Made Ripuk adalah nelayan tua asal Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung, Bali yang masih berlayar. Sudah tak rutin, karena ia lebih fokus mengurus warung jasa pemanggangannya di desa nelayan teramai di Bali Selatan ini.
Ia sulit menyebutkan nama-nama nelayan asal Kedonganan lain yang masih melaut. Mereka kini memiliki pekerja yang mengoperasikan perahu-perahu yang terparkir di pantai. Halnya Ripuk. Pria lanjut usia ini mengaku memiliki sejumlah perahu dengan mesin 30 PK, dioperasikan nelayan-nelayan asal luar Bali yang kini menjadi mayoritas di Kedonganan.
“Kalau melaut, saya merasa bahagia, jadi kadang-kadang masih cari ikan kalau sehat,” Ripuk tersenyum saat rehat di warungnya. Sangat mudah menemukannya, karena menyediakan tempat duduk dengan meja perahu-perahu bekas berwarna-warni di pinggir pantai Kedonganan ini. Ripuk setia menjajakan jasa bakar ikan, dilengkapi nasi dan aneka sambal.
Pengunjung membeli ikan, udang, kerang, dan hasil laut lainnya di pasar ikan sebelah warungnya. Setelah itu menuju warung Made Ripuk untuk ditimbang, dibakar, dilengkapi sambal dan nasi jika memesan. Per kilogram bakar plus sambal matah dan tomat biayanya Rp30 ribu. Dengan model ini, menu laut lezat ini jauh lebih murah dibanding restoran.
Misalnya, pada akhir November ini, dengan uang Rp100 ribu bisa membeli 1 kg ikan tuna, 1/2 kg udang ukuran sedang, dan 1/2 kg cumi ukuran sedang. Lebih dari cukup untuk 4 orang. Uang juga terdistribusi karena pengunjung membeli ikan dan memanggangya di lokasi berbeda.
baca : Begini Menelusuri Ikan Hasil Budidaya di Meja Makanmu
Ripuk menyebut tidak ada generasi muda asal Kedonganan yang melaut, regenerasi nelayan dari desa ini hampir terhenti. Ia menyontohkan di kelompok nelayannya saja, misal dengan anggota sekitar 100 orang, masing punya kapal 3-4 dioperasikan anak buah. Nelayan yang dipekerjakan ini bisanya berangkat pukul 3 sore, dan balik 3 pagi.
Sistemnya bagi hasil. Jika bisa membawa tangkapan senilai R 500 ribu, dipotong biaya makan dan BBM yang diberikan pemilik perahu. Sisanya dibagi 3 bagian, 2 bagian untuk pemilik perahu dan satu bagian untuk nelayan.
Kehidupan melaut dilanjutkan nelayan-nelayan dari luar Bali yang sudah mukim dan melebur di Desa Kedonganan. Kehadiran nelayan asal Banyuwangi, Madura, dan lainnya ini memberi manfaat penting untuk keberlanjutan kampung nelayan yang lokasinya persis samping bandara Ngurah Rai ini.
Mereka membuat dua pasar ikan dan unit ekonomi pendukungnya di Kedonganan terus menggeliat. Ada Koperasi Unit Desa, desa adat yang mengelola pasar ikan, dan unit-unit cold storage. Kawasan ini menyokong pasokan ikan untuk restoran-hotel dan restoran, nutrisi bagi warga, dan pusat perekonomian desa.
baca juga : Apakah Pasokan Ikan di Kedonganan Bebas Formalin?
Jika sedang di udara, akan mendarat dari arah Barat, pasti melihat barisan perahu di dekat landasan pacu bandara. Saat malam hari, kelap kelip lampu atau pelita perahu menandakan aktivitas nelayan yang melaut sampai dengan kepulauan Madura ini.
Namun tak seluruh hasil laut yang diperjualbelikan di Kedonganan adalah hasil tangkapan nelayan setempat. Sebagian dari beberapa lokasi penangkapan di Bali dan luar Bali. Terlebih saat musim paceklik, angin Barat awal tahun nanti.
