Mongabay.co.id

Pilkada Usai, Saatnya untuk Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Pagelaran akbar pemilihan kepala daerah (Pilkada) telah usai, saatnya move on dan bangkit. Move on berarti legowo atas hasil pilkada serta melupakan benturan politik yang terjadi akibat silang pendapat antar kandidat. Sedangkan bangkit dari keterpurukan adalah bangkit dalam beragam krisis atau krisis multidimensi yang sedang kita hadapi.

Krisis tersebut termasuk krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19, krisis perekonomian, dan krisis lingkungan akibat semakin memudarnya komitmen terhadap pelestarian alam.

Dari sisi ekonomi, COVID-19 berhasil membuat babak belur perekonomian dunia. Faktnya, hampir semua sektor perekonomian terkapar, bahkan sampai saat ini pemulihan ekonomi masih sangat lamban dan begitu dramatis.

Di Indonesia sendiri, ekonomi 2020 yang awalnya diprediksi akan tumbuh hingga 5,3 persen year on year (yoy) atau lebih tinggi daripada realisasi pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,02 persen. Namun nyatanya, ekonomi Indonesia berjalan minus 2,2 persen hingga minus 1,7 persen di tahun 2020. Sungguh catatan yang kelam.

Dengan kondisi dan realita yang begitu mengkhawatirkan, Indonesia butuh tidak sekadar kebijakan pemulihan semata, tapi butuh kebijakan yang mampu membawa perubahan yakni dengan melakukan lompatan.

Kita sangat tahu bahwa persoalan krisis kesehatan dan perekonomian harus segera diurai, namun, bukan berarti persoalan lainnya tidak menjadi perhatian bahkan tidak dipedulikan. Oleh sebab itu, tantangan terbesar para pemenang Pilkada 2020 tidak hanya memulihkan kondisi seperti sediakala tapi juga melompati krisis multidimensi.

Baca juga: Koalisi Sebut Pilkada 2020 Rawan Perparah Krisis Ekologi

 

Sumber: Bawaslu.go.id

 

 

Krisis Lingkungan

Sebelum pandemi COVID-19 menggerogoti dunia, krisis lingkungan seperti krisis iklim sudah menjadi ancaman nyata yang tidak bisa dielakkan. Cuaca ekstrem sampai dengan bencana yang kerap terjadi, bahkan kemunculan COVID-19 dianggap sebagai bagian dari dampak krisis iklim yang begitu menakutkan.

World Economic Forum dalam riset yang berjudul Global Risks Perception Survey 2019-2020 sempat menyebut bahwa ekonomi dunia akan terpukul oleh isu-isu lingkungan semakin mengkhawatirkan.

Riset ini menyebut isu lingkungan khususnya yang terkait dengan iklim, mendominasi menjadi lima besar indikator risiko jangka panjang kategori likelihood sebagai penghambat utama ekonomi global.

Kelima indikator tersebut yakni; cuaca ekstrim (extreme weather), kegagalan aksi iklim (climate action failure), bencana alam (natural disaster), hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss), bencana lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia (human-made environmental disasters).

Di Indonesia sendiri, persoalan krisis lingkungan yang berakibat fatal pada krisis iklim terlihat dari kondisi hutan alam yang kian terancam. Bukan hanya karena ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla), tapi juga ancaman deforestasi dan ekspansi investasi skala besar, pembukaan lahan, dan banyak ancaman lainnya.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Yayasan Madani Berkelanjutan terungkap bahwa sembilan provinsi yang menyelenggarakan pilkada (pemilihan gubernur dan wakil gubernur) memiliki hutan alam mencapai 21 juta hektar  Sementara 10 kabupaten pelaksana pilkada (pemilihan bupati dan wakil bupati) tercatat memiliki lebih dari 20 juta ha hutan alam.

Kondisi ini tentu menggambarkan bahwa kesembilan provinsi dan 10 kabupaten ini memiliki isu yang sangat besar yakni isu kelestarian hutan dan isu ini seharusnya menjadi gagasan yang ada dalam visi-misi para kandidat.

