpenting lagi, katanya, pendampingan untuk program-program lanjutan, seperti, aspek bisnis perhutanan sosial sesuai kemampuan masyarakat.

Dia contohkan, ada bisnis ekowisata, agrosilvopastoral, bioenergi, bisnis hasil hutan bukan kayu, agroforestri dan lain-lain.

“Semua sebetulnya menghasilkan, bisa menyejahterakan, tetapi sekali lagi pendampingan ini sangat diperlukan,” katanya.

Pendampingan ini, katanya, harus terintegrasi, mulai setelah surat keputusan, penyiapan sarana dan prasarana produksi, hingga pelatihan-pelatihan. Kalau itu jalan, katanya, kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) akan berkembang dengan baik.

Bambang Supriyanto, Direktur Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan, sedang menyiapkan peta jalan (roadmap) mengejar target percepatan di sisa waktu dengan berkolaborasi bersama pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil maupun akademisi.

Sampai 28 Desember, realisasi perhutanan sosial mencapai 4.417.937,72 hektar dalam distribusi akses. Sebesar 1.656.161,15 hektar hutan desa, 792.398,64 hekar hutan kemasyarakatan, 353.861 hektar hutan tanaman rakyat, 437.739,76 hektar Kulin KK, 30.119,49 hektar IPHPS, dan 56.903 hutan adat. Ada 1.090.754 hektar luas indikatif hutan adat.

Berdasarkan data KLHK, kontribusi perhutanan sosial dalam kebutuhan nasional mencakup banyak sektor, antara lain, untuk buah-buahan 55%, kayu-kayuan 9,6%, tanaman pangan 6,28%, aren 6,28%, kopi 4,67%, dan lain-lain.

Sedangkan kontribusi tenaga kerja di perhutanan sosial bisa menyumbang hampir 2%, sekitar 2.196.621 tenaga kerja dari total 136.180.000 tenaga kerja.

Angka ini, lebih rendah dibandingkan 2018 mencapai 1,3 juta hektar dan 2019 sampai 1,6 juta hektar. “Tahun ini memang ada penurunan 1 juta hektar dibandingkan tahun sebelumnya karena pandemi menghambat proses perizinan.”

KLHK pun melakukan terobosan untuk percepatan mencapai target di tengah situasi pandemi ini dengan menerbitkan Perdirjen PSKL Nomor 13 Tahun 2020 pada Oktober lalu yang mengatur tata cara verifikasi subyek penerima dan obyek perhutanan sosial secara virtual.

Berdasarkan data KHLK, penduduk miskin di area hutan sekitar 10,2 juta atau 36,73% dari total penduduk miskin di Indonesia. Kondisi masyarakat sekitar hutan juga mengalami ketimpangan dalam akses pemanfatan hutan, sekitar 96% dikelola swasta, hanya 4% masyarakat.

“Dengan perhutanan sosial, lapangan pekerjaan terbuka dan jadi solusi dalam kondisi COVID-19 dan mengurai permasalahan terkait ketimpangan akses,” katanya.

 

Seorang warga memperlihatkan biji kopi di Hutan Desa Labbo yang dikelola dengan skema Perhutanan Sosial sejak 2010. Foto : Burung Indonesia/Rekam Nusantara

 

Berdasarkan survei Katadata Insight Center, dari 210 orang ketua dan pengurus dari 103 kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS)melalui saluran telepon menunjukkan perhutanan sosial berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.

Data KLHK mengatakan, ada 873.670 keluarga dan 6.690 surat keputusan KLHK.

Survei ini menyebutkan, 98% responden pendapatan meningkat sejak bergabung dalam KUPS, hanya 1,6% mengatakan tidak. Sekitar 46% responden menjawab pendapatan naik dua kali lipat, 25,8% pendapatan naik tidak sampai dua kali lipat, 25,8% pendapatan naik 2-3 kali lipat dan 2,4% naik lebih tiga kali lipat.

