Mongabay.co.id

Konflik Agraria di Bali Utara :  Ancaman Burung Jalak Bali Berubah Jadi Burung Besi [Bagian 3]

 

Mati surinya pariwisata di Bali justru membawa harapan lain bagi I Ketut Bimbo. Petani berusia 30 tahun ini merasa bahwa pilihannya menjadi petani, di tengah tren bekerja di pariwisata, sudah tepat. Dia beralasan, di tengah pandemi COVID-19 pun setiap orang pasti perlu makan. Dan, petanilah yang menghasilkan sumber pangan itu.

Oleh karena itu, dalam situasi apapun, petani pasti dibutuhkan.

Petani di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali bagian barat laut ini membuktikannya sendiri. Di saat pendapatan istrinya yang bekerja di sektor pariwisata tidak ada sama sekali, bapak dua anak ini menjadi tumpuan utama penghidupan keluarga. “Pendapatan sekarang dari bertani dan beternak, termasuk menjual anak sapi. Itu yang dipakai menopang rumah tangga,” kata pria lulusan SMA ini yang ditemui pertengahan Desember 2020.

Bimbo melanjutkan, meskipun hasilnya tidak sebanyak dari pariwisata, bertani tetap bisa menjadi pekerjaan bagi sebagian besar warga desanya. Inilah yang juga membuatnya tetap bangga bekerja sebagai petani. Hampir tiap hari dia bekerja di kebun mulai pukul 6 pagi hingga pukul 11 pagi. Pada pukul 2 sore dia akan kembali ke kebun lagi hingga sekitar pukul 5 sore.

“Dari sejak SMP saya sudah membantu orangtua bekerja di kebun seperti ini,” lanjutnya.

baca : Sumberklampok, Bara Konflik Agraria di Bali Utara [Bagian 1]

 

Petani di Sumberklampok, Bali bagian barat hingga saat ini belum mendapatkan status hak milik atas lahan yang mereka garap dan tempati sejak tahun 1922. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Seperti semua petani di Sumberklampok saat ini, Bimbo juga mewarisi kebunnya dari kakek dan bapaknya. Bimbo adalah generasi ketiga penggarap lahan di desa ini. Dia pun tak memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas tanah yang dia garap ataupun pekarangan, tanah yang mereka tempati. Saat ini dia mengerjakan bersama ibu dan pamannya.

Saat ditemui, Bimbo sedang membersihkan gulma di kebunnya. Dia mencabut rumput dan tanaman liar lain di sela-sela tanaman jagung. Dia juga merapikan tanaman pagar yang terlalu panjang. “Jadi petani muda di Bali itu berkesan,” ujarnya tentang perasaan sebagai petani muda di Bali. Bagi banyak anak muda di Bali, bekerja di pariwisata lebih membuat bangga daripada bertani.

Namun, harapan dan kebanggaan Bimbo sebagai petani saat ini justru tengah terancam. Pemerintah sedang merencanakan pembangunan bandara baru di desanya. Menurut dokumen rencana presentasi yang beredar, kebutuhan lahan untuk operasional bandara baru itu luasnya mencapai 310 ha. Belum termasuk sarana lain-lain.

Mengacu pada Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Gubernur Bali dan Tim Sembilan yang ditandatangani pada November 2020, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali akan memperoleh lahan seluas 154,2 ha dari total 514 ha yang dibagi antara Pemprov dan warga. Artinya, untuk operasional bandara saja masih perlu sekitar 156 ha. Karena itu nantinya lahan-lahan yang saat ini digarap warga pun akan beralih fungsi.

Lahan kebun Bimbo seluas 1,3 ha yang dia warisi secara turun temurun termasuk dalam lokasi di mana bandara itu akan dibangun. Dia melanjutkan dulunya lahan lebih banyak berisi pohon sengon yang dipanen sekitar 7-8 tahun sekali. Saat ini, hampir semua kebun warga Sumberklampok sudah produktif dengan tanaman palawija, seperti jagung, kacang-kacangan, singkong, dan lainnya. Bagi warga Sumberklampok, pertanian menjadi sumber penghidupan utama.

