Mongabay.co.id

Catatan Awal Tahun: Antisipasi dan Kesadaran Hidup di Negeri Rawan Bencana

Tanah longsor di Sumedang, menyebabkan rumah-rumah tertimbun, belasan orang meninggal dunia, puluhan luka-luka dan sebagian korban masih tertimbun. Foto: BNPB

 

 

 

 

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) masih berlanjut 2021, walau vaksin mulai diberikan Januari ini. Sampai 11 Januari 2021, data Satgas Penanganan COVID-19, warga terpapar corona di Indonesia mencapai 836.718 orang, meninggal dunia 24.345 dan sembuh 688739 orang.

Di tengah krisis kesehatan ini, awal tahun negeri ini sudah mengalami bencana banjir dan longsor di berbagai daerah.

Di Jawa Barat, misal, hujan lebat mengguyur beberapa kabupaten seperti Sumedang dan Garut pada Sabtu (9/1/21). Curah hujan tinggi dan kondisi tanah tak stabil menyebabkan longsor di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, pada sore dan malam hari.

Data sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumedang per Minggu dini hari (10/1/21) menyebutkan, korban meninggal dunia 11 orang dan luka 18 jiwa. Danramil Cimanggung, Kapt Inf Setio Pribadi dan Kepala Seksi Kedaruratan dan Logistik BPBD Sumedang turut jadi korban. Mereka berada di lokasi untuk merespon longsoran pertama. BPBD perkirakan, banyak orang masih tertimbun longsoran susulan.

Pada Sabtu itu, bencana longosr terjadi di beberapa titik Jawa Barat, seperti di Garut dan kawasan lain di Sumedang. Tak hanya di Jawa Barat, Pamekasan, Madura, juga alami banjir di beberapa titik.

 

 

Banjir juga terjadi di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Jumat (8/1/21). Setidaknya, sembilan desa di lima kecamatan terdampak, antara lain Desa Pungkit, Moyo Mekar, Serading, dan Desa Rhee.

Banjir menyebabkan dua rumah roboh, dan 44 pemukiman terdampak. Infrastruktur publik terendam seperti puskesmas dan kantor pemerintah serta beberapa sekolah. Sekitar 250 hektar perkebunan di lima kecamatan terendam banjir dengan tinggi muka air sekitar 20-50 cm.

Raditya Jati, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, dari tahun ke tahun, 99% kejadian bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi. Adapun di tahun 2020, banjir merupakan kejadian bencana yang paling sering terjadi dan paling banyak menimbulkan korban jiwa.

“Banjir, puting beliung dan tanah longsor merupakan kejadian dengan jumlah korban jiwa terbanyak. Sebanyak 259 orang meninggal dan hilang karena banjir, 24 jiwa karena puting beliung, 124 jiwa karena tanah longsor,” katanya.

Muhammad Fadli, Kepala Sub Bidang Prediksi Cuaca BMKG menyebutkan, hujan lebat mendominasi sepanjang 2020, sekitar 1.425 kali. Disusul angin kencang 456 kali, puting beliung 198 kali, petir 19 kali, hujan es 10 kali, dan suhu ekstrem tiga kali.

“Di Jawa Barat cuaca ekstrem itu cukup banyak terjadi 2020, disusul Jawa Timur, Sumatera Utara dan Jambi.” Kondisi ini, katanya, banyak terjadi pada Februari dan April.

Ada lima wilayah dengan curah hujan tertinggi, yakni, Jakarta 377 mm, Sumatera Barat 235 mm, Sulawesi Tengah 219 mm, Maluku 199 mm, dan Aceh 197 mm. Empat wilayah suhu maksimum tertinggi pada september, yakni, Nusa Tenggara Barat (37,4 derajat Celcius), Sulawesi Selatan (37,2 derajat Celcius), Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur (37 derajat Celcius).

Dia bilang, sebagian besar musim hujan akan berlangsung dari Januari hingga April 2021. Semua pihak, katanya, perlu meningkatkan kewaspadaan terlebih pada daerah dengan prediksi akumulasi curah hujan dengan kriteria tinggi hingga sangat tinggi. Dia sebutkan, seperti pesisir barat Sumatera, sebagian besar Jawa, Bali, sebagian Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan bagian Barat dan Tengah, Sulawesi, sebagiann Maluku, sebagian Papua Barat dan Papua.

“Puncak musim hujan 2020/2021 diprediksi untuk sebagian besar wilayah terjadi pada Januari-Februari 2021 yang umumnya bertepatan dengan puncak monsun Asia,” kata Fadli.

Untuk itu, perlu mewaspadai curah hujan di atas normal, antara lain di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, sebagian besar Sulawesi, Jawa, NTB, NTT, Maluku dan Papua.

