Mongabay.co.id

Awas, Ancaman Bencana di Awal Tahun

 

Fenomena La Nina yang memicu curah hujan tinggi diperkirakan masih berlanjut pada Januari mendatang. Bahkan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa pada Januari ada potensi cuaca ekstrem yang ditandai dengan curah hujan tinggi, tak jarang disertai dengan petir dan potensi angin kencang. Oleh karena itulah, masyarakat dan pemerintah perlu melakukan berbagai antisipasi terutama mitigasi bencana hidrometeorologi.

Dalam prakiraan yang dikeluarkan Stasiun Klimatologi BMKG Ahmad Yani Semarang, peluang curah hujan tingkat menengah hingga tinggi pada dasarian I atau 10 hari pertama Januari terjadi di 70% wilayah Jawa Tengah (Jateng). Untuk kriteria menengah berkisar antara 51-150 mm, sedangkan tinggi antara 151-300 mm dalam satu dasarian. Secara spesifik di wilayah Jateng bagian selatan seperti Cilacap, Banyumas, Kebumen, dan Banjarnegara memiliki potensi curah hujan yang tinggi antara 151-200 mm.

Pengamat cuaca Stasiun Meteorologi BMKG Tunggul Wulung Cilacap Rendi Krisnawan mengatakan curah hujan yang tinggi di Cilacap hampir merata di seluruh kecamatan, mulai dari ujung barat hingga ujung timur. Demikian juga di Banyumas, hampir seluruh kecamatan juga potensial dengan curah hujan tinggi. Kondisi serupa diperkirakan terjadi di hampir seluruh kecamatan di Banjarnegara. “Sedangkan di Kebumen curah hujan tinggi terjadi di enam kecamatan,” kata Rendi pada Sabtu (2/1/2021).

Menurut Rendi, dengan adanya prakiraan tersebut, maka daerah-daerah tersebut harus meningkatkan kewaspadaan. Apalagi pada beberapa bulan terakhir di tahun 2020, sejumlah daerah mengalami bencana banjir dan longsor. “Upaya persiapan dan antisipasi harus dilakukan, mengingat curah hujan diperkirakan masih tinggi. Selain itu, tidak jarang terjadi cuaca ekstrem, karena selain curah hujan tinggi juga disertai petir dan angin kencang,” jelasnya.

baca : Banjir di Banyumas dan Purbalingga Setelah 20 Tahun, Curah Hujan Tinggi atau Kerusakan Lingkungan?

 

Warga menyelamatkan barang-barang pada saat terjadi banjir di Banyumas pada akhir 2020. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sesuai dengan prakiraan BMKG, curah hujan yang tinggi tersebut juga disebabkan adanya fenomena La Nina yang memicu hujan lebih lebat dari biasanya. Menurut buku yang dikeluarkan Pusat Informasi Perubahan Iklim Kedeputian Bidang Klimatologi BMKG 2020, La Nina merupakan kejadian anomali iklim global dengan ditandai suhu permukaan laut di Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur lebih dingin dari suhu normalnya.

Kondisi itu biasanya diikuti dengan berubahnya pola sirkulasi Walker atau sirkulasi atmosfer arah timur barat yang terjadi di sekitar ekuator, sehingga mempengaruhi pola iklim dan cuaca global. Disebutkan, bahwa kondisi La Nina dapat berulang dalam beberapa tahun sekali dan setiap kejadian bertahan sekitar beberapa bulan hingga dia tahun.

Fenomena La Nina ini memberikan dampak beragam di wilayah Indonesia, terutama dampak curah hujan bulanan dan musiman. Pada Juni-Agustus, La Nina menyebabkan peningkatan curah hujan sebagian besar wilayah Indonesia. Kemudian September-November, berpengaruh meningkatnya curah hujan di tengah hingga timur Indonesia.

Sedangkan pada Desember, Januari, Februari serta Maret, April, Mei, curah hujan akan meningkat di Indonesia bagian timur. Peningkatannya mencapai 20% hingga 40% jika dibandingkan dengan kondisi normal. Bahkan, ada beberapa wilayah dengan curah hujan di atas 40%.