Karena itulah, Bimbo menyatakan tidak setuju jika petani nanti harus digusur untuk pembangunan bandara baru di atas lahan mereka. “Secara pribadi saya tidak setuju. Sayang sekali, karena di sini tanahnya sudah produktif,” kata Bimbo.

baca juga : Konflik Agraria di Bali Utara : Polemik Pembangunan Bandara  [Bagian 2]

 

Burung jalak bali sebagai ikon Provnsi Bali saat ini mengalami peningkatan jumlahnya karena adanya penangkaran, tetapi bisa terancam oleh pembangunan bandara baru Bali. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Melanggar Ketentuan

Bimbo tak sendirian. Menurut data Pemerintah Desa Sumberklampok, saat ini terdapat 902 kepala keluarga (KK) dengan 3.222 jiwa di desa ini. Dari 1.366 warga yang bekerja, sekitar 75 persen di antaranya adalah petani dengan luas garapan berkisar antara 50 are hingga 1 ha. Sisanya nelayan, pegawai swasta, wiraswasta, dan pegawai negeri sipil.

Adapun menurut data rekapitulasi warga yang akan mendapatkan SHM sebagaimana kesepakatan dengan Pemprov Bali, ada 881 KK yang nantinya mendapatkan lahan. Luasnya dibagi menurut lama tinggal dan banyaknya keturunan yang mereka miliki. KK Utama yaitu mereka yang dulu ikut membuka lahan, misalnya, akan mendapatkan lahan seluas 75 are sedangkan anaknya yang sudah berkeluarga akan mendapat 50 are dan 35 are. Untuk KK penggarap yaitu petani yang bekerja untuk orang yang menempati dari awal akan mendapatkan 2,5 are.

Toh, jika pemerintah jadi membangun bandara, mereka semua akan tergusur dari lahan-lahan yang sedang mereka garap. “Dengan adanya bandara, warga pasti terusir karena mereka bekerja sebagai petani dan peternak,” kata Kepala Desa Sumberklampok, I Wayan Sawitra Yasa.

Kemungkinan warga harus menyerahkan lahannya dan bahkan harus tergusur demi pembangunan bandara itu pula yang menjadi pertanyaan Ketua Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) wilayah Bali, Ni Made Indrawati. “Kalau pakai mekanisme reforma agraria, tanah yang sudah diberikan kepada rakyat tidak boleh diambil lagi untuk keperluan lain,” kata Indrawati.

perlu dibaca : Sentra Daun Pisang Bali di Pusaran Konflik Agraria [2]

 

Peta rencana induk pembangunan bandara Sumberklampok termasuk mengambil lahan TNBB.

 

Salah satu mekanisme reforma agraria tersebut adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Pasal 25 Perpres ini menyatakan bahwa pengalihfungsian ataupun pengalihan hak tanah objek reforma agraria harus mendapat izin dari menteri atau kepala kantor pertanahan setempat. “Menurut UU RA (UU No.5/1960 tentang Pokok Agraria), dalam kurun 10 tahun setelah pemberian, tanah itu tidak boleh diperjualbelikan kepada pihak lain. Jadi, pemerintah sendiri melanggar ketentuan itu jika jadi membangun bandara di lahan milik petani,” lanjut Indrawati yang juga warga Desa Sumberklampok.

Selain petani, menurut Indrawati, nelayan juga akan terdampak jika pembangunan bandara jadi dilakukan di Desa Sumberklampok  karena sisi utara bandara akan berbatasan langsung dengan pantai. Meskipun jumlah nelayan di Sumberklampok kurang dari 50 orang, mereka tetap berhak mendapatkan akses ke pantai untuk beraktivitas termasuk menyandarkan perahu. “Apalagi pantai kan tidak bisa dipindah seperti sawah atau kebun,” ujarnya.

baca juga : Kedonganan, Kampung Nelayan yang Bertahan di Pusat Turisme Bali

 

Nelayan di Teluk Terima bersiap memancing cumi dengan menggunakan kano. Teluk Terima termasuk wilayah yang akan terkena dampak pembangunan bandara. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

I Nyoman Sedana, salah satu nelayan di Sumberklampok, mengaku hanya bisa pasrah jika nanti bandara baru jadi dibangun. Teluk Terima, tempat Sedana sehari-hari menambatkan perahunya,  termasuk yang akan terkena dampak pembangunan bandara. “Ya, mungkin bergeser sedikit ke tempat lain jika masih boleh pakai tempat lain,” katanya santai.

Namun, Indrawati melanjutkan, dampak paling besar bagi Bali adalah terancamnya lingkungan di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB).

Sebagaimana dokumen presentasi yang beredar, pembangunan bandara di Bali utara ini memang akan dilakukan dengan melakukan alih fungsi lahan TNBB seluas 64 ha. Lokasinya berbatasan dengan sisi timur TNBB saat ini. Padahal, TNBB merupakan hutan terluas yang saat ini berada di Provinsi Bali. Hutan nasional ini adalah sekaligus habitat bagi jalak bali (Leucopsar rothschildi).