 

Banjir melanda Kabupaten Sumbawa, NTB. Foto: BNPB

 

Kilas balik 2020

Banjir dan longsor juga membuka tahun 2020. Bencana melanda berbagai daerah, dari Jabodetabek sampai Sulawesi. Hujan deras turun lepas tak mampu tertahan, sungai meluap, hutan gundul hingga air meluncur bebas hingga terjadi banjir bandang disusul longsor yang melibas wilayah-wilayah seperti di Lebak, dan Kabupaten Bogor. Di Jabodetabek saja, sekitar 60 orang meninggal dunia.

Setelah itu, bencana pandemi COVID-19 yang pertama kali muncul di Kota Wuhan, Tiongkok, kuat dugaan manusia tertular dari sang inang, kelelawar. Awal Maret, pengumuman resmi pemerintah kalau corona masuk ke Indonesia. Kondisi tambah berat, kala masa pandemi terjadi berbagai bencana dari banjir, longsor, gempa bumi dan lain-lain.

Data BNPB menyebutkan, pada 2020, terjadi 2.938 bencana alam terhitung 1 Januari 2020-30 Desember 2020. Bencana hidrometeorologi masih mendominasi bencana 2020. Rinciannya, 1.065 banjir, 873 puting beliung, 572 kejadian tanah longsor dan 36 gelombang pasang atau abrasi.

Dalam 2020, ada 489 kabupaten atau kota berada di daerah bahaya banjir dengan kategori sedang-tinggi, dengan penduduk terpapar 63,7 juta jiwa. Ada 441 kabupaten dan kota di daerah bahaya longsor sedang-tinggi, dengan penduduk terpapar sebanyak 40,9 juta jiwa.

“Dari kejadian bencana itu, bencana hidrometeorologi seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung masih dominan tahun ini,” kata Doni Monardo, Kepala BNPB, dalam diskusi daring Kaleidoskop Kebencanaan 2020 dan Prediksi Fenomena serta Potensi Bencana 2021.

 

Dari 2.938 bencana, katanya, menimbulkan 370 orang meninggal, 39 hilang, 536 luka-luka dan 6.431.310 menderita dan mengungsi. Adapun kerusakan, 10.200 rumah rusak berat, 26.189 rusak ringan, 6.168 rusak sedang, 832.262 rumah terendam dan 2.118 fasilitas umum rusak.

Bencana makin parah, katanya, terlebih, saat pergantian musim yang menyebabkan angin puting beliung dan abrasi pantai. Selain itu, banyak daerah mengalami land subsiden (permukaan daratan lebih rendah dari air laut).

BNPB, katanya, bersama pakar, para ahli dan peneliti akan menyusun strategi atasi ini. Meskipun begitu, katanya, harus diikuti kebijakan di tingkat provinsi, kabupaten kota, kelurahan dan RT/RW dalam menjaga kelestarian ekosistem.

Bencana lain, kebakaran hutan dan lahan ada 326 kejadian, gelombang pasang dan abrasi 36 kejadian serta kekeringan 29 kejadian.

Bassar Manullang, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, meski masih ada karhutla ratusan kali tetapi tak ada asap lintas batas.

“Hal ini karena dukungan cuaca dan integrasi kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, masyarakat dan perguruan tinggi dalam upaya memitigasi kebakaran,” katanya.

Perbandingan jumlah titik api 2019 dan 2020 berdasarkan satelit NOAA dengan tingkat kepercayaan 80% terpantau sekitar 1.114 titik. Angka ini mengalami penurunan sekitar 87,54%, yakni 8.944 titik pada 2019.

Data KLHK per November 2020, katanya, luas cakupan wilayah karhutla pada 2020 sekitar 296.757 hektar atau menurun 81% dibandingkan pada 2019 mencapai 1.649.258 hektar.

“Dalam upaya mitigasi dan pencegahan kebakaran hutan kita sudah melakukan teknologi modifikasi cuaca atas kerjasama seluruh pihak. Hal paling penting dari hasil TMC terjadi peningkatan curah hujan.”

 

Pemukiman penduduk yang terendam banjir di Luwu Utara. Foto: BNPB

 

Adapun TMC terlakana di Riau, Sumatera Selatan da Jambi 176 sorti atau 168.250 kg. Selain pencegahan, pemerintah pun pemadaman dengan water bombing 39.830 sorti atau 164.077.000 liter.

Doni mengapresiasi kerja kolaborasi penanganan dan pengendalia karhutla baik kepada kementerian/lembaga terkait, unsur TNI/Polri, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah dalam memitigasi kejadian ini. Terutama katanya. wilayah rawan terbakar seperti Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimntan Timur.