Dari sisi lingkungan, 87,6% responden menjawab kualitas tanah membaik sejak status perhutanan sosial diperoleh, 86,2% menjawab hutan semula hampir gundul mulai menghijau, 66,2% bilang, kualitas mata air membaik dan muncul. Kemudian, 20% menyatakan satwa liar yang semula hilang kembali muncul.

Swary Utami Dewi, Anggota Tim Penggerak Percepatan Program Perhutanan Sosial mengatakan, ada beberapa tantangan dihadapi dalam mencapai perhutanan sosial.

“Masih minim akses modal maupun pasar, rendahnya kapasitas sumber daya manusia, dan lembaga serta minim pendampingan.”

Dalam upaya pencapaian perhutanan sosial, katanya, sangat perlu pendampingan dan penguatan kapasitas kelompok masyarakat.

 

Tak lagi proyek strategis

Beberapa pekan setelah presiden rapat terbatas membahas realisasi perhutanan sosial, masih November 2020, pemerintah menebitkan Peraturan Presiden Nomor 109/2020 tentang Percepatan Pelaksanan Proyek Strategis Nasional. Ia perubahan ketiga dari Perpres Nomor 3 /2016 dan Perpres Nomor 56/2018.

Dalam aturan ini tercantum 201 proyek da 10 program mencakup 23 sektor. Sayangnya, program perhutanan sosial yang sebelumnya tercantum, hilang dari list proyek strategis nasional (PSN).

Dalam regulasi ini, PSN lebih banyak pada pembangunan industri ekstraktif, jalan tol, industri pengolahan, kilang, smelter dan infrastruktur. Pada Perpres 56/2018, program pemeratan ekonomi mencakup pada sertifikasi lahan, perhutanan sosial, legalisasi lahan transmigrasi, peremajaan perkebunan rakyat, tanah obyek reforma agraria dan pendidikan maupun pelatihan vokasi. Dalam Perpres 109/2020, hanya tertulis program pemerataan ekonomi.

 

Hutan alam yang masuk izin HKM koperasi, yang ngurus perusahaan. Warga Pulau Padang menolak hutan alam jadi akasia. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan menyebutkan, bukti penegasan alokasi ruang sebesar-besarnya ke depan bukan untuk menjawab ketimpangan lahan dan mensejahterakan masyarakat, tetapi sepenuhnya untuk investasi skala besar.

“Ketika perhutanan sosial tidak menjadi bagian dari itu (PSN), jadi mau mengatakan, inisiatif pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang menjadi terobosan enam tahun lalu itu dianggap tidak strategis dan tidak penting. Makanya dikeluarkan.”

Situasi ini, katanya, jelas kontradiksi dengan program perhutanan sosial yang dikatakan masuk dalam UU Cipta Kerja, namun dalam pelaksanaan tak didukung penuh. Berdasarkan data Madani Berkelanjutan, Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) masih ada wilayah yang tumpang tindih dengan migas 1,5 juta, minerba 546.000 hektar, HPH 2.000 hektar, HTI 5.000 hektar dan sawit 579.000 hektar.

Berdasarkan penelitian, kalau ada pemberian izin pada lokasi PIAPS yang berisiko tinggi itu memiliki potensi kontribusi 34,6% terhadap upaya penurunan emisi di sektor kehutanan.

Dengan dukungan pendampingan kelembangaan, program perhutanan sosial akan memberikn dampak ekonomi yang besar.

“Perhutanan sosial ini terbukti bisa memberikan manfaat besar jika diperbaiki. Pemerintah harusnya memperkuat dan mempercepat agar perhutanan sosial bisa jadi model dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan di masa mendatang.”

Kasmita Widodo, Ketua Badan Registrasi Wilayah Adat pun menyayangkan perhutanan sosial tak masuk dalam list PSN, berarti komitmen berkurang.

“Apakah dengan ada hilangnya unsur-unsur (perhutanan sosial dan reforma agraria) apa atinya tidak menjadi perhatian untuk pemerintah?”

