Mongabay.co.id

Longsor Sumedang : Waspada di Tanah Rawan Bencana

 

Kantung mata Evan (46), sembab. Tapi tak sampai menangis. Ia hanya diam mematung memandang rintik-rintik sore itu. Tak berkedip mengikuti setiap keclak hujan yang jatuh dari atap. Air matanya seolah enggan keluar dari kelopak matanya yang keriput.

“Astagfirullah, Gusti Nu Agung. Abdi teu walahkaya, teu nyangki bakal ngalaman kajantenan sapertos kamari kamari (saya tidak berdaya, tidak menyangka bakal mengalami kejadian kemarin),” katanya rilih.

Kalimat itu tak cukup melukiskan peristiwa yang telah ia tangkap. Evan merupakan salah satu korban selamat pada bencana longsor di Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupetan Sumedang, Jawa Barat, hingga Sabtu (9/1/2021) malam lalu.

Evan masih saja mematung di tempat duduknya. Tatapannya kosong. Raut mukanya tak berubah tanpa ekspresi. Kengerian tergurat jelas pada raut-raut di keningnya.

Ati (28), istrinya, juga hanya memandangi. Lalu mereka berpelukan saling menguatkan. “Bapak yang punya inisiatif membawa kami segera mengungsi ketika longsor pertama terjadi sekitar pukul empat itu. Alhamdulillah, kami sekeluarga bersyukur selamat,” ,” ujar Ati.

baca : La Nina Berpotensi Timbulkan Bencana Banjir dan Longsor, Bagaimana Antisipasinya?

 

Suasana pemukiman yang terlihat di kawasan lereng perbukitan, di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (11/1/2021). Pemerintah Kabupaten Sumedang berencana melakukan pengkajian ulang terkait perizinan permukiman di kawasan perbukitan karena masuk dalam kondisi menengah-tinggi potensi pergerakan tanah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menyandarkan punggungnya, Epan mulai bercerita. Katanya, sebelum kejadian longsor pertama terjadi, hujan lebat selama 1,5 jam mengguyur kawasan itu. Longsor menimpa delapan rumah, “Saat itu orang-orang banyak berkumpul.”

Lantas, ia menarik diri dan bergegas membawa istri serta anaknya ke tempat lebih aman. Dan Epan kembali lagi menjemput orang tuanya di rumahnya, tapi orang-orang masih enggan beranjak dari rumah mereka.

“Tak berselang lama,” Epan kembali diam, “Suara gemuruh begitu keras dan mencekam. Semua terjadi begitu cepat.”

Dalam kelam, dirinya melihat longsor sudah meratakan rumahnya. Ia juga tak lagi melihat 8 orang tetangganya. Padahal, mereka akan menggelar hajatan tepat keesokan harinya.

“Ya Allah, duh Gusti, ia diam lagi. Seolah tak percaya dengan kejadian yang baru dialaminya.

baca juga : Longsor di Tol Purbaleunyi km 118, Bukti Minimnya Penataan Ruang di Kawasan Bencana

 

Warga yang mengungsi pasca longsor di Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (11/1/2021). Tim SAR gabungan TNI Polri masih akan mencari sedikitnya 26 korban hilang yang telah terdata akibat bencana tanah longsor yang terjadi pada Sabtu (9/1) lalu hingga tujuh hari kedepan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay

 

 

Menaruh Harap Pada Kebijakan

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, kejadian ini dipicu runtuhnya tebing tanah setinggi 20 meter dan panjang 40 meter. Longsor di Cihanjuang terjadi dua kali, Minggu pukul 15.30 dan pukul 19.30. Akibatnya lebih dari 30 rumah tertimbun material longsor.

Hingga Selasa (12/1/2021) malam, pencarian korban beberapa kali dihentikan sementara karena hujan lebat mengguyur lokasi longsor. Sejauh ini, baru ditemukan 16 korban meninggal dunia. Sebanyak 26 korban lain yang diduga masih tertimbun tetap dicari petugas.

Pemerintah Kabupaten Sumedang pun mengeluarkan status tanggap darurat penanganan bencana longsor berlangsung 9-29 Januari 2021. Dalam status tanggap darurat, warga yang yang tinggal dalam radius 30 meter dari titik longsoran juga diminta mengungsi. Mereka adalah warga yang tinggal di sekitar tebing tanah hingga jalur air. Setidaknya ada lebih kurang warga 500 jiwa tinggal dalam zona berbahaya itu.

Koordinator Mitigasi Gerakan Tanah pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi Agus Budianto mengatakan tengah berupaya menyusun surat rekomendasi zona bencana longsor. Nantinya, diharapkan bisa menjadi pegangan bagi pimpinan daerah untuk menentukan daerah bahaya.

Agus mewanti-wanti, kejadian di Cimanggung berpotensi terjadi di daerah lain selama musim hujan. “Apalagi, saya memprediksi musim hujan akan berlangsung hingga Mei nanti.”

perlu dibaca : Longsor Sukabumi, Siapkah Masyarakat Hidup di Wilayah Rawan Bencana?

 

Kondisi warga di pengungsian pasca longsor di Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (11/1/2021). Foto: Donny Iqbal/Mongabay

 

Untuk itu, masyarakat yang tinggal di kawasan perbukitan yang memiliki karakteristik serupa dengan Cimanggung harus selalu waspada. Ciri-ciri tersebut, antara lain, ialah butiran tanah atau solid yang cenderung berwarna cokelat, memiliki jalur air, dan tidak memiliki tumbuhan besar dengan akar yang kuat di atasnya. Dan longsor di Cimanggung merupakan tipe luncuran, katanya.

