Sudah lebih dari satu minggu sebagian wilayah Indonesia disiram hujan deras dan angin kencang. Secara umum, wilayah Indonesia saat ini sedang memasuki periode musim barat yang biasanya terjadi pada periode bulan Oktober – April. Musim barat ini diakibatkan oleh adanya tekanan maksimum di benua Australia dan tekanan minimum di benua Asia yang membawa iklim basah ke wilayah Indonesia dan menyebabkan terjadinya hujan. Musim ini biasanya juga dikenal sebagai musim hujan.
Dari sejak beberapa bulan yang lalu, lembaga-lembaga riset di berbagai negara sudah menyatakan bahwa fenomena La Nina akan terjadi di bulan-bulan terakhir tahun 2020. La Nina adalah fenomena cuaca yang berhubungan dengan adanya perubahan pola suhu permukaan laut yang melalui Samudra Pasifik dan Hindia. Fenomena La Nina ini kemudian akan mempengaruhi curah hujan di wilayah Indonesia. Biasanya pada saat periode La Nina hujan akan lebih lebat dan frekuensi terjadinya siklon tropis di wilayah Australia akan menjadi lebih sering.
Di wilayah Indonesia, tanda-tanda kemunculan La Nina sudah dimulai sejak bulan November. Hal itu terlihat dari cold tongue (area bertemperatur dingin dan berbentuk seperti lidah) yang semakin luas dan menyebabkan area warm pool (kolam air hangat) bergeser mendekati wilayah Indonesia. Warm pool ini yang kemudian menyebabkan potensi pembentukan awan semakin tinggi dan iklim basah di wilayah Indonesia.
Berdasarkan prediksi dari International Research Institute for Climate and Society, Columbia University, USA, fenomena La Nina ini akan terjadi hingga bulan Maret 2021. Puncak La Nina dengan probabilitas 100% diperkirakan akan terjadi bulan November 2020 hingga Februari 2021.
baca : Akibat Cuaca Buruk, Nelayan Berhenti Melaut
Hujan lebat yang terjadi di awal Desember ini kemudian diperkuat dengan fenomena lain yang aktif di wilayah perairan Indonesia, yaitu Madden-Julian Oscillation (MJO). Karakter dari MJO ini adalah berupa awan yang bergerak ke timur di sepanjang ekuator dan biasanya terjadi selama 30-60 hari. MJO memilik 8 fase yang dipicu dari kondisi Samudera Hindia bagian barat (wilayah dekat Afrika). MJO yang memasuki wilayah Indonesia yang dikenal sebagai benua maritime (maritime continent) adalah MJO fase 4 dan 5. Dari diagram Real-time Multivariate MJO (RMM) yang menunjukan fase MJO, MJO mulai memasuki perairan Indonesia di akhir bulan November 2020 dan diperkirakan akan melewati fase 5 hingga pertengahan bulan Desember 2020.
Gabungan dari fenomena umum musim barat, La Nina dan aktifnya moda MJO menyebabkan curah hujan yang cukup lebat. Hujan lebat ini juga kemudian diikuti oleh angin kencang yang dipicu oleh siklon tropis yang terjadi secara membujur dari barat ke timur. Menurut hasil pemantauan LAPAN, bibit siklon tropis dengan kode 96S ini cenderung persisten dan bergerak secara cepat ke arah timur. Angin kencang yang ditimbulkan oleh siklon tropis ini juga kemudian memicu terjadinya gelombang tinggi di laut dan diikuti oleh hujan lebat akibat gabungan dari fenomena iklim yang terjadi secara bersamaan.
Hujan yang lebat dan angin kencang tentunya menghambat kegiatan penangkapan ikan di laut. BMKG memberikan peringatan dini kemungkinan terjadinya gelombang tinggi di perairan Samudera Hindia barat Sumatra dan selatan Jawa. Tinggi gelombang diperkirakan mencapai lebih dari 5 m, terutama di perairan selatan Jawa. Gelombang yang tinggi ini akan menghentikan nelayan untuk pergi ke laut, terutama untuk nelayan dengan skala kecil yang memiliki kapal dengan ukuran 5 GT.