Dari luasan hutan alam secara total tersebut, riset Madani membagi empat tingkatan risiko deforestasi dan degradasi untuk beberapa daerah tersebut.

Daerah berisiko, terancam, sangat terancam, dan paling terancam. Hasilnya, dari sembilan provinsi tersebut terdapat 12,5 juta hektar hutan alam yang berada pada kategori beresiko; 2,6 juta hektar di tingkat terancam; dan 1,2 juta hektar di tingkat sangat terancam.

Provinsi Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Utara menjadi provinsi penyumbang hutan alam terbesar. Sementara kategori paling terancam seluas 2,6 juta hektar juga terdapat di Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan di tingkat kabupaten, 10 kabupaten penyelenggara pilkada dengan hutan alam terluas menyumbang 11,9 juta hektar hutan alam berisiko, 1,23 juta hektar hutan alam terancam, 521 ribu hektar hutan alam sangat terancam, dan 3 juta hektar hutan alam paling terancam.

Baca juga:  Akankah Ekonomi Hijau Terwujud

 

Kabut asap di Jakarta. Foto: Rhett A. Butler/ Mongabay

 

 

Ekonomi Hijau Berkelanjutan

Ancaman terhadap hutan alam tersebut seharusnya menjadi patokan bagi para pemenang pilkada nantinya. Suatu kepastian ekonomi berbasis ekologi atau ekonomi hijau berkelanjutan harus menjadi target agar keluar dari krisis.

Menurut hemat penulis, model ekonomi hijau berkelanjutan dapat dimulai dengan menggerakkan beberapa model bisnis yang bersifat kreatif, mendorong inovasi kemandirian, dan tidak sekedar bertumpu pada ekstraktif sumber daya alam, seperti:

Pertama, bisnis jasa lingkungan. Kerusakan lingkungan yang semakin parah akan mendorong menculnya kepedulian atas lingkungan, hal inilah yang membuat bisnis jasa lingkungan di masa yang akan datang mampu tumbuh positif.

Misalnya saja, bisnis pengelolaan sampah seperti bank sampah. Selain dapat menyelamatkan mengurangi beban lingkungan atas sampah, bank sampah dapat memberikan manfaat secara perekonomian.

Kedua, perhutanan sosial. Model bisnis perhutanan sosial ini adalah langkah yang paling tepat bagi pemerintah untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjaga hutan. Perhutanan sosial sendiri mampu merubah mitos bahwa hutan adalah kutukan menjadi hutan adalah anugerah karena selain bermanfaat untuk menahan dampak perubahan iklim, hutan juga mampu memberikan manfaat secara ekonomis.

Ketiga, pengembangan energi baru terbarukan. Meninggalkan energi kotor dan beralih ke energi yang ramah lingkungan adalah keniscayaan. Pertimbangan keberlanjutan dari sumber energi adalah faktor utama yang harus diprioritaskan, tentu bergatung dengan sumber daya fossil sudah tidak relevan di tengah krisis seperti saat ini. Beralih ke sumber energi seperti panel surya adalah langkah terbaik yang dapat dilakukan.

Kini ,sudah saatnya semua pihak sadar bahwa Pilkada Serentak 2020 harus menjadi momentum bagi para kepala daerah terpilih untuk memperkuat komitmen perlindungan lingkungan, hutan, dan alam agar ekonomi hijau berkelanjutan dapat diwujudkan.

Konsep ini bukan hanya membuat perekonomian yang tahan bating oleh krisis tapi juga berkontribusi terhadap pencapaian komitmen iklim di Indonesia di sektor kehutanan. Bukankah ini impian kita untuk masa depan?

 

* Delly Ferdian, penulis adalah peneliti di Yayasan Madani Berkelanjutan, Jakarta. Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Foto utama: Hutan alam yang utuh di Kalimantan. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

 

Exit mobile version