Agus mengatakan lereng yang longsor itu berupa cekungan. Efeknya air akan mengumpul di sana saat hujan lebat, lereng yang kemudian longsor itu menjadi mudah jenuh air. Karena itu, tata guna lahan mutlak jadi pertimbangan sebelum membangun.

Kejadian itu, melecut Pemerintah Kabupaten Sumedang untuk melakukan pengecekan izin pembangunan perumahan. Sekretaris Daerah Sumedang Herman Suryatman bilang, pihaknya mengaudit seluruh izin semua perumahan yang dibangun dengan kemiringan lahan lebih dari 30 derajat, “Tapi tidak itu saja, kami juga akan evaluasi perumahan yang secara fisik beresiko terdampak bencana,” tuturnya.

 

Prioritas Tata Guna Lahan

Di Cimanggung dan sekitarnya terdapat banyak permukiman di punggung perbukitan. Tentunya, berisiko longsor sebab bukit-bukit di atas perumahan itu minim pohon-pohon keras yang berfungsi menahan air.

Dosen Sekolah Arsitektur dan Perencanaan Kota Institut Teknologi Bandung (ITB), Denny Zulkaidi, menyarankan pemerintah berkomitmen pada rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang telah dibuat. Tentu saja itu penting, katanya. Setidaknya, menengok asas keberlanjutan dari sebuah perencanaan pembangunan perkotaan.

“Menyoal RTRW ini unik,” kata Denny, “Kadang dibilang menghambat investasi. Tetapi, jika sudah ada kecelakaan baru ditengok dengan dalih tak sesuai aturan.”

baca juga : Derita Warga Terkena Banjir dan Longsor di Masa Pandemi

 

Warga melihat kondisi tebing dan pemukiman pasca longsor di Cimanggung, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (11/1/2021). Tim SAR gabungan TNI Polri masih akan mencari sedikitnya 26 korban hilang yang telah terdata akibat bencana tanah longsor yang terjadi pada Sabtu (9/1) lalu hingga tujuh hari kedepan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay

 

Mongabay-Indonesia, kemudian menelusuri informasi dari dokumen Perda No 4 Tahun 2018 tentang RTRW Sumedang 2018-2038. Disebutkan, kawasan Cimanggung memang termasuk zona kuning. Artinya, peruntukannya boleh untuk budidaya terbangun seperti pemukiman dan perumahan, kawasan industri serta kegiatan-kegiatan penunjang lainnya.

Semestinya, kata Denny, jauh sebelum memberikan izin, pemerintah perlu mempertimbangkan aspek topografi dan geologi. Karena mitigasi paling efektif adalah menghindari kawasan yang beresiko.

“Kalaupun diizinkan terbangun, wajib memenuhi syarat penguatan secara fisik. Seandainya itu bahaya tapi tidak dimitigasi kan lebih baik jangan dibangun,” ucapnya.

Agaknya, longsor menjadi sisi lain perubahan tata guna lahan. Denny membandingkan, kemiringan diatas 40 persen atau setara 22.5 derajat seharusnya jadikan kawasan lindung. Kendati begitu, ia tak menampik realitas yang ada kini. Orang-orang membangun rumah-rumah mendekati bukit-bukit karena harga tanah di kota tak mudah dan murah.

“Tetapi, aspek safety (keselamatan) tidak bisa ditawar,” tambahnya.

baca juga : Peran Media Dalam Penanggulangan Bencana, Mongabay Dapat Penghargaan BNPB

 

Suasana Pemukiman yang terlihat di kawasan lereng perbukitan, di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, Senin (11/1/2021). Pemerintah Kabupaten Sumedang berencana melakukan pengkajian ulang terkait perizinan permukiman di kawasan perbukitan karena masuk dalam kondisi menengah-tinggi potensi pergerakan tanah. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menerabas Fungsi

Dadang (60), warga sekitar, bilang bahwa bukit-bukit di sana dulunya adalah lahan pertanian produktif. Namun, sejak petani berkurang, lahan-lahan banyak menganggur. Alhasil, pemilik tanah pun memilih menjual ketimbang digarap dengan pertanian. Barangkali, karena menjadi petani kian tak menarik. “Akhirnya, oleh developer dibangun komplek perumahan,” katanya sembari menunjukan nama bukit itu.

Sementara itu, Direktur Walhi Jabar Meiki Paedong, berpendapat, jika ditemukan kekeliruan dalam penerbitan izin, pemerintah mesti melakukan moratorium izin perumahan baru. Meiki menganjurkan pemerintah mengkaji daya dukung lingkungan agar bencana hidrometerologi ini tak mengakibatkan korban jiwa.

“Sepengetahuan kami di Sumedang juga banyak galian tipe C di lereng-lerang bukit. Itu juga perlu diaudit karena bedasarkan penelusuran kami banyak tambang yang tak berizin,” tuturnya, “Dalam beberapa kasus ditemukan lahan bekas tambang malah dijadikan kawasan perumahan.”

Kini, hujan di bulan-bulan kemarau adalah guruh yang sengit dan tak bisa ditebak, petir yang salah musim, rintik yang keliru waktu. Maka orang-orang pantas cemas. Dan agaknya, seperti kata Denny, bahwa manusia perlu berbaik pada alam. Agar pilu dan lara tak melulu hinggap oleh bencana yang datang akibat kelalaian pengurus daerah.

 

Exit mobile version