Kepala TNBB Agus Ngurah Krisna tidak bersedia diwawancarai terkait topik ini. Dia menyarankan untuk langsung menghubungi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Yang saya tahu, ini masih rencana yang akan berubah lagi lokasinya,” jawab Krisna lewat pesan WhatsApp.

Namun, Kepala Humas KLHK Nunu Anugrah juga tidak merespon permintaan wawancara melalui WhatsApp maupun telepon.

baca juga : Cyrtodactylus jatnai, Spesies Baru di Taman Nasional Bali Barat

 

Burung jalak bali sebagai ikon Provnsi Bali saat ini mengalami peningkatan jumlahnya karena adanya penangkaran, tetapi bisa terancam oleh pembangunan bandara. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Burung Besi

TNBB berada di dua kabupaten yaitu Jembrana dan Buleleng. Luasnya sekitar 19.000 ha terdiri atas laut 3.415 ha dan darat atau hutan seluas 15.587,89 ha. Menurut Amir Mahmud dkk, di kawasan ini terdapat setidaknya 7 jenis mamalia, 2 jenis reptilia, 105 jenis aves, dan 120 jenis ikan, dan lain-lain. Dalam laporan penelitiannya, Zonasi Konservasi untuk Siapa? Pengaturan Perairan Taman Laut TNBB (2015), Amir juga menyatakan bahwa TNBB juga menjadi rumah bagi satwa dilindungi seperti trenggiling (Manis javanica), menjangan (Cervus timorensis), kancil (Tragulus javanicus), dan lain-lain.

Laporan Amir dkk juga menyebutkan bahwa di TNBB terdapat beragam tumbuhan dilindungi baik di darat maupun laut. Di antaranya bayur (Pterospermum diversifolium), buni (Antidesma bunius), cendana (Santalum album), mundu (Garcinia dulcis), dan sono kering (Dalbergia latifolia). “Melimpahnya potensi biologi dan luasan kawasan tersebut menjadi salah satu alasan dibentuknya TNBB, demi melindungi keasliannya,” demikian kata laporan itu.

Di antara semua flora dan fauna dilindungi di TNBB, jalak bali merupakan satwa penting bagi Bali. Sejak 1991, burung berbulu putih ini menjadi ikon Provinsi Bali. Menurut riset terakhir, populasi jalak bali meningkat. Pada Juli 2020 lalu, populasinya mencapai 355 ekor di alam. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan, misalnya, pada 2002 yang hanya ada 6 ekor.

penting dibaca : Populasi Burung Jalak Bali Meningkat, Tetapi Perlu Diteliti Keragaman Genetiknya

 

TN Bali Barat menjadi rumah bagi aneka flora dan fauna terlindungi yang akan terdampak pembangunan bandara. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Namun, situasi mereka justru bisa terancam jika habitatnya nanti berubah jadi bandara. Beberapa warga yang saat ini membudidayakan jalak bali menyatakan kekhawatirannya. Misnawi, wakil ketua Tim Sembilan yang juga ketua penangkar jalak bali Manuk Jegeg, mengatakan pembangunan bandara pasti akan merusak habitat jalak bali. Padahal, kelompok ini sudah menangkarkan jalak bali sejak 2012 untuk melestarikan burung ikon Provinsi Bali itu.

Menurut Misnawi biasanya angka produksi jalak bali berkurang kalau stres karena ada suara bising. Kalau sedang mengeram akan dibuang telurnya atau dibunuh anaknya. Pembangunan bandara baru pasti sangat mempengaruhi ekosistem jalak bali karena habitatnya berubah bising. Mereka pasti stres dan bisa berkurang. “Jangan sampai burung jalak bali nantinya berganti dengan burung besi,” katanya.

Karena itulah, Misnawi menyarankan agar pemerintah membatalkan rencana pembangunan bandara di Sumberklampok. Selain karena masalah sengketa agraria yang belum sepenuhnya selesai hingga saat ini, pembangunan itu juga akan merusak lingkungan.

Indrawati juga menegaskan hal sama. Menurutnya, pemerintah lebih baik menuntaskan dulu konflik agraria dengan warga sebelum melanjutkan rencana pembangunan bandara. Apalagi, di desa yang sama juga masih ada sengketa lahan yang lain, antara pemerintah dengan warga bekas transmigran di Timor Timur. Inilah masalah lain di Sumberklampok yang belum juga selesai. [Bersambung]

 

 

Exit mobile version