Mongabay.co.id

Ulu Rawas, Jejak Peradaban Manusia di Sumatera yang Terlupakan

 

 

Selama sepekan, 15-21 Desember 2020, Mongabay Indonesia melakukan perjalanan ke tiga kabupaten di Sumatera Selatan yaitu Musi Banyuasin, Musi Rawas, dan Musi Rawas Utara, untuk melihat langsung lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat. Tidak hanya persoalan sosial, liputan ini juga mengangkat bagaimana perkembangan program perhutanan sosial, perkebunan rempah tersisa, hingga kondisi lanskap Ulu Rawas yang berbatasan dengan TNKS. Artikel ini merupakan yang keempat dari lima tulisan. Silakan baca artikel pertama, kedua, dan ketiga. [Redaksi]

**

 

Hulu Sungai Rawas, anak Sungai Musi, tepatnya di lanskap Ulu Rawas, Kabupaten Musi Rawas Utara [Muratara], Sumatera Selatan [Sumsel], adalah bagian penting dari sejarah peradaban manusia di Sumatera. Sekitar 4.000 tahun lalu, sudah ada manusia purba di Ulu Rawas. Bagaimana kondisinya saat ini?

Selama dua hari [19-20/12/2020] Mongabay Indonesia menelusuri lanskap Ulu Rawas [Kecamatan Rawas Ulu dan Kecamatan Ulu Rawas]. Termasuk, mengunjungi Goa [Gua] Batu di Desa Napal Licin, hunian manusia purba sekitar 4.000 tahun lalu.

Didampingi Parsin dan Jupri, warga Desa Sukomoro, Mongabay Indonesia memetakan anak Sungai Rawas. Tercatat ada 54 anak sungai. Dimulai dari Sungai Betuah, Sungai Buluh, Sungai Ratau, Sungai Betung, Sungai Baru, Sungai Tambang, Sungai Beringin, hingga Sungai Keruh.

Melalui anak sungai ini, berbagai suku hadir di hulu Sungai Rawas sejak ratusan tahun lalu. Misalnya Suku Rejang, Merangin Kerinci, Palembang, dan Jawa.

Desa Kuto Tanjung, Napal Licin, Sosokan, Muara Kuis, dan Kelurahan Muara Kulam, yang masuk wilayah TNKS [Taman Nasional Kerinci Sebelat] di Kecamatan Ulu Rawas, merupakan permukiman yang dibentuk Suku Rejang [Bengkulu].

“Leluhur kami [Rejang] datang melalui hulu Sungai Kulus [Lebong dan Rejang, Bengkulu]. Sungai Kulus ini anak Sungai Rawas. Permukiman yang dibuat pertama Napal Licin, selanjutnya ke hulu [Desa Kuto Tanjung] dan ke hilir seperti Desa Sosokan, Muara Kuis, dan Muara Kulam. Leluhur kami datang untuk berkebun dan bertani,” kata Awi, tokoh masyarakat Desa Napal Licin.

Baca: Mengapa Satwa Liar di TNKS Masih Diburu?

 

Menjaga lingkungan Ulu Rawas bukan hanya menjaga TNKS, tapi juga memelihara jejak peradaban manusia di Sumatera. Foto: Humaidy Kenedy

 

Kemudian Suku Kerinci, tepatnya dari Jangkat, Merangin, Jambi. Keturunan suku ini menetap di Desa Jangkat, Kecamatan Rawas Ulu.

Pada akhir tahun 1811, Sultan Mahmud Badaruddin II [Sultan Palembang] menyingkir ke Muara Rawas karena berkonflik dengan Inggris. Pelarian ini meninggalkan wong Palembang, yang kini banyak menetap di Lubuk Mas, Kecamatan Rawas Ulu.

“Ulu Rawas itu punya marga sendiri yakni marga Ulu Rawas,” kata Ahmad S Subari, Ketua Pengurus Pembina Adat Sumsel, Selasa [29/12/2020]. Marga adalah penyebutan masyarakat adat di Sumsel.