TORA, perhutanan sosial, termasuk hutan adat merupakan aset penting masyarakat lokal/adat, juga punya nilai sosial budaya. Untuk itu, pengembangan ekonomi di aset dan wilayah itu bertumpu pada kekuatan lokal, bukan investasi skala besar.

Pemerintah, katanya, perlu menyiapkan tranformasi dan inovator lokal, koperasi bisa menjadi model kelembagaan ekonomi.

Investasi skala besar akan memisahkan hubungan masyarakat adat dengan tanahnya. Tanah, katanya, jati diri masyarakat adat.

Dewi Kartika, Sekretaris Jederal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, selama enam tahun ini masuk PSN saja tak ada jaminan bisa berjalan sesuai harapan rakyat.

 

Salah satu titik hutan di Taman Nasional Lore Lindu, Sigi, Sulawesi Tengah. Ia juga bagian dari hutan adat Marena. Masyarakat adat bisa mengambil hasil hutan bukan kayu, dengan tetap menjaga kelestarian. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

“Buktinya reforma agraria sebagai program prioritas mengalami macet total. Apalagi janji reforma agraria dari pelepasan klaim kawasan hutan. Banyak konflik agraria rakyat dengan Perhutani dan perusahaan HTI tidak menemukan jalan cerita pengakuan hak secara penuh.”

Situasi ini, katanya, bisa tambah parah kalau reforma agraria dan perhutanan sosial tidak program strategis lagi. Dewi menilai, kemunduran makin jauh dari niat baik pemerintah terhadap tuntutan rakyat atas penyelesaian konflik dalam kerangka reforma agraria.

Kalau melihat daftar proyek strategis nasional, katanya, arah pembangunan ke depan bertumpu pada pengadaan tanah bagi investasi skala besar besar di bidang food estate, pembangunan infrastruktur dan kawasan pariwisata premium.

“Ini proyek-proyek yang anti reforma agraria. Karena merampas dan menggusur tanah rakyat. Positifnya, reforma agraria tidak disandingkan lagi dengan program-program anti rakyat.”

Pemerintah coba meyakinkan walau tak masuk dalam list PSN, tetapi tetap berkomitmen pada perhutanan sosial. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, perhutanan sosial masuk satu dari tiga fokus kerja pada 2021, yakni, pertama, pemantapan perhutanan sosial sebagai basis pembangunan ekonomi rakyat dengan bobot kegiatan akses lahan, kesempatan usaha dan fasilitasi terintegrasi.

Kedua, pemulihan lingkungan secara sistematis, masif, meluas, dan melembaga. “Upaya ini meliputi pemulihan gambut dan mangrove, serta rehabilitasi hutan dengan kerja bersama secara besar-besaran, ekspansif, substansial degan muatan kerja rehabilitasi berupa pembibitan, penanaman dan pemeliharan.”

Ketiga, penyederhanaan bagian elemen masyarakat untuk usaha produktif, dengan pengawasan standard dan penegakan hukum dengan tujuan lingkungan berkelanjutan.

 

Aksi berbagai elemen masyarakat menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di berbagai wilayah di Indonesia. Foto : KPA screenshoot KPA

 

  

Ada omnibus law

Pemerintah juga mengklaim, kehadiran Undang-undang Cipta Kerja memberikan keberpihakan kepada masyarakat melalui skema perhutanan sosial.

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah, UU Cipta Kerja ini meletakkan pasal yang menyebutkan perhutanan sosial. Itulah yang jadi kepastian hukum masyarakat di dalam maupun luar kawasan hutan,” kata Bambang Hendroyono, Sekretaris Jenderal KLHK dalam temu media daring, belum lama ini.

Soal perhutanan sosial tertuang dalam Pasal 29a dan 29b, berdasarkan dokumen RUU Cipta Kerja. Pasal 29A, ayat (1) berbunyi, pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi dalam kegiatan perhutanan sosial.

