Mongabay.co.id

Foto Udara: Melihat Langsung Penyebab Banjir di Aceh Utara

 

 

Banjir karena meluapnya sejumlah sungai telah menjadi bencana rutin yang melanda hampir semua daerah di Provinsi Aceh.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh mendata, tahun 2020, telah terjadi banjir di Aceh sebanyak 36 kali yang diikuti kerugian materi.

Pada 2020, bencana banjir terparah terjadi di Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Timur. Akibat hujan yang mengguyur dua daerah berdekatan ini, sungai yang meluap tidak hanya merendam perumahan warga tetapi juga merusak lahan pertanian maupun perkebunan masyarakat.

Baca: Aceh Banjir Lagi, Rusaknya Hutan Masih Jadi Sorotan

 

Sungai di Aceh Utara yang penting bagi kehidupan masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pada 9 Januari 2021, Mongabay Indonesia melihat langsung dari udara kondisi tiga daerah aliran sungai [DAS] di Kabupaten Aceh Utara, yaitu DAS Jambo Aye, DAS Keureuto, dan DAS Mane yang menyebabkan banjir, awal Desember 2020.

Dari pemantauan bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] terlihat jelas bahwa banjir yang menerjang Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Timur itu terjadi karena beberapa sebab. Yaitu, rusaknya kawasan hutan serta adanya sedimentasi akibat lumpur di hulu maupun di muara sungai.

Sedimentasi terjadi karena pepohonan di dalam kawasan hutan yang seharusnya menjadi penahan tanah dari gerusan air hujan banyak ditebang.

Baca: Aceh Tengah Banjir Bandang, Walhi: Kembalikan Fungsi Hutan Sebagaimana Mestinya

 

Lumpur membuat sungai di Aceh Utara menjadi dangkal. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan catatan Walhi Aceh, salah satu penyebab tingginya kegiatan ilegal kehutanan adalah adanya akses masuk hutan. Pembangunan jalan yang membelah kawasan hutan, dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk merusak hutan.

Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur mengatakan, banjir akibat meluapnya sejumlah sungai merupakan bencana klasik yang terjadi di Kabupaten Aceh Utara. Masalah ini tidak pernah tertangani dengan baik, bahkan bisa terjadi lebih sekali dalam setahun.

“Harus ada upaya untuk menghentikan kerusakan hutan. Aceh Utara sendiri termasuk daerah yang paling banyak kehilangan tutupan hutan setiap tahun,” ujarnya, Minggu [10/1/2021].

Baca: Catatan Klimatologi untuk Banjir Besar di Banda Aceh

 

Pendangkalan sungai di Aceh Utara merupakan satu dari beberapa sebab terjadinya banjir di aceh Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Muhammad Nur mengatakan, Kabupaten Aceh Utara berada di bawah Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Ketika tutupan kawasan hutan hilang di dua kabupaten tersebut, dampak banjir juga akan dialami masyarakat di Aceh Utara.

“Umumnya, kerusakan hutan di Aceh Utara karena pembukaan lahan pertanian dan perkebunan di kawasan hutan. Lokasinya, di hutan produksi maupun hutan lindung, khususnya untuk perkebunan sawit,” ungkapnya.

Baca: Banjir di Masa Pandemi, Antisipasi Diperlukan Sebelum Bencana Datang

 

Pembalakan liar yang kayunya diangkut melalui jalur sungai di Aceh Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, tambah dia, berkurangnya tutupan hutan di Kabupaten Aceh Utara juga terjadi karena adanya izin untuk perkebunan sawit maupun kegiatan perusahaan pemegang izin hutan tanaman industri [HTI] yang mengelola hampir 20 ribu hektar kawasan hutan.

“Saat ini, pemerintah juga sedang mengundang bencana baru di Kabupaten Aceh Utara dengan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga air [PLTA] di Sungai Jambo Aye. Juga, ada pembangunan waduk di Sungai Keureuto.”

 

Jalan di dalam kawasan hutan yang digunakan untuk kegiatan ilegal oleh para pelaku kejahatan kehutanan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Muhammad Nur mengatakan, umumnya struktur tanah di kawasan hutan Aceh sangat labil karena berupa lumpur dan bebatuan. Longsor di lereng-lereng gunung dapat terjadi meskipun hutan lebat. Untuk itu, semua pihak diharapkan tidak hanya merespon bencana saat terjadi, tetapi mencegah itu lebih penting.

“Sudah cukup banyak korban jiwa dan harga benda hilang akibat bencana banjir. Pemerintah juga sudah menghabiskan banyak dana untuk memperbaiki fasilitas publik. Sudah saatnya kegiatan yang merusak kawasan hutan dihentikan, dan hutan yang telah rusak diperbaiki kembali,” ujarnya.

 

Jalan di dalam kawasan hutan untuk kegiatan ilegal di Aceh Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Hasil perhitungan tim Geographic Information System [GIS] Yayasan HAkA pada 2019 menunjukkan, Kabupaten Aceh Utara kehilangan tutupan hutan mencapai 1.815 hektar. Sementara, Kabupaten Aceh Timur kehilangan 1.547 hektar, diikuti Kabupaten Aceh Tengah [1.924 hektar], dan Bener Meriah [951 hektar].

 

Perambahan yang terjadi di hutan di Aceh Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mengundang bencana

Pernyataan Direktur Walhi Aceh tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang telah disampaikan sebelumnya oleh pakar bencana dan peneliti di Tsunami and Disaster Mitigation Research Center [TDMRC] Aceh, Ibnu Rusydy. Jika hutan dialihfungsikan, risikonya adalah siklus air di bumi terganggu.

“Siklus hidrologi yang terjadi di bumi dimotori panasnya sinar matahari yang menyebabkan air di daratan dan laut menguap, naik ke atmosfer. Kemudian, menjadi awan jenuh dengan uap air yang kemudian jatuh balik ke bumi, berupa hujan dan salju.”

 

Hutan di aceh Utara yang beralih fungsi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menurut Ibnu Rusydy, pepohonan di hutan berfungsi sebagai pompa air alami, menahan tanah agar tidak tergerus air saat hujan turun, terbawa ke sungai.

“Selain menyerap dan menguapkan air, pepohonan juga berfungsi sebagai penahan tanah sehingga air tidak membawa lumpur atau sedimen ke sungai hingga membuat sungai dangkal.”

 

Perkebunan sawit di Aceh Utara. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat Aceh Utara, Ahmad Ilyas mengaku sudah cukup jenuh dengan bencana banjir yang terjadi. Selain mengalami kerugian karena rumahnya sering terendam banjir, mata pencahariannya yang hanya dari tambak ikan juga terganggu.

 

Hutan Lindung di Kawasan Aceh Utara yang masih terjaga. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

“Untuk menafkahi keluarga, saya hanya mengandalkan tambak ikan dan udang serta toko kelontong dekat rumah. Banjir yang terjadi menyebabkan semua sumber ekonomi saya tidak berfungsi,” ujar lelaki yang kerap disapa Teungku Ilyas.

 

 

Exit mobile version