“Di Musi Rawas termasuk Muratara terdapat banyak marga. Menandakan wilayah tersebut sejak dulu didatangi berbagai suku bangsa,” kata Subari.

Di bawah tahun 1980-an, akses ke hulu Sungai Rawas hanya dapat dilakukan menggunakan perahu atau kapal tongkang. Setelah dibangun Jalan Lintas Tengah Sumatera [awal 1980-an] masyarakat mulai mengakses jalan darat.

Ironinya, saat ini, perjalanan menggunakan perahu ke hulu Sungai Rawas tidak lagi lancar. Debit air Sungai Rawas menurun. Bahkan saat musim penghujan, perahu harus mencari arus dalam agar dapat melaju ke Ulu Rawas.

“Kami lebih sering mendorong dibandingkan naik perahu,” kata Parsin.

Baca: Ingin Berwisata ke TNKS? Cobalah Lokasi Ini

 

Selain berkebun, masyarakat Desa Kuto Tanjung, Ulu Rawas, merupakan petani. Foto: Humaidy Kenedy

 

Lanskap sejarah peradaban manusia

Goa Batu di Desa Napal Licin terletak di tepi jalan darat yang dibangun tahun 1990-an. Tingginya dari permukaan jalan sekitar 25 meter. Jaraknya dengan Sungai Rawas sekitar 25 meter. Goa ini masuk wilayah TNKS.

Mulut goa menghadap barat. Kondisinya kering, sebagian permukaan datar. Tanahnya lempung berpasir, dan sebagian dipenuhi kotoran kelelawar. Terdapat stalaktif dan stalagmit, serta lumut dan tanaman merayap.

Jika ingin naik ke atas goa, dapat melalui sebuah lubang dengan diameter 45 sentimeter yang bagian luarnya dipenuhi lumut.

Dari atas Bukit Batu [189 meter dari permukaan laut], terlihat hamparan hutan, sungai, dan pemukiman [desa] yang berada di sekitar TNKS.

 

Goa Batu merupakan penanda awal jejak peradaban manusia di wilayah TNKS di Sumatera Selatan, yang kemudian dilanjutkan situs megalitikum dan sejarah [candi-candi]. Foto: Humaidy Kenedy

 

Goa Batu dikenal sebagai objek wisata sejak masa Pemerintahan Belanda. Baru diketahui sebagai hunian manusia purba setelah penelitian Balai Arkeologi [Balar] Sumsel pada 2012.

Ada 13 artefak batu yang ditemukan. Satu buah temuan alat masif berupa kapak perimbas [chopper] dengan bagian tajaman melintang.

“Berdasarkan penelitian selanjutnya, Goa Batu diperkirakan ada hubungannya dengan kompleks goa manusia purba di Bukit Bulan, Sarolangun, Jambi. Karbon datingnya lebih tua yakni 5.000 tahun lalu,” kata Sigit Eko Prasetyo, arkeolog dari Balar Sumsel, kepada Mongabay Indonesia, Senin [28/12/2020].

Karbon dating adalah penentuan usia suatu objek materi organik berdasarkan sifat radiokarbon.

 

Goa Batu di Desa Napal Licin, Ulu Rawas, Muratara, Sumsel. Goa hunian manusia purba sekitar 4.000 tahun lalu. Foto: Humaidy Kenedy

 

Penelitian Balar Sumsel [2015-2019] pada kawasan Karts Bukit Bulan, Sarolangun, Jambi, menemukan seratusan goa dan ceruk di Bukit Bulan. Sebanyak 20 goa merupakan situs hunian manusia purba. Ditemukan 46.271 spesimen.

Kehidupan masa megalitikum di Ulu Rawas berdasarkan temuan batu silindrik [batu larung] di Desa Napal Licin, mirip berbagai temuan batu silindrik di dataran tinggi Jambi [Merangin dan Kerinci].