Pada periode puncak musim hujan, La Nina tidak memberikan dampak pada peningkatan intensitas hujan di wilayah barat dan tengah Indonesia, akibat interaksinya dengan sistem monsun.

baca juga : La Nina Berpotensi Timbulkan Bencana Banjir dan Longsor, Bagaimana Antisipasinya?

 

Banjir yang sempat merendam jalan penghubung Purbalinga-Banyumas. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Dengan adanya prediksi La Nina yang akurat, maka akan bisa diantisipasi terjadinya iklim ekstrem yang berasosiasi dengan bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor. Tetapi, ternyata, fenomena La Nina tidak selamanya negatif, sebab ada riset yang menyebutkan jika perkebunan karet justru lebih produktif. Di sisi lain, sampai sekarang belum ada bukti fenomena La Nina akan meningkat akibat pemanasan global. Belum ada bukti juga perubahan iklim meningkatkan frekuensi terjadinya fenomena La Nina.

Kondisi awal tahun yang diperkirakan terancam cuaca ekstrem, maka setiap daerah harus siap siaga. Apalagi, dalam bulan-bulan terakhir di tahun 2020, bencana hidrometeorologi terjadi di seluruh wilayah d Jateng bagian selatan seperti Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga dan Banjarnegara.

Pakar hidrologi dan sumberdaya air Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Yanto mengatakan salah satu yang terpenting adalah mengorganisasikan masyarakat dalam menghadapi bencana. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengkoordinasikan lembaga-lembaga pemerintah di akar rumput mulai RT, RW, karang taruna dan lainnya. “Mereka dapat difungsikan sebagai agen untuk melakukan pendidikan kepada masyarakat mengenai potensi bencana hidrometeorologi akibat curah hujan tinggi serta menginformasikan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan ketika terjadi bencana,”jelasnya.

Yanto mengatakan perlu disiapkan peringatan dini bencana, termasuk jalur komunikasi peringatan dini bencana. Agen-agen penanggulangan bencana dapat dilibatkan dalam peringatan dini, sehingga informasi yang yang sampai di masyarakat benar-benar valid. “Selain itu, menyiapkan pola penanganan darurat bencana. Saat sekarang, sudah banyak desa yang memiliki fasilitas pendukung dalam menghadapi bencana, sehingga hal itu akan memudahkan upaya penanganan jika terjadi bencana,”ujarnya.

perlu dibaca : Apa yang Terjadi di Laut Apabila Cuaca Ekstrim Bergabung dalam Satu Waktu?

 

Ancaman cuaca ekstrem masih potensial terjadi pada Januari. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Cuaca ekstrem sebetulnya bukan hanya terjadi sekali, tetapi menjadi ancaman setiap tahunnya. Sehingga diperlukan persiapan dalam jangka panjang, terutama oleh pemerintah. “Dalam hal ini, pemerintah dapat membuat rencana tata ruang dan wilayah berbasis bencana. Salah satunya, daerah pemukiman harus dijauhkan dari lokasi-lokasi rawan bencana. Pemerintah juga perlu menyiapkan anggaran dalam penanganan bencana. Proyeksi bencana penting sehingga dapat memprediksi jumlah anggaran yang diperlukan. Tidak saja penanganan, tetapi juga mitigasinya,” jelas Yanto.

Menurut Yanto, upaya lain adalah pembuatan sistem peringatan dini bencana, pembangunan tanggul sungai untuk mencegah luapan banjir, pembangunan posko bencana dan tentunya pendidikan masyarakat di daerah bencana. “Untuk pendidikan masyarakat, pemkab dapat bekerja sama dengan perguruan tinggi melalui kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) atau juga mengundang perguruan tinggi untuk melakukan pendampingan ke masyarakat melalui kebijakan kampus merdeka. Selain itu peran tokoh-tokoh masyarakat seperti ulama atau kyai perlu dioptimalkan untuk menyampaikan pesan-pesan tentang pentingnya melakukan pengendalian bencana,”tambahnya.

 

Exit mobile version