Untuk jenis bencana geologi dan vulkanologi, kata Doni, ada 16 kali gempa bumi dan tujuh erupsi gunung api.

Daerah rawan gempa di Indonesia, kata Raditya, ada 295 sesar aktif, tersebar di 37 di Jawa, 48 Sulawesi, 79 sesar Papua dan 49 sesar di Nusa Tenggara dan Laut Banda. Ada 3,5 juta penduduk terpapar bahaya sedang-tinggi dari erupsi gunung berapi yang tersebar di 75 kabupaten dan kota.

Daryono, Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG menyebutkan, gempa pada 2020 mencapai 8.264 kali, turun dibandingkan 2019, sebanyak 11.515 kali.

“Tahun 2021, wilayah Indonesia masih tetap aktif gempa, rata-rata setahun terjadi gempa 6.000 kali. Sumber sangat bayak yakni 13 segmen megathrust dan lebih dari 295 segmen sesar aktif,” katanya.

Dia sarankan, perlu mewaspadai zona seismic gap, seperti zona subduksi Mentawai, selatan Banten-Selat Sunda, selatan Bali, dan lempeng laut Maluku. Juga, lempeng laut Filipina, dan Tunjaman Utara Papua, serta zona sesar Lembang, segmen Aceh, segmen Matano dan sesar Sorong.

“Selalu mewaspadai gempa bumi berpotensi tsunami karena berdasarkan statistik setiap dua tahun sekali di wilayah Indonesia terjadi gempa berpotensi tsunami.”

Pada 2020, katanya, tidak terjadi gempa berpotensi tsunami. “Maka kita harus waspadai 2021 khusus masyarakat pesisir rawan tsunami untuk memahami konsep evakuasi mandiri.”

Untuk korban bencana seperti, meninggal dan hilang, luka-luka dan rumah rusak, kata Raditya, menurun dibandingkan tahun lalu dengan kurun waktu sama, yakni, berturut-turun 23%, 30%, 84,3%, dan 42,3%.

Meski demikian, yang menderita dan mengungsi naik hingga 4,9% atau 298.448 jiwa. Artinya, ada kejadian bencana pada jumlah penduduk yang luas dan terjadi di pemukiman cukup padat.

 

Titik longsor di Sumedang yang menewaskan belasan orang. Foto: BNPB

 

Berdasarkan tren bencana alam tahun sebelumnya, kemungkinan terjadi peningkatan bencana pada Januari-Februari. Bencana banjir dan longsor, Jakarta, Banten dan Jabar pada Januari 2020 memiliki dampak luas mencakup 55 kelurahan dan 30 kelurahan dengan korban 60 orang meninggal dan dua hilang, serta 17.253 mengungsi.

Pada 25 Februari 2020, kembali banjir Jabodetabek mencakup pada 256 kelurahan dan 105 kecamatan dengan 9 korban meninggal dan 35.891 orang mengungsi.

“Kejadian ini perlu diwaspadai dan harus belajar bagaimana antisipasi dalam hal pengungsian apalagi ini masa pandemi COVID-19 yang memang harus kita perhatikan.”

Pada 17 Agustus 2020, terjadi banjir di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, mencakup dua kabupaten dan enam kecamatan. “Ini disebabkan daerah aliran sungai, ekosistem. Ini akibatnya hujan lebat menyebabkan banjir bandang,” katanya.

Kejadian ini, katanya, menyebabkan 38 orang meninggal dunia dan 10 hilang serta sekitar 4.202 rumah terdampak.

Pada 28 September 2020, terjadi kejadian banjir bandang melanda 11 desa tersebar di tiga kecamatan. Kejadian ini menimbulan tiga orang meninggal dunia dan 1.107 mengungsi.

”Jika, masyarakat tidak sadar risiko bencana di daerahnya dan risiko yang dihadapi ini pasti meningkatkan jumlah korban. Perlu peningkatan kesadaran dalam situasi kedaruratan.”

 

Bagaimana antisipasi 2021?

Guna mengantisipasi bencana banjir dan longsor, awal tahun 2021, BNPB menyurati Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di 34 provinsi untuk terus berkoordinasi dengan BPBD di kabupaten dan kota.

BNPB mengingatkan BPBD di provinsi untuk peringatan dini dan kesiapsiagaan menghadapi potensi bahaya banjir dan longsor. Peringatan dini dan kesiapsiagaan ini, kata Raditya, berdasarkan data prakiraan potensi banjir dan longsor pada Januari 2021 dari BMKG, yang bekerja sama dengan Kementerian PUPR, BIG dan PVMBG.

Lilik Kurniawan, Deputi Bidang Pencegahan BNPB mengatakan, perlu upaya pencegahan dalam meminimalkan dampak ancaman bencana banjir dan longsor.