Penelitian juga menunjukan bahwa MJO memiliki kontribusi terhadap kenaikan tinggi gelombang pada saat aktif, terutama apabila MJO berada pada fase 5 dan merupakan kombinasi dengan musim barat yang terjadi di wilayah Indonesia. Siklon tropis, walaupun tidak terbentuk di sepanjang ekuator, akan membentuk penjalaran alun dari sumber siklon yang dapat meningkatkan intensitas gelombang di perairan Indonesia yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, Samudera Pasifik, Laut Cina Selatan, dan Perairan Australia.
baca juga : Jadilah Nelayan yang Menyesuaikan Kondisi Alam
Fenomena La Nina semestinya meningkatkan kesuburan perairan karena temperatur akan menjadi lebih dingin dan angin kuat yang berhembus dari timur ke barat akan meningkatkan intensitas upwelling dan mengangkat kandungan nutrient ke permukaan. Tetapi dengan gelombang yang tinggi dan sekitar 96% nelayan di Indonesia adalah nelayan perikanan skala kecil yang memiliki kapal di bawah 10 GT, maka kemungkinan hasil penangkapan ikan naik pada saat La Nina akan menjadi sangat kecil.
Pada dasarnya ikan adalah mahluk yang sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan cahaya, dan ikan mencari tempat hidup pada lingkungan yang nyaman. Lingkungan yang nyaman ini akan berpengaruh pada sistem reproduksinya. Dengan curah hujan tinggi dalam waktu yang panjang, maka tentunya akan mempengaruhi sistem reproduksi ikan, terutama untuk jenis-jenis ikan budidaya.
Curah hujan yang tinggi dan badai siklon tropis juga menyebabkan angin yang cukup kencang, sehingga biasanya arus di permukaan dan di lapisan dalam juga akan mengalami perbedaan. Perbedaan arus di permukaan dan di bawah laut akan berdampak sulitnya menangkap ikan dengan menggunakan pancing maupun jaring. Jika ada ikan yang tertangkap pun, biasanya hanya sedikit.
perlu dibaca : Dimana Peran Negara Saat Cuaca Buruk Terjadi dan Nelayan Tak Bisa Melaut?
Lalu, apakah fenomena banyaknya ikan yang terdampar di darat seperti yang terjadi di pantai Lewoleba Lembata, NTT dan Jimbaran, Bali adalah dampak dari La Nina?
Hingga saat ini, badai akibat adanya siklon tropis masih dianggap sebagai faktor utama penyebab mengapa ikan-ikan tersebut terlempar hingga ke darat. Apa yang menyebabkan ikan-ikan tersebut bisa sampai ke permukaan, masih diperlukan investigasi lebih dalam mengingat Lembata dan Jimbaran bukan merupakan daerah yang memiliki intensitas upwelling cukup tinggi. Faktor lokal perlu dipertimbangkan sebagai penyebab terjadinya, mengingat lokasi kejadian sangat spesifik dan kondisi lingkungan perairan yang juga memiliki kekhasan karakteristik dan dinamika
Beberapa kajian sudah menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi nelayan adalah faktor yang paling terlihat apabila cuaca dan iklim ekstrim ini terjadi. Selain biaya melaut yang juga akan semakin meningkat, perilaku melaut nelayan pun akan berubah. Sistem informasi laut yang ada saat ini, belum bisa memberikan informasi lokasi terjadinya badai secara spesifik. Informasi yang ada masih sebatas peringatan dini gelombang tinggi dan lainnya yang bersifat umum.
Selain itu rencana aksi adaptasi terhadap kondisi cuaca ekstrim juga perlu mempertimbangkan banyak faktor-faktor lokal yang meliputi kapasitas lokal, kondisi di lapangan, sehingga dapat meningkatkan resiliensi terhadap perubahan-perubahan cuaca dan iklim yang terjadi secara ekstrim.
*Anastasia RTD Kuswardani, Peneliti Oseanografi di Pusat Riset Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.