Mongabay.co.id

Riset Walhi: Anak Muda Makin Peduli Masalah Ekosida dan Kejahatan Lingkungan

 

Winda terisak, suaranya terbata-bata. Suasana sempat hening sesaat karena ia terdiam tak mampu menahan kesedihannya. Ibu rumah tangga dari Pulau Kodingareng, Makassar, Sulawesi Selatan ini, butuh waktu beberapa saat hingga mampu menahan diri dan menyampaikan curahan hatinya di hadapan peserta diskusi.

“Tempat suami kami biasa mencari ikan telah dihancurkan. Rumah kami yang ada di pinggir pantai hancur. Rumah ibu saya di pinggir pantai hancur karena ombak, ini dampak penambangan pasir,” katanya pada ekspose hasil riset awal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berjudul ‘Kejahatan Ekosida dan Korporasi di Mata Publik’ di Mall Nipah, Makassar, Rabu (23/12/2020).

Menurutnya, meski penambangan pasir kini terhenti namun dampaknya masih terasa hingga saat ini, pendapatan menurun seiring dengan rusaknya laut dimana mereka biasanya mencari ikan.

“Kami berharap izin penambangan kapal tersebut dicabut, karena kondisi laut akan selamanya keruh dan berombak besar yang akan semakin menyulitkan kami melaut,” katanya.

Menurut Khalisah Khalid, Koordinator Desk Politik Walhi, nasib yang diderita Winda dan masyarakat Pulau Kodingareng bisa dilihat sebagai bentuk kejahatan lingkungan dan bahkan mengarah pada ecocide atau ekosida. Kejahatan lingkungan ini telah terjadi secara meluas di seluruh Indonesia.

“Kami melihat bahwa unsur-unsur ekosida telah terpenuhi dari praktik-praktik buruk yang telah dikakukan oleh korporasi. Ekosida, bencana eksploitasi yang masif terhadap sumber daya alam secara terbuka menurut kenyataan telah mengarah pada tindakan kerusakan dan pemusnahan atas ekosistem dan sumber penghidupan lingkungan hidup,” katanya.

baca : Nasib Nelayan Kala Perusahaan Tambang Keruk Pasir di Perairan Sangkarrang

 

Nelayan Pulau Kodingareng mengikutsertakan keluarga dalam aksi di tengah laut. Foto: Walhi Sulsel

 

Menurutnya, praktik penghancuran lingkungan hidup ini sebagian besar dilakukan oleh korporasi baik nasional maupun transnasional.

“Kami menilainya praktik-praktik ini bukan lagi bencana biasa tetapi kejahatan lingkungan hidup yang luar biasa, atau menjadi extraordinary crimes, sebuah kejahatan yang terencana, sistematis, berdampak luas dan tidak bisa dipulihkan.”

Ia juga menilai krisis ekologi saat ini lebih disebabkan oleh pengarahan pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dan masa depan generasi.

Menurut Khalisah, Walhi sendiri telah mengenalkan konsep ekosida ini di tahun 2005, berbasis pada pengalaman advokasi Walhi dalam waktu yang panjang.

“Dari kajian yang panjang ini kami menemukan bahwa ternyata telah tercukupi unsur-unsur menyatakan kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Namun instrumen hukum seperti Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM belum mengakomodir kejahatan ekosida sebagai salah satu bentuk pelanggaran HAM berat,” katanya.

Menurutnya, perhatian atas ekosida ini seharusnya menjadi perhatian bersama mengingat hampir setiap bencana ekologis terus terjadi, yang bahkan oleh BNPB dikatakan sudah dalam kondisi darurat ekologis.

“Kenyataannya, negara justru memfasilitasi kemudahan investasi kepada korporasi skala besar. Eksesnya adalah banjir, longsor dan konflik agraria sebagai sebuah dampak yang kemudian ditanggung oleh warga negara.”

Ia menilai situasi ini memprihatinkan karena konstitusi sendiri telah menyebutkan adanya jaminan hak bagi warga negara untuk hidup sejahtera dan mendapat tempat tinggal yang layak serta jaminan kesehatan.

“Sayangnya ada kontradiksi politik hukum di sini. Di satu sisi kita punya instrumen hukum yang baik tetapi di sisi lain paradigma pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia termasuk Sulsel justru mengarah pada penghancuran dan mengabaikan nasib keselamatan warga,” jelasnya.

baca juga : Refleksi 2020: Tahun Kekalahan Lingkungan

 

Diskusi ekspos hasil riset Walhi terkait ekosida di Mall Nipah Makassar menghadirkan Winda, salah seorang warga Pulau Kodingareng terdampak aktivitas penambangan pasir laut di perairan Sangkarrang Makassar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Sebagai dampak dari kontradiksi tersebut adalah tidak terlindunginya warga negara, terjadinya bencana ekologis dan konflik agraria yang semakin masif dan terbuka.

“Bahkan negara memfasilitasi melalui kebijakan dan perizinan. Tidak berhenti sampai di situ, generasi masa mendatang juga terancam kehidupannya dan masa depannya, tidak bisa menikmati kehidupan yang layak dan sehat.”