Mukhlisin dan Ansor, adalah dua nelayan dari Jawa Timur yang kini bekerja di Kedonganan. Saat musim angin Barat, yang merepotkan adalah tangkapan sampah. “Semua terdampar bahkan mayat manusia,” seru Muklisin menunjukkan betapa keras anginnya. Ia sudah bersiap libur panjang, dari pada jaring rusak karena sampah plastik, kayu, dan lainnya.
I Made Kena, Kepala UPT Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Kedonganan menyebut tak hanya sampah mendarat, tapi air laut pasang sampai menggenangi halaman kantornya yang berjarak lebih dari 100 meter dari pantai.
Desember adalah mulai berhembusnya angin barat, gelombang tinggi dan arus membawa sampah dan pasir laut ke daratan. “Paceklik di sini tapi Muncar bisa panen,” urai Kena. Nelayan Kedonganan yang beraktivitas di Selat Bali enggan melaut tapi pasar ikan tetap buka. Harga-harga pun merangkak naik terlebih permintaan meningkat seiring hari libur Natal dan Tahun Baru.
Musim panen nelayan Kedonganan sekitar Juli-Agustus, dalam sehari PPI bisa menerima 60-80 ton per hari. Didominasi ikan layang, makarel, lemuru, tongkol kecil, cakalang, dan lainnya. Pada 2016 tercatat 4713 ton dengan nilai Rp56 milyar.
Soal pengujian mikroplastik pada hasil tangkapan, sepengetahuannya belum pernah ada uji sampel di PPI Kedonganan. Sebelumnya beberapa kali uji formalin oleh petugas BPOM dan lainnya. Tes sampel terakhir tahun lalu, petugas tidak menemukan yang mengandung formalin.
Pasar ikan Kedonganan juga menerima banyak pasokan dari luar, misal dari Bali seperti Jembrana dan Karangasem. Sementara dari luar Bali masuk pemeriksaan karantina dulu seperti di Gilimanuk.
baca juga : Riset Membuktikan Ini Jenis Sampah Laut Terbanyak di Pesisir Bali
Berkunjung ke Desa Kedonganan jangan hanya berhenti di restoran-restoran seafood tepi pantai yang mulai ramai kala senja. Beranjaklah ke ujung desa di samping landasan pacu bandara, melihat aktivitas nelayan, duduk di dermaga dengan pemandangan laut dan pesawat antre take-off. Di sini bukan area mandi karena nampak limbah cair dari pembersihan kapal dan sisa tangkapan.
Masuklah ke dua pasar ikan, satu yang baru bernama pasar ikan higienis dengan deretan cold storage dan lantai keramik. Sementara pasar ikan lama adalah pelapak dengan deretan hasil laut berderet di area yang lebih sempit dan lantai basah. Di belakang dan samping pasar ikan ada sejumlah warung-warung menjajakan jasa pemanggangan. Tak perlu waktu lama menunggu aroma berkah laut ini merupa di udara. Bisa dinikmati di tempat atau bungkus.
Jika ditata lebih apik dan bersih dari limbah, niscaya kampung nelayan dan pasar ikan ini menjadi magnet. Untuk mengenal laut dan nelayannya, hasil laut, dan wisata kuliner.
Laman unit ekonomi desa, lpdkedonganan.com menyebut mulai 2007, Desa Adat Kedonganan didukung Pemkab Badung menata kawasan Pantai Kedonganan. Salah satunya mengelola kafe-kafe di pinggir pantai yang menjual olahan menu laut. Setelah melalui proses panjang, berdirilah 24 kafe. Pengelolaan diserahkan kepada enam banjar adat yang ada di Desa Adat Kedonganan. Masing-masing banjar diberi hak mengelola empat kafe. Ini merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Adat Kedonganan melalui usaha bersama dengan memanfaatkan palemahan desa di pesisir barat.