Temuan lainnya di Desa Napal Licin yakni batu megas [batu berbentuk segi empat] yang terbuat dari batu andesit. Batu ini berbentuk balok dengan panjang 192 sentimeter, lebar 97 sentimeter, dan tebal 42,5 sentimeter.

“Wilayah TNKS yang masuk wilayah Sumatera Selatan dan Jambi merupakan lanskap peradaban manusia purba dan sejarah,” kata Sigit.

Berdasarkan karbon dating, penandaan situs dimulai dari kompleks goa Bukit Bulan di Sarolangun, Jambi [5.000 tahun lalu], Goa Batu di Ulu Rawas, Sumsel [4.000 tahun lalu], dan megalitikum awal di Ulu Rawas, Sumsel [3.000 tahun lalu]. Berikutnya, masa sejarah yakni Prasasti Karang Berahi milik Kedatuan Sriwijaya [Merangin, Jambi], Candi Lesungbatu [Hindu-Budha] dan Candi Tingkip [Hindu Budha] di Rawas Ulu, Sumsel, serta Candi Binginjungut [Hindu-Budha] di Muara Kelingi, Sumsel.

 

Kondisi Goa Batu ini diperkirakan tetap sama seperti 5.000 tahun lalu karena masih terjaga dari sentuhan manusia. Foto: Humaidy Kenedy

 

Memburu sumber daya alam

Mengapa manusia purba dari Sarolangun bergerak atau menetap di Ulu Rawas?

“Kondisi hutan tropis di Ulu Rawas atau TNKS tidak berubah dari kondisinya 5.000 tahun lalu. Kaya dengan sumber daya alam. Kemungkinan manusia purba dari Bukit Bulan datang ke Ulu Rawas guna mendapatkan atau mengakses sumber daya alam tersebut. Pergerakan ini sama seperti ke arah Kerinci,” kata Sigit.

Setelah masa megalitikum, banyak suku bangsa datang ke Ulu Rawas. Baik di masa kerajaan, kesultanan, kolonial Eropa, hingga Pemerintahan Indonesia saat ini. Selain hasil hutan, emas yang diburu.

Dalam artikel “Tafsir Simbol Teks Kedewaan Raja Purnawarman dalam Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanagara di Aliran Sungai Cisadane” oleh Dr. Ridzki Rinanto Sigit yang dipublikasikan Borobudur Writer & Cultural 2019, dijelaskan bahwa kehadiran prasasti di aliran Sungai Cisadane, seperti menyebutkan Raja Purnawarman perkasa layaknya dewa, secara geopolitik abad ke-5, merupakan narasi yang dibangun agar Raja Purnawarman dapat mengontrol wilayah di pedalaman Jawa Barat yang kaya sumber daya alam dan mineral berharga.

Yaitu, emas dan perak, serta memastikan kekayaan negara, berputarnya roda pemerintahan dan memastikan dominasi kekuasaan Tarumanagara di antara kerajaan maupun penguasa wilayah lainnya di Jawa.

Jika kajian tersebut digunakan terhadap Prasasti Karang Berahi, tampaknya hal yang sama dilakukan Kedatuan Sriwijaya. Isi Prasasti Karang Berahi berupa kutukan bagi orang yang tidak tunduk atau setia kepada raja, dan orang-orang yang berbuat jahat.

Bedanya dengan narasi Raja Purnawarman, narasi milik raja Sriwijaya ini bukan menunjukan kesaktian fisik, tapi keampuhan kutukannya, sehingga yang menerimanya akan mendapatkan celaka.

Ancaman kutukan ini dilakukan Raja Sriwijaya mungkin guna menguasai atau melindungi sumber mineral beharga seperti emas, timah hitam, dan besi di lanskap Bukit Barisan [Ulu Rawas, Rawas Ulu, dan Merangin].