 

Hasil Riset

Pada diskusi ini, Walhi Sulsel memaparkan hasil riset yang dilakukan pada September – Oktober 2020 lalu. Riset melalui pendekatan survei ini dilakukan di 7 provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah dan Papua, dengan responden sebanyak 1.000 orang, berasal dari kelompok usia 16-25 tahun. Khusus untuk Sulawesi Selatan ditarik sampel sebanyak 128 responden.

“Hasilnya antara lain menyatakan bahwa sebagian besar generasi muda di Sulsel sudah mempraktikkan perilaku peduli lingkungan hidup, misalnya 97 persen bersedia membantu korban terdampak bencana ekologis,” ungkap Moriska Pasally, tim riset dari Walhi Sulsel.

Hasil survei juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden setuju bahwa kerusakan lingkungan hidup sebagai sebuah kejahatan lingkungan. Dalam hal ini sebanyak 90,4 persen yang menyatakan setuju dan sangat setuju.

“Dalam hal ini praktik buruk korporasi yang menghancurkan lingkungan dipersepsikan buruk sebagian besar anak muda,” tambah Moriska.

Hasil lain survei ini, sebagian besar responden mengakui bahwa kerusakan lingkungan hidup dilakukan oleh korporasi, dimana 71 persen mengatakan penyebab kerusakan lingkungan akibat kemudahan perizinan.

“Terdapat 84,9 persen responden yang kemudian setuju memboikot produk korporasi. Lalu ada sekitar 86,6 persen yang menyatakan bahwa kejahatan yang dilakukan korporasi secara berulang sulit dipulihkan.”

perlu dibaca : Catatan Akhir 2020 dari Sulsel: Ruang Hidup Rawan Terampas, Warga Rentan Kriminalisasi

 

Aksi menolak UU omnibus law dilakukan oleh generasi muda menunjukkan kepekaan dan kepedulian mereka atas kondisi lingkungan hidup di Sulsel. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay-Indonesia.

 

Terkait penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan survei menunjukkan bahwa sebanyak 94,3 persen responden setuju dan sangat setuju mendukung gugatan hukum.

“Bentuk penegakan hukumnya, ada 96,3 persen setuju memberikan sanksi pidana, 95,8 persen setuju sanksi ganti kerugian dan 90,1 persen setuju penerapan sanksi pencabutan izin,” jelas Moriska.

Terkait kejahatan ekosida dan pelanggaran HAM berat, terdapat 87,2 persen responden setuju bahwa pengrusakan lingkungan hidup berdampak luas. Hasil lainnya, 63,9 persen anak muda sudah mengetahui ekosida.

Terkait lingkungan hidup sebagai hak asasi manusia, sebanyak 91,9 persen sepakat bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah Hak Asasi Manusia.

“Survei ini juga menanyakan lemahnya penegakan hukum, dimana 83,1 persen responden menilai pemerintah tidak serius dalam mengatasi kejahatan korporasi.”

Sejumlah simpulan dan rekomendasi dari riset ini antara lain bahwa kerusakan lingkungan hidup kini sudah dipahami sebagai bentuk kejahatan lingkungan hidup dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

“Dari riset ini bisa disimpulkan bahwa publik khususnya generasi muda telah mengetahui dan memahami bahwa berbagai persoalan lingkungan hidup akibat dari kebijakan negara yang memberi kemudahan terhadap korporasi melalui perizinan.”

Kelompok muda juga dinilai telah mengerti dan paham dengan kasus-kasus kejahatan lingkungan hidup sebagai sebuah kejahatan yang struktural dan sistematis.

“Ekosida harus dapat menjejakkan wacana pada konteks kasus-kasus pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup, dan menemukenali konteks lokal dan dekat dengan keseharian publik,” tambahnya.

baca juga : HAM, Hak Atas Lingkungan Sehat dan Perlindungan Warga Negara

 

Mobilisasi warga Takalar untuk turun ke pantai diumumkan di masjid-masjid dan mendapat respon yang cukup besar. Ratusan warga di setiap desa menyatakan mendukung gerakan penolakan tambang pasir tersebut karena berdampak langsung dengan sumber mata pencaharian mereka. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Menurut Muhammad Al Amin, Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, masuknya Sulsel dalam salah satu wilayah penelitian menjadi penting dalam menunjukkan bahwa kejahatan korporasi ekosida sudah terjadi.

“Bahkan di masa pandemi COVID-19 kita hadapi praktik kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi, bagaimana perjuangan gigih warga dan perempuan di Kodingareng untuk mendorong penegakan HAM dan perlindungan atas lingkungannya,” ujar Amin.

Amin berharap hasil riset ini bisa menjadi pesan bagi publik dan pemprov Sulsel bahwa kejahatan ekosida harus menjadi perhatian serius, karena akan berdampak pada keselamatan warga dan penghidupan perempuan.

“Investasi boleh saja dikembangkan tapi jangan sampai menyebabkan hak-hak masyarakat terabaikan, hak-hak perempuan dikebiri, dihilangkan dan terjadi kejahatan lingkungan di daerah tersebut. Ini alarm bagi pemprov Sulsel bahwa kejahatan ekosida ini tidak main-main sehingga harus mendapat perhatian khusus,” ujarnya.

 

Exit mobile version