“BPBD provinsi menginstruksikan BPBD kabupaten dan kota untuk menyiapkan langkah dan upaya kesiapsiagaan guna mencegah banjir dan tanah longsor,” kata Lilik melalui surat tertanggal 8 Januari 2021, seperti dalam rilis BNPB.

Dia menyampaikan beberapa poin upaya yang dapat dilakukan BPBD, antara lain, koordinasi berkala dengan dinas terkait dan aparatur kabupaten dan kota, koordinasi dengan mitra lokal seperti dinas dan lembaga atau organisasi seperti Kominfo, Orari, Senkom maupun Forum Pengurangan Risiko Bencana Daerah.

Juga, beberapa alat monitoring dapat dimanfaatkan untuk memutakhirkan informasi peringatan dini cuaca dan potensi ancaman bencana, seperti situs BMKG, Lapan maupun BNPB.

Lilik bilang, penting peningkatan sosialisasi, edukasi dan mitigasi terkait upaya pencegahan banjir dan longsor. Beberapa pendekatan kegiatan itu, katanya, dapat memanfaatkan media elektronik atau media sosial terlebih karena sedang pandemi ini.

BNPB meminta, penyiapan dan sosialisasi tempat evakuasi terpisah antara masyarakat sehat dengan mereka yang terkonfirmasi positif COVID-19. Perlu juga penyiapan infrastruktur tracing, testing dan treatment di tempat evakuasi dan pengungsian sesuai protokol tempat pengungsian dan protokol kesehatan.

Koordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat soal penyiapan fasilitas kesehatan dan sistem rujukan terutama kepada rumah sakit di wilayah risiko tinggi bencana.

BNPB menekankan, pemerintah daerah agar mengidentifikasi kebutuhan dan ketersediaan sumber daya, seperti manusia, peralatan, sampai logistik makanan.

 

Seorang ibu berenang menuju rumahnya yang terdampak banjir. Setiap musim hujan Kabupaten Gresik selalu mengalami kebanjiran akibat meluapnya Kali Lamong.Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kemudian, kata Lilik, pemerintah daerah dapat menetapkan status darurat bencana dan pembentukan pos komando penanganan darurat bencana serta aktivasi rencana kontinjensi menjadi rencana operasi.

Soal potensi bencana hidrometeorologi, Doni bilang, beberapa minggu terakhir pemerintah pusat lewat BMKG didukung BNPB sering mengingatkan agar seluruh kawasan memperhatikan dan mencermati informasi-informasi BMKG, terkait cuaca ekstrem.

Dia meminta, pemerintah daerah mengantisipasi serius dan saling mengingatkan semua pihak di tingkat daerah, terutama untuk kawasan dengan kemiringan lebih 30 derajat.

“Berdasarkan data BNPB, hampir setiap tahun wilayah Jawa Barat ini terdampak tanah longsor,” katanya, dalam rilis BNPB.

Dia mengatakan, beberapa upaya pencegahan dapat dilakukan pada kawasan dengan kemiringan agar longsor seperti di Desa Cihanjuang, tak terulang.

Upaya itu, antara lain, tanam pohon di kemiringan. Kalau tanam sayuran pada lahan miring, katanya, memicu tanah tak kuat menahan erosi. “Curah hujan tinggi menyebabkan tanah mudah longsor,” katanya.

Doni bilang, tanam pohon di kemiringan itu kewajiban. Selain itu, katanya kontur atau morfologi tanah di Jawa Barat, berupa kemiringan terjal hingga jangan menebang pohon. Fungsi pohon, katanya, sangat baik dalam mencegah bencana tanah longsor.

Menurut dia, kalau pohon ditebang, dalam dua atau tiga tahun akar akan busuk. Kala akar busuk dan curah hujan tinggi, air akan masuk sela-sela akar yang mengakibatkan tanah jadi labil. “Tanah labil dengan kemiringan tertentu hingga mudah longsor. Pengetahuan tentang ini belum banyak dimiliki masyarakat,” kata Doni.

Saat di lokasi longsor Sumedang, Doni melihat pohon sukun dan aren berdiri kokoh. Untuk tanam pohon, katanya, perlu pilih jenis tanaman berakar kuat, seperti sukun dan aren. Pohon jenis ini, katanya, akan membantu kekuatan struktur tanah.

Bahkan, kata Doni, BNPB akan membantu dalam penyediaan jenis tanaman yang memiliki akar kuat untuk tanah di kawasan longsor.

 

*****Keterangan foto utama: Tanah longsor di Sumedang, menyebabkan rumah-rumah tertimbun, belasan orang meninggal dunia, puluhan luka-luka dan sebagian korban masih tertimbun. Foto: BNPB

 

Exit mobile version