Asumsi ini diperkuat dengan temuan pada Situs Karang Berahi berupa struktur bata empat persegi [5,26 x 1,96 meter], sekitar 200 meter dari Sungai Merangin. Di bawah bangunan ini ditemukan empat tempayan yang berisi butiran emas dan manik-manik kaca.

 

Desa Kuto Tanjung, desa terujung di Ulu Rawas yang masuk wilayah TNKS. Foto: Humaidy Kenedy

 

Penambangan hari ini

Selama menyusuri Sungai Rawas di Rawas Ulu dan Ulu Rawas, terdengar suara mesin diesel dompeng di Desa Lubuk Mas, Jangkat, Pulau Kidak dan Muara Kulam.

Mesin dompeng tersebut mengisap pasir dan batuan di dasar Sungai Rawas untuk mendapatkan butiran emas. Kata dompeng diambil dari merek mesin diesel produk Donfeng [China].

Penggunaan dompeng marak sejak sembilan tahun terakhir. Penambangan ini merusak [mencemari] air Sungai Rawas yang debitnya terus menurun. Awalnya pada 2001 di Desa Lubuk Mas, kemudian menyebar ke Desa Pulau Kidak, Jangkat, dan Muara Kulam pada 2014.

Selain di Sungai Rawas, sebelumnya penambangan emas marak di Sungai Dingin, anak Sungai Batang Asai, Kabupaten Sarolangun, Jambi.

“Tidak ada warga desa kami [Napal Licin] yang menambang emas di sungai, sebab mengkeruhkan air. Air Rawas ini buat minum, mandi dan mencuci,” kata Awi, tokoh masyarakat Desa Napal Licin.

“Dilarang menambang emas di sini. Tidak ada emas di sungai ini,” kata seorang perempuan di Desa Kuto Tanjung, yang tengah mencuci di tepian Sungai Rawas.

“Pernah ada yang mencoba mencari emas di sini, tapi tidak dapat, dan juga langsung dilarang warga kami,” lanjutnya.

Selain emas, di kawasan hulu Sungai Rawas juga ditemukan mineral lainnya, seperti batubara, timah hitam dan biji besi.

 

Penambangan emas liar di Sungai Rawas yang dampaknya mencemari air sungai yang sebagian besar dikonsumsi masyarakat di Ulu Rawas. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Dikutip dari Kompas.com, pada 2010 Pemerintah Kabupaten Musi Rawas menyebutkan di wilayah hulu Sungai Rawas [sebelum bergabung ke Kabupaten Musi Rawas Utara pada 2013], memiliki potensi cadangan terukur biji besi sekitar 800 ribu ton dan cadangan terindikasi 1,6 ton. Sedangkan timah hitam, sekitar 25 juta ton.

Pada saat itu, perusahaan yang sudah berjalan PT. Mandiri Agung Jaya Utama [1.343 hektar] dengan cadangan biji besi sebanyak 800 ribu ton, dan PT. Putra Djahasa [2.310,69 hektar].

PT. Galtam Sumatera Minerals di Desa Lubuk Mas mengelola timah hitam [1.944 hektar] mencakup Kecamatan Ulu Rawas dan Rawas Ulu. Potensi cadangan tambang diperkirakan 25,6 juta ton.

Selain penambangan emas, di Sungai Rawas juga terlihat penambangan pasir dan batu kali oleh masyarakat.

Batu kali yang dikumpulkan batu bujang [seukuran kepala manusia] dan batu mangga [seukuran kepalan tangan orang dewasa]. Harga per kubiknya kisaran Rp60 ribu.

Para pencari batu mulai dari satu keluarga, perorangan, hingga anak-anak. “Kami ini sehari bisa dua atau tiga kubik,” kata Fendi, warga Desa Sukomoro.

Mongabay Indonesia juga melihat hadirnya ribuan hektar kebun sawit di tepian jalan antara Rawas Ulu-Ulu Rawas.