Ayat (2) menyebutkan, perhutanan sosial dapat diberikan kepada perseorangan, kelompok tani hutan, dan koperasi. Pasal 29B, menyatakan, ketentuan lebih lanjut terkait perhutanan sosial diatur dalam peraturan pemerintah.

Bambang menilai, dengan ada akses legal bagi masyarakat dalam kawasan dan sekitar hutan menjamin mereka tidak akan kena pindana.

“Jika ada kesalahan, kami mendorong untuk sanksi administrasi bagi masyarakat. Kita tahu selama ini masyarakat sering mendapatkan kriminalisasi karena regulasi UU sebelum ini belum menunjukkan keberpihakan.”

Sebelumnya, regulasi terkait perhutanan sosial hanya tertuang dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 83/2016 menyebutkan ada lima skema akses legal yang diberikan dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, antara lain, hutan desa, hutan rakyat maupun hutan adat.

San Afri Awang, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada menyebutkan, langkah ini menunjukkan negara hadir buat masyarakat. Program ini,katanya, memuat tiga hal sekaligus yakni ekologi, ekonomi dan kesejahteraan.

“Perhutanan sosial menjadi strategis dan penting. Nantinya, peraturan pemerintah terkait perhutanan sosial harus mampu mengatur dengan tata kelola yang baik.”

 

Bagaimana hutan adat?

Kalau dibandingkan dalam lima skema perhutanan sosial, penetapan hutan adat menempati posisi paling kecil dibandingkan empat skema lain. AMAN ragu UU Cipta Kerja bakal berikan kepastian  pengakuan dan perlindungan hak antara lain hak wilayah bagi masyarakat adat, malah khawatir sebaliknya.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN mengatakan, kehadiran UU Cipta Kerja ini bisa mengancam ruang hidup masyarakat di pedesaan, termasuk masyarakat adat, petani dan nelayan.

Dengan ada penyederhanaan izin, katanya, bisa membunuh lapangan pekerjaan tradisional yang dimiliki masyarakat.

UU ini berpotensi memberikan keleluasaan investor masuk dan merampas wilayah di tengah ketidakpastian pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sudah diperjuangkan selama 10 tahun ini.

“Jika Airlangga Hartanto [Menteri Koordinator Perekonomian] menyebut UU Cipta Kerja berpotensi menciptakan 30 juta lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia, malah berpotensi menghapus setidaknya 20 juta lapangan kerja tradisional bagi masyarakat adat.”

Mengenai perlindungan masyarakat adat untuk hak kelola wilayah, kata San Afri, perlu upaya mencabut Pasal 67 ayat 2 UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan terkait pengukuhan masyarakat hukum adat melalui peraturan daerah. Sayangnya, hal itu tidak disinggung dalam UU Cipta Kerja.

San Afri mengatakan, peraturan pemerintah soal perhutanan sosial sebagai turunan UU Cipta Kerja jangan dianggap sepele, karena skema perhutanan sosial itu rumit. “Apalagi hutan adat diatur disitu. Saya minta pengaturan hutan adat bukan yang dipersulit.” Dia berharap, aturan turunan bisa menyeselaikan Pasal 67 yang seringkali mengganjal penetapan hutan adat.

Sependapat dengan Rukka, Dewi Kartika, bilang, ketimpangan penguasaan lahan masih terjadi dan akan terus melalui UU Cipta Kerja. Regulasi ini dia nilai melakukan liberalisasi sumber-sumber agraria. UU ini, katanya, alat hukum baru dalam perusakan alam masif.

Dia mengatakan, kalau tujuan regulasi ini pada peningkatan ekonomi yang didorong liberal, rakyat berpotensi kehilangan sumber mata pencaharian. “Ini akan menjadi ‘cipta lapangan kerja’ semu karena banyak petani, masyarakat adat, perempuan desa kota akan kehilangan mata pencaharian berbasiskan agraria.”

 

 

 

****** Keterangan foto utama: Sungai Utik airny bening. Air hijau zamrud menandakan sungai yang dalam. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Exit mobile version