 

Lahan di kawasan penyangga TNKS di Rawas Ulu yang dibuka menjadi kebun sawit. Foto: Humaidy Kenedy

 

Pembalakan liar dan perambahan

Hendrimon Syadri, Kepala Seksi Taman Nasional Kerinci Seblat [TNKS] Wilayah V Sumsel, menyebutkan kawasan TNKS di Sumsel luasnya mencapai 250.316 hektar. Wilayahnya mencakup Kabupaten Musi Rawas, Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Muratara..

“Khusus di Kabupaten Muratara, kawasan yang mengalami kerusakan luasnya mencapai 8.408 hektar. Ini data tahun 2017. Kerusakan ini akibat pembalakan liar dan perambahan untuk kebun dan ladang,” kata Hendrimon kepada Mongabay Indonesia, Senin [28/12/2020].

Guna memperbaiki dan mencegah kerusakan lebih luas, pihaknya rutin melakukan patroli, sosialisasi, penyuluhan, pemberdayaan masyarakat, serta pemulihan ekosistem yang rusak.

 

Setiap hari batu-batu di Rawas Ulu dijual ke berbagai wilayah di Sumatera Selatan. Foto: Humaidy Kenedy

 

Tahun 2019 lalu, Syarif Hidayat, saat menjabat Bupati Muratara melaporkan kasus pembalakan liar di wilayah TNKS kepada Gubernur Sumsel. Dikutip dari sumsel.idntimes.com, Syarif menyatakan sekitar 200 ribu hektar wilayah TNKS di kabupatennya marak dengan kegiatan itu.

Akibatnya, beberapa ruas jalan dan jembatan rusak. Dampak ekosistem yang paling menonjol menurunnya debit air di Sungai Rawas.

Herman Deru, Gubernur Sumsel, menyatakan sudah melaporkan hal tersebut ke Menteri LHK. KLHK akan menurunkan tim untuk melakukan penyisiran terhadap aktivitas merusak itu.

Dikatakan Deru, pengawasan wilayah TNKS di Lubuklinggau, Musi rawas, dan Muratara, belum terlalu ketat. Maka selain ke KLHK, pihaknya juga bekerja sama dengan kepolisian untuk menertibkan atau menindaklanjutinya.

 

Menambang batu kali yang dilakukan masyarakat di Sungai Rawas. Foto: Yudi Semai

 

Lanskap Ulu Rawas harus diselamatkan

Penyelamatan lanskap Ulu Rawas bukan hanya menjadi tanggung jawab TNKS, juga Pemerintah Sumsel, yang didukung banyak pihak seperti arkeolog, pegiat lingkungan, budayawan, tokoh masyarakat, dan lainnya.

Rusaknya lanskap Ulu Rawas bukan hanya terancamnya kekayaan flora dan fauna, hutan, sungai, bukit, juga jejak peradaban manusia di Sumatera.

Bagaimana menyelamatkannya?

“Pemerintah jangan memberikan izin penambangan, perkebunan skala besar, industri, infrastruktur, dan aktivitas ekonomi ekstraktif lainnya di Ulu Rawas. Bukan hanya menjaga TNKS, juga wilayah penyangganya,” kata Dr. Yenrizal Tarmizi, pakar komunikasi lingkungan dari UIN Raden Fatah Palembang.

Dandi Rianto, pemuda Desa Sukomoro, pencinta alam dan teater menuturkan, sebenarnya setiap desa di Rawas Ulu dan Ulu Rawas memiliki potensi wisata, khususnya ekowisata. Baik terkait sungai, hutan, air terjun, bukit dan goa. Jika dikelola dengan baik, ini pasti akan menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat.

Tapi yang terpenting wisata ini merupakan ruang pendidikan bagi generasi muda. “Jika alam di sini rusak, generasi muda yang akan merasakan dampaknya di kemudian hari,” kata mahasiswa Universitas PGRI Palembang.

 

 